Share

Bab 2. Ethan Maurice Winster

Malam di musim dingin yang indah. Aku berdiri di tepian jalan yang hampir seluruhnya tertutupi oleh salju namun tak menyulutkan antusias semua orang untuk menikmati liburan, membuat suasana menjadi hangat. Hiasan natal tampak sudah menyemarakkan lingkungan. Pohon-pohon cemara tampak gemerlap dengan lampu dan dekorasinya. Anak-anak semangat untuk bertemu sinterklas bertubuh gempal hasil sumpalan kostumnya, khas dengan janggut putihnya.

Usiaku saat itu dua puluh tahun. Kembali ku peluk diriku sendiri karena dinginnya masih bisa ku rasakan menyusup diantara mantel coklat tebal dengan bulu halus di bagian lehernya yang sengaja ku timpa dengan syal tebal. Aku juga menggunakan penutup telinga khusus dan topi rajut, napasku tampak beruap. Ah! dari semua musim, musim ini lah yang paling ku benci.

Saat itu aku sudah mengerti apa yang terjadi padaku. Entah apa istimewanya aku hingga harus mendapatkan anugerah ini.  Aku sering sekali mendengar orang-orang ingin memiliki kekuatan untuk berpindah waktu. Mereka merasa itu sangat hebat. Tapi percayalah, itu tak seperti yang kalian pikirkan.

Sejak umurku enam tahun hingga sekarang. Aku masih belum tahu kapan dan bagaimana aku bisa berpindah waktu. Apalagi aku tak bisa menentukan ke masa mana aku akan pergi dengan kata lain aku tak bisa mengontrol kemampuanku ini. 

Sejauh ini aku hanya pergi ke masa lalu. Aku pernah pergi melihat ibuku yang menggendong diriku di sebuah pesta keluarga. Tentu dia tak mengenaliku karena saat itu umurku masih 8 bulan. Dia hanya mengira aku adalah seorang kerabat jauh mengingat kemiripan kami yang langsung ditangkap oleh ayah. Dan tentunya pula, aku tak bisa mengaku aku adalah Ellena, anaknya yang datang dari masa depan.

Aku juga sudah menemui diriku dan menemaninya saat berumur enam tahun. Dimana aku harus memberitahukannya tentang kekuatan kami. Ternyata semua tak semudah yang ada dalam pikiranku. Hal itu membuat luka dan trauma ku kembali lagi. Padahal butuh begitu banyak waktu hanya untuk bisa berdamai dengan keadaan semua ini.

Aku selalu berdoa agar suatu saat, walau hanya sekali, aku dapat berpindah waktu  tepat sebelum kecelakaan itu terjadi. Aku ingin memberitahu kedua orang tuaku untuk tak pergi atau setidaknya melakukan sesuatu agar ayah ibuku tak mengalami kecelekaan naas di malam itu. Aku yakin jika aku bisa pergi kembali di masa itu, maka saat ini kedua orang tuaku masih bersama ku. Tapi … seberapa pun aku meminta. Aku tak pernah sampai ke waktu itu. Sudah lebih dari setahun aku tak lagi berpindah waktu. Apakah mungkin aku sudah tak memilikinya?

Suara gemerincing lonceng yang digoyangkan oleh Sinterklas yang tak jauh dariku membuat aku kembali dari lamunanku. Aku segera menatap lingkunganku sesaat. Aku melihat lampu jalan yang sudah berubah hijau untuk para penyeberang jalan. Tanpa menunggu lama aku segera berjalan menyebrangi zebra cross. Jalanan yang tertutup salju tipis itu nyatanya sangat licin. Dan … mungkin karena kurang hati-hati. Kakiku tergelincir di atas permukaan es tipis.

Aku membesarkan mataku. Aku sudah berpikir tubuhku pasti akan terhempas di aspal dingin itu. Bukan sakitnya yang ku pikirkan, namun malu yang aku harus tanggung setelahnya. Gadis berusia dua puluh tahun yang jatuh di tengah jalan. Ehm … kedengarannya sangat ceroboh dan memalukan.

Aku menutup mataku. Berharap aku akan pergi ke sembarang waktu. Itu lebih baik dari pada harus menanggung malu sekarang. Namun alih-alih pergi dari sana, aku merasakan sesuatu menggapaiku lalu menarik tubuhku dan mendekapku erat.

Aku spontan membuka mataku. Tubuh pria itu lebar dan tegap. Sweater hijau tuanya menyeruakkan wangi Woody dan Citrus dan hangat tubuhnya sangat menenangkan. Dia mendekapku kuat seraya membawaku ke sisi jalan yang lain. Aku hanya bisa pasrah mengikutinya.

Hiruk pikuk kendaraan kembali masuk ke telingaku. Membuat aku sadar aku masih dalam pelukan orang asing ini. Aku segera melepaskan diriku yang timpang dengan tubuhnya yang tinggi dan bidang, sepertinya dia tipe pria yang sangat menjaga tubuhnya.

Namun aku kembali terdiam saat melihat ke arah wajahnya. Bukan! aku tak akan terbungkam hanya kerena wajahnya yang tampan, namun matanya yang berwarna hazel dengan bintik keemasan itu sangat indah. Jujur, saat itu aku benar-benar terpesona.

Tak lama dia tersenyum yang membuatku langsung sadar dengan keadaan yang sangat canggung ini. Aku langsung salah tingkah, memandang ke segala arah seolah banyak yang memperhatikan kami, tapi sebenarnya tak satu pun yang peduli.

"Eh? Oh, terima kasih sudah menolongku," kataku salah tingkah.

"Tak masalah. Aku senang bisa datang tepat waktu," katanya membuat aku mengubah wajahku yang tadinya sungkan menjadi bertanya. Apa yang dia bicarakan? 

"Oh, ya, baiklah. Aku akan pergi, sekali lagi terima kasih," kata ku mengakhiri kekagumanku dan ingin pergi dari sana. Jujur, aku bukan tipe wanita yang percaya dan bisa tertarik dengan seseorang hanya dengan pertemuan pertama.

Dia menunduk sejenak dan menyembunyikan tawa kecilnya, sebuah tanda seperti dia sedang tak percaya. Aku tak tahu dia tak percaya tentang apa? yang jelas hal itu semakin membuatku  merasa pria di depanku ini aneh.

Dia lalu melirik dengan mata hazelnya itu. Aku menautkan kedua alisku, membuatnya bergelombang. Wajahku mengekspresikan apa yang ada di dalam otakku. Ada apa dengan pria ini?

"Aku tak percaya aku benar-benar menemukanmu sekarang, aku sudah menunggu ini lama sekali," suara bass itu terdengar lagi.

Aku makin menunjukkan wajah tak percayaku. Apa yang dia bicarakan? Apakah dia gila? Kami baru saja bertemu dan dia sudah bicara seolah-olah dia mengenalku.

"Maaf tapi kau sepertinya salah orang. Aku belum pernah bertemu denganmu. Permisi!" kataku segera ingin pergi dari sana. Sayang sekali, tampan dan menawan, tapi gila, pikirku.

Dia tak menahan langkahku, tapi apa yang dia katakan selanjutnya membuatku berhenti seketika.

"Kau memang tak mengenalku, tapi kau mendatangiku dari waktu yang lain!" teriaknya

Aku terdiam. Waktu yang lain? apa dia benar-benar tahu tentang diriku ataukah ini hanya kebetulan semata? kebetulan saja dia merayuku dengan kata-kata 'waktu.'

Aku langsung memutar tubuh kembali ke arahnya dengan tatapan curiga. Herannya dia hanya berdiri di sana dengan senyuman menggembang sempurna.

"Apa yang kau katakan? waktu yang lain? apa kau serius? oh! ya! kau hanya mencoba menggodaku dengan hal itu. Hahaha bodoh sekali! aku berterima kasih kau sudah menolongku tapi bukan berarti kau bisa menggodaku begitu saja," tolakku yang masih merasa tak mungkin ada yang tahu aku bisa berpindah waktu. Rahasia ini ku simpan erat karena terakhir kali aku mengatakan hal itu pada orang yang aku anggap sahabat di sekolah dasar malah menyebarkannya dan seluruh sekolah saat itu menganggap aku anak aneh dan merundungku habis-habisan.

Ya! benar! bisa saja pria ini adalah salah satu teman sekolah dasarku yang sekarang tak kukenali lagi dan dia ingin mengolok-olokku lagi. Sial! kenapa mereka tak pernah lupa, padahal aku tak pernah mau datang ke reuni sekolah dasarku!

"Kau pasti salah satu murid di sekolah dasarku kan? sudahlah! apakah masih menyenangkan mengejekku begitu? ayolah! bukannya kita sudah dewasa? kau ini siapa? Ron? Edgar? Atau David?" cercaku yang mulai merasa kesal mengingat bagaimana mereka merundungku dulu.

"Bukan diantaranya. Aku dari Amerika,"  katanya menggeleng dengan satu alisnya dinaikkan, mungkin bingung melihat reaksiku yang seketika kesal. Aku harus mengakuinya, aksen bicaranya tak seperti orang berasal dari Inggris.

"Lalu kau ini siapa?" Tanya ku masih dengan nada yang seperti ingin mengajaknya berduel.

"Namaku Ethan Maurice Winster," katanya lagi dengan senyuman mengembang, tak terpancing emosinya karena nada bicaraku yang kesal.

"Woh, itu nama yang panjang untuk diingat," gumamku seraya berpikir apakah aku pernah punya dengan nama seperti itu. Tak ku temukan dalam otakku.

"Kau bisa memanggilku Ethan."

"Aku tak punya teman bernama Ethan dan sudah pasti kau salah orang!"

"Kau Ellena Forrester bukan? orang tuamu memanggilmu Elle, namun nenekmu memanggilmu Lena, karena itu selanjutnya semua memanggilmu Lena," katanya menjabarkan. Aku hanya melongo mendengarkannya.

Melihat wajahku yang tampak bingung bercampur tak percaya, dia kembali tersenyum lebar.

"Sudah ku katakan saat ini kau memang tak mengenalku, karena ini adalah pertemuan pertama mu denganku. Tapi, percayalah. Aku sudah beberapa kali bertemu dengan dirimu dari waktu yang lain. Ya, aku tahu, kau bisa menjelajah waktu," jelasnya lagi.

Aku membesarkan mataku sempurna dan menarik napasku panjang tanda kaget dan tak percaya. Bagaimana bisa aku menemuinya? Dia ini siapa?

"Bagaimana bisa?" 

"Ehm … aku rasa kita lebih baik mencari tempat berbicara. Tempat  ini tak cocok dijadikan tempat menjelaskan semuanya."

Aku melirik ke arah sekitar tanpa menolehkan kepalaku. Ya! benar yang dia katakan. Sekarang kami berdiri di pinggir jalan di persimpangan ramai. Tak mungkin membahasnya di sini. Aku ingin tahu dia ini siapa? Dan kenapa aku mendatanginya di waktu yang lain? Karena itu aku menyetujuinya.

"Baiklah."

"Ada toko kue dan kopi di dekat sini bukan? Toko tempatmu sering membaca buku, dia masih buka jam segini," katanya menatap ke arah jamnya.

Aku memasang wajah waspadaku, bagaimana dia tahu semua ini. Apakah ada kemungkinan dia adalah seorang penguntit?

"Ok, kau jalan duluan," perintahku. Jika ada apa-apa aku tinggal lari darinya.

"Baiklah. jangan lari ya!" godanya dengan senyuman merekah. Aku menjawabnya dengan dengusan kesal yang malah mengubah senyumnya jadi tawa kecil.

Aku mengikutinya menuju toko kue dan kopi yang memang menjadi tempat kesukaan ku saat membaca buku. Jarak kami tak dekat, berjarak 20 kaki. Aku memang sengaja menjaga jarak kami dan dia hanya sesekali melirikku sambil tersenyum. Aku memperhatikan penampilannya dari belakang. Tinggi, tegap tertutup mantel hitam legam  dan bersyal rajut abu-abu. Dari tadi angin dingin menerbangkan wanginya. Sejenak saja sudah menempel di otakku.

Dia membukakan pintu kaca toko itu, dengan gayanya mempersilakan aku untuk masuk. Aku hanya memandangnya sedikit sinis dan masuk saja ke dalam tanpa mengucapkan terima kasih.

Aku mengedarkan pandanganku ke arah toko yang cukup ramai. Menatap orang-orang yang bercengkrama satu sama lain.

"Tempat favorit mu kosong. Wah beruntung sekali, ataukah aku memang sudah tahu," katanya sedikit mengagetkanku karena tiba-tiba saja dia berbicara dari belakang.

Aku memasang wajah tambah kesal. Melihat dia berjalan ke arah pojok ruangan di dekat kaca. Tempat favoritku.

Dia duduk di kursi kecil di depan sofa panjang yang selalu ku duduki. Karena kakinya yang jenjang, dia terlihat tak nyaman duduk di kursi kecil itu.

"Kenapa tak duduk di sofa saja?" tanyaku sebelum duduk untuk membuka mantelku. Dia pasti akan lebih nyaman duduk di sofa.

"Itu tempat duduk favoritmu. Aku tak akan mengambilnya," ujarnya lagi. Aku hanya mengangguk dan langsung duduk.

"Mau pesan apa?" tanya seorang pelayan yang mendatangi tempat kami. Gadis muda yang tampak centil dengan rambut pirang berkuncir dua juga bando tanduk rusa khas natalnya. Pakaiannya juga cukup menggoda dengan kaos putih ketat dan rok berwarna khaki yang sangat minim. Dia tampak sekali terpesona dengan pria yang ada di depanku ini, terbukti dia melemparkan senyuman genitnya.

"Biar aku tebak. Latte dan Avocado Chocolate Mousse," kata Ethan sambil menunjuk ke arahku.

Benar! itulah yang ingin aku pesan. 

"Camomile tea saja," kata ku menolak untuk membenarkan apa yang dia katakan. Ethan mengerutkan dahinya tapi senyumnya masih terulas. 

"Lalu Anda, Tuan tampan?" goda pelayan itu lagi.

"Aku pesan Hot Latte dan Avocado Chocolate Mousse saja, aku dengar itu yang paling enak di sini," ujar Ethan lagi.

"Baiklah, mohon tunggu sejenak," kata gadis itu dengan senyuman genitnya. Ethan dengan ramahnya memberikan kembali senyumannya. Aku memutar bola mataku, ah! penggoda, pikirku.

"Yap! sekarang aku ingin bertanya padamu," kataku tak ingin berbasa-basi.

"Baiklah, apa yang ingin kau tahu?" tanyanya sambil menegakkan dan mencondongkan tubuhnya ke arah ku.

"Kau bilang, kau tahu bahwa aku penjelajah waktu?" 

"Ya, aku tahu. Kau sendiri yang menceritakannya padaku."

"Kau juga bilang aku menemuimu beberapa kali, bukan?"

"Ya, pertama kali aku bertemu denganmu, saat itu umurku empat belas tahun."

"Empat belas  tahun? lalu apa kau tahu saat itu aku berumur berapa tahun?" tanyaku mulai tertarik dengan ceritanya. Tak sadarku membuatku mencondongkan tubuhku ke arahnya.

"Ya, saat itu kau berumur dua puluh dua tahun." 

"Berarti itu akan terjadi  dua tahun lagi, apa yang aku lakukan atau apa ada yang aku katakan?" kata ku mengangguk pelan menganalisa perkataannya. Pantas aku belum mengalaminya.

"Kau menenangkanku saat itu."

"He? menenangkanmu? kenapa?" 

"Itu hari pemakaman nenekku, aku tumbuh bersamanya. Kau datang dan menenangkanku. Kau mengatakan kau akan datang lagi beberapa kali untuk menemuiku, kau juga mengatakan untuk memberikanmu coklat setiap kali aku bertemu denganmu. Sejak itu aku selalu menunggumu dan membawa coklat ini," katanya mengeluarkan coklat yang biasa aku bawa-bawa. Aku menarik napas. Tak bisa lagi membantah.

"Baiklah, lalu?" kataku lagi.

"Selanjutnya kau datang saat aku berumur tujuh belas tahun. Itu saat kami sedang memenangkan perlombaan basket tingkat nasional, kau datang dan memberiku selamat," kata Ethan menyeruput lattenya yang sudah datang. Aku menelan ludah. Lette itu pasti sangat enak.

"Ehm? begitukah?" kataku mengerutkan dahinya. Terasa tak penting kali ini.

"Ya, saat itu kau berumur 30 tahun." 

"Ok! setidaknya aku jadi tahu aku akan hidup sampai berumur tiga puluh tahun." candaku menyeruput teh Camomile itu, tak terlalu buruk.

"Kau akan berumur lebih panjang dari pada itu," katanya tertawa kecil menanggapi candaan garingku.

"Benarkah? apa aku pernah menemuimu lagi dengan umur lebih tua?" tanyaku penasaran.

"Ya! jauh lebih tua dari kau yang berumur tiga puluh tahun, kau pernah datang padaku saat berumur empat puluh sembilan tahun,"  liriknya maut dengan mata hazel berbintik emas itu.

"Wah! lalu berapa umurmu saat itu? apa yang aku lakukan? bagaimana penampilanku?" cercaku penasaran. Siapa pun pasti ingin tahu hal itu.

"Saat itu umurku delapan belas tahun, itu adalah malam prom dan …." ucapnya seraya menerawang.

"Jangan bilang kau berdansa denganku yang berumur empat puluh sembilan tahun di malam prom," aku terkekeh karena memikirkan hal itu, tentu aku hanya bercanda saat itu, mana mungkin seorang anak berumur delapan belas tahun berdansa dengan nenek-nenek di malam promnya.

"Ya, kita memang melakukannya," ujar Ethan santai saja sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kayu itu.

Aku hampir tersedak mendengar hal itu. Bagaimana bisa dia melakukannya? malam prom itu bukannya hanya terjadi sekali seumur hidup?

"Kau bercanda bukan?" tanyaku.

"Tidak, aku memang melakukannya."

"Apa tak aneh? apa yang dipikirkan orang-orang saat melihatmu berdansa dengan nenek-nenek?" Cercaku lagi.

"Ya, mungkin aku sukses membuat mereka mengerutkan dahi. Tapi aku tidak peduli, aku yang mengajakmu ke sana," ujarnya lagi dengan senyum tipis yang sangat manis. Entah kenapa senyuman itu membuatku langsung tersipu. Apalagi perkataannya tentang dia tak peduli walau berdansa denganku yang berumur hampir setengah abad itu terdengar cukup romantis bagiku.

"Ehm? apa aku banyak bercerita tentang kita? apa hubungan kita sebenarnya hingga aku bertemu denganmu? dan … eh? apa hubungan kita?" ucapku bingung karena salah tingkah.

"Belum jelaskah? kau dan aku, kita ditakdirkan bersama," katanya mantap menatap lurus padaku. Memerangkap pandanganku hingga terkunci padanya. Aku bisa merasakan jantungku saat itu berdetak begitu keras hingga rasanya sesak bernapas. Apa yang terjadi padaku?

"Lena! dugaanku benar! ternyata kau ada di sini! aku sudah menunggumu lama sekali. Aku merindukanmu."

Sebuah ciuman hangat mendarat di rambutku saat Jacob memeluk kepalaku. Aku yang masih mengambang tentunya langsung kaget melihat sosoknya di sana. Jacob adalah kekasihku selama 8 bulan terakhir. Malam ini aku berjanji untuk bertemu dengannya sebelum aku bertemu pria asing yang sekarang duduk di depanku dengan wajah datarnya melihat bagaimana Jacob mencium dan memeluk diriku. Aku bisa merasakan tatapan cemburu itu.

"Hei, siapa dia?" tanya Jacob tanpa segan duduk di sampingku, tangannya segera terpaut dengan tanganku. Aku lihat Ethan melirik ke arah itu dan aku tahu Jacob sengaja melakukannya untuk mempertegas hubungan kami.

"Eh?! ya! ini Ethan, Ethan ini Jacob! Jacob adalah kekasihku! aku pasti pernah berbicara tentangnya juga bukan?" kataku dengan gestur dan cara bicara yang gugup dan salah tingkah. Jacob mengerutkan dahi melihat tingkahku yang seperti ini, aku hanya membalasnya dengan senyuman canggung.

"Sayangnya, mungkin kau lupa menceritakan tentang hal ini padaku," ujar Ethan rendah. Aku bisa menangkap kekecewaannya. Entah kenapa merasa bersalah padahal apa salahku? mana aku tahu aku akan bertemu dengannya malam ini? 

"Eh?"

Aku terdiam bingung ditatap dua lelaki yang sekarang memasang wajah ini bertanya. Apa yang aku harus lakukan sekarang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status