Lagi-lagi orang yang dikunjungi olehnya pingsan. Baik ibunya Salsa dan kini istri dari karyawannya. Sungguh hari yang sangat melelahkan. Karen tak kunjung sadar, istri dari Murtadi sampai dilarikan ke rumah sakit dan dirinya yang harus membayar biaya pengobatannya. Setelah semua urusan beres, Satria pun pamit pulang, sedangkan Muryadi masih menunggui istrinya yang lemas di IGD.
Satria pulang ke rumah dengan perasaan kacau dan tubuh sangat lelah. Sebelum benar-benar masuk ke pekarangan rumahnya, Satria terlebih dahulu mengintip, apakah ada Mak Piah di teras rumah? Syukurlah, nenek itu sudah tidak ada di rumahnya.
Satria memasukkan motor ke dalam rumah, lalu mengunci pintu rumah. Lampu kamar ibunya sudah padam, itu menandakan ibunya sudah tidur. Satria baru sadar ini sudah pukul dua belas malam.
Ia pun bergegas mandi dan berganti pakaian sebelum tidur. Diperhatikannya langit-langit kamar yang sepi. Seperti suasana hatinya. Tinggal berdua saja dengan ibunya s
Pukul sembilan pagi, Fajar menjemput Salsa di rumahnya. Dosen muda itu memulai acara pendekatan pada Salsa dan juga orang tuanya. Lontong sayur Padang dan juga aneka gorengan dibawa oleh Fajar sebagai buah tangan.Juwi menerima kehadiran Fajar dengan penuh suka cita. Apalagi barang yang dibawa Fajar cukup banyak. Devit sudah berangkat lebih pagi karena ada seminar beberapa hari di daerah Bogor, sehingga hanya ada Salsa, Juwi, pembantu rumah tangganya, serta dua anak Juwi yang baru saja berangkat kuliah."Ya ampun, Nak Fajar, jadi ngerepotin gini. Tahu aja saya suka lontong Padang. Apalagi dikasih keripik pedas, duh ... seger banget," ujar Juwi dengan antusias. Fajar hanya tersenyum sambil memberikan aneka bungkusan makanan ke tangan Juwi."Mari, silakan duduk! Salsa sedang mandi. Nak Fajar sambil koreksi soal mahasiswa aja biar gak bosan. Salsa kalau mandi suka lama. Soalnya sambil baca koran," bisik Juwi sambil terkekeh. Fajar pun ikut terseny
Sebagai seorang lelaki, pantang bagi Satria untuk ditunggu. Lebih baik ia menunggu sehingga ia bisa mengontrol hatinya agar tidak terkejut dengan segala kemungkinan yang ada bila ia terlambat.Ia sudah berada di restoran baso tempat ia pernah bertemu dengan Salsa. Bangku yang saat ini ia duduki pun adalah tempat yang sama. Di sampingnya sudah ada Ramlan yang tengah mengisap rokok dengan ditemani secangkir kopi, sedangkan Satria lebih memilih menikmati segelas jus jeruk. Ia tidak mau kesan pertama dengan Haya jelek hanya karena bau mulut."Mbak Haya sudah di jalan?" tanya Satria pada Ramlan."Sudah di taksi online, Bos. Sebentar lagi sampai," jawab Ramlan."Matikan rokok lu! Dia bawa anaknya'kan? Asap rokok gak bagus untuk anak kecil. Gue aja udah niat nih, Ram, kalau gue nikah dan punya anak, gue mau berhenti merokok, paling Vape aja.""Ha ha ha ... sebelas dua belas, Bos," balas Ramlan menertawakan Satria."Biar istri dan
Saya janji, di part ini kalian akan meneteskan air mata. Siapkan tisu."Permisi, Mas, ada yang bisa kami bantu? Lagi ada promo cash back tiga ratus ribu khusus untuk pembelian hari ini," sapa SPG motor pada Ramlan."Sore, Mbak, saya mau lihat motor Honda Biit yang tahun 2021 ya. Yang paling bagus ada?" tanya Ramlan dengan penuh percaya diri."Oh, tentu saja ada, Mas. Mari, silakan duduk. Ini brosurnya. Harga Honda Biit seri CBS 16,66 juta, kalau seri CBS-ISS 17,36 juta saja. Jika Mas beli hari ini, atau mengajukan kredit pada hari ini, maka akan dapat cashback tiga ratus ribu dan voucher Chatimi sebesar lima puluh ribu, bagaimana?""Saya mau ambil yang paling mahal, Mbak. Promonya gak ada lagi nih. Saya mau beli cash soalnya," kata Ramlan lagi dengan penuh rasa bangga. SPG cantik itu memperhatikan wajah Ramlan yang tidak terlihat seperti seorang pria yang akan membeli motor dengan cara cash. Tidak juga terlihat seperti seorang lelaki yang teng
Salsa menumpang solat magrib di rumah Nek Piah. Ya, setelah berbincang cukup lama, akhirnya Salsa mengetahui bahwa nama wanita tua tetangga Satria adalah Piah. Asalnya Sofiah Hasna, dipanggil Piah. Nama yang bagus, tetapi menjadi sedikit aneh dengan panggilannya.Aroma melati pada mukena, sekaligus kapur Barus membuat Salsa seperti tengah melayat. Jujur ia takut, tetapi Nek Piah ikut solat juga bersamanya, itu yang membuatnya tidak terlalu mengkhawatirkan aroma yang ada pada mukena dan juga ruangan rumah Nek Piah."Maman mau mesana?" tanya Mak Piah pada Salsa."Hah? Maman, Nek? Maman siapa?""Oh iya, wupa saya, didinya belom dipasang." Mak Piah menunjuk mulutnya yang tidak ada gigi. Salsa tertawa sambil melepas mukenanya, lalu merapikannya kembali."Yakin mau ke sana sekarang? Tamu Satria belum pulang loh," kata Mak Piah setelah selesai memasang giginya."Justru saya mau kenalan sama wanita itu, Nek. Doaka
Satria menatap Salsa dan Haya bergantian. Dua wanita berbeda genre, seperti novel. Satu wanita genre rumah tangga, satunya lagi genre fantasi. Cara makannya saja berbeda, jika Salsa makan dengan lahap, berbeda dengan Haya yang makan perlahan dan sama sekali tidak terdengar denting sendok yang beradu. Yah, karena Haya makan menggunakan tangan.Bu Mae menyenggol sedikit lengan Satria, lalu menunjuk Salsa dan Haya dengan dagunya. Satria menyeringai, lalu mengangkat bahunya tidak paham. Lalu di mana Samudra? Bayi montok itu sedang tidur di kasur lipat depan TV, sehingga Haya bisa makan dengan tenang."Mbak Salsa nanti pulang naik apa?" tanya Satria. Wanita itu menoleh pada Haya dan tidak mungkin ia minta diantar oleh Satria. Pasti janda inilah yang diantar pulang oleh Satria. Batin Salsa."Naik taksi online saja, Bang," jawab Salsa sambil tersenyum."Ya sudah kalau begitu, saya bisa mengantar Mbak Haya pulang," jawab Satria lagi."Kasian ka
Salsa pulang ke rumah dengan wajah cemberut dan tidak bersemangat. Setelah mengucapkan salam, ia berjalan begitu saja dengan tubuh kaku masuk ke dalam kamarnya bagaikan robot."Sa, kenapa kemaleman?" tegur Juwi saat melihat putrinya berjalan melewatinya dan suaminya yang duduk di ruang televisi."Iya kemaleman, Bun, masa iya kepagian," sambar Devit sambil menyeringai pada istrinya. Juwi memutar bola mata malasnya sambil mencebik."Maaf, Bun, Salsa lagi ada urusan tadi," jawab Salsa lemah."Salsa masuk dulu ya, Bun, Pa," ujar Salsa lagi sambil menarik garis bibirnya dengan terpaksa.Salsa menutup pintu kamar, lalu menguncinya. Gadis itu bersandar pada pintu, lalu menangis. Entah apa yang membuat air matanya tumpah, yang jelas hatinya saat ini terasa begitu sakit. Satria, lelaki yang begitu banyak misteri dan sudah pernah ia tolak lamarannya, kini berjalan dengan wanita lain yang mungkin sebentar lagi akan menjadi istrinya.&nb
"Jadi beneran mau ngelamar Haya, Bos?" pekik Ramlan kegirangan."Iya, ada tapinya ... mm ... gue harus obrolin dulu yang soal tujuh kali itu. Siapatahu Haya keberatan," kata Satria sambil mengembuskan asap rokok terakhirnya ke udara. Lalu ia menekan kuat sisa rokok di atas asbak."Kalau feeling gue, Bos, Haya pasti bisa. Dengar-dengar, almarhum suaminya juga pejantan tangguh. Gak pernah pakai obat apapun, bisa tahan berjam-jam," bisik Ramlan."Lu tahu darimana?" Satria menatap aneh Ramlan."Tembok, Bos, masa iya kontrakan kedap suara. Jadi kedengaran kalau Haya nangis, tetangga kirain digebukin lakinya, pas digedor warga lakinya keluar pake sarung doang. Mana dadanya pada biru. Rupanya yang nangis lakinya, Bos, ha ha ha ....""Tunggu! Suami Haya lelaki'kan?" Satria bertanya dengan serius.Ha ha ha ..."Iyalah, masa alemong! Dah, gue yakin Haya kuat menandingi lu, Bos. Tepat sudah lu sama Haya. Selain dapat paha
"Bik, Salsa ke mana? Udah berangkat ya?" tanya Juwi pada asisten rumah tangganya yang tengah menyapu ruang depan."Belum, Bu, motornya masih di depan. Belum ada keluar kamar juga," jawab Bibik sambil melirik kamar Salsa."Bukannya hari Sabtu, Salsa biasa latihan?" tanya Juwi lagi sambil mengerutkan kening. Pukul enam pagi di hari Sabtu, sudah terbiasa baginya menyaksikan kehebohan anak sulungnya yang mau berangkat latihan angkat besi, tapi pagi ini sepi dan Juwi merasa sedikit aneh."Ada apa, Bun?" tanya Devit yang baru saja keluar dari kamar sudah lengkap dengan pakaian trainingnya."Salsa belum keluar kamar dari semalam, Pa. Inget gak waktu dia pulang semalam, wajahnya cemberut," kata Juwi pada suaminya."Mungkin hari ini Salsa emang libur latihan. Lagi ingin malas-malasan di kamar saja. Bunda jangan terlalu khawatir dengan Salsa, karena Salsa itu sudah besar, sebentar lagi malah jadi istri. Dah, temani Papa sarapan.