“Ini aku Bil, hey lihat aku, ini aku.” Liona memaksa Bily untuk melihat wajahnya.“Liona? Benar ini lo? gue gak lagi mimpi kan?” Bily meraba wajah Liona dengan tangan besarnya, kemudian rangkulan yang begitu erat di terima Liona saat itu juga. Bily meracau tak jelas, menyebut namanya berulang kali yang tak bisa ia terjemahkan. Dengan susah payah, Liona meminta tolong bartender untuk membawa Bily ke mobil. “Astaga ini berat banget, aku bahkan gak kuat bawa setengah lengannya.” Liona ambruk di langkah keduanya membopong Bily. Dia menyerah dan meninggalkan tubuh Bily yang sekarang tertidur di lantai dan berlari mencoba mencari security yang berpatroli.Keberentungan sedang berpihak padanya, dia dibantu seorang pria yang berada di lantai yang sama dimana unit Bily berada. Liona berhasil masuk dengan kartu akses yang dia dapat setelah menggeledah dompet Bily. Hanya tinggal beberapa langkah lagi ia akan sampai di kasur temannya ini. Liona limbung dan ikut terjatuh bersama dengan tubuh Bily
"Aku tidak tau apa yang aku lakukan sekarang, yang pasti aku tidak rela melihatmu bersamanya." jemarinya begitu erat mencengkram kemudi.Ferarri kuning yang melaju tanpa suara terparkir di sebuah rumah dengan gaya modern tropis, desain yang elegant yang cocok dengan iklim Indonesia. Bisa ditebak bahwa pemilik rumah suka dengan suasana nyaman dengan dominasi hijau di dalam rumahnya.Bily melenggang santai, entah berapa lama ia tak pernah pulang ke rumah orang tuanya setelah melepas diri untuk lebih mandiri.“Den Bily pulang, mau bibi buatkan teh” Salah satu pelayan paruh baya bertanya sopan kepada Bily, tahu betul bahwa anak majikannya tersebut jarang berada di rumah.“Gak perlu, aku bukan tamu disini.” Nada itu tepat seperti biasanya, dia tidak pernah bermuka ramah selama berada di rumah. Langah kakinya menaiki tangga menuju suatu ruangan yang dia kenal betul, semua tertata persis sebelum dia pergi dari rumah ini.“Nak, kamu pulang. Sayang, Mama kangen banget.” Suara seseorang dari a
"Siapa yang memberitahumu?" Arka ikut duduk di samping Liona, mengambil alih tangan dari pahanya."Siapa yang menelpon tadi?" tanya Arka lebih lembut."Calon tunanganmu, Tania. Ahh bukan, harusnya dia sudah menjadi tunanganmu malam ini." Liona tersenyum kecut."Apa saja yang dia katakan?" Lihat, bahkan Arka tak menyangkal saat Liona mengatakan kalimat itu, membuat Liona tambah tak karuan."Semuanya. Dia juga mengataiku bahwa aku hanya seorang selingkuhan." Ia melepas tangannya dari genggaman Arka dan duduk lurus ke depan.Arka mengambil tangan itu lagi sambil mengubah kembali arah Liona duduk agar menghadapnya. "Kita sudah pernah membahasnya bukan? Itu hanya cinta sepihak, ini hanya rencana mereka dan aku tidak pernah setuju. Itulah kenapa aku memilih ikut bersama kalian di sini karena aku lebih memilihmu. Kamu yang aku inginkan sayang, kamu jelas tahu itu." pelukan segera berhampur menenggelamkan tubuh mungil itu di balik kekarnya bobot tubuh Arka."Ini kencan kita, jangan pikirkan
"Ayo makan dulu nanti kamu sakit." Liona yang murung membuat Arka malah tambah khawatir jauh dari sebelumnya."Aku suapin ya, dikit aja nanti langsung tidur." Bujukan itu tak berhasil, Liona menggeleng kecil dan mengeratkan pelukan pada tubuhnya sendiri. "Yaudah sekarang kamu tidur, aku temenin di sini sampai kamu benar- benar terlelap." Tangannya menepuk bantal dan menuntun Liona untuk merebahkan tubuhnya disana. Untuk kali ini Liona menurut, ia tidur di samping Arka yang duduk di pinggiran ranjang."Jangan pikirkan hal lain, kamu bisa tinggal di sini sampai kapanpun, aku akan selalu memastikan kamu baik- baik saja." Di elus kepala Liona dengan tangan lembut Arka, sampai perlahan mata yang khawatir itu terpejam dengan kehangatan yang menghipnotisnya."Bagaimana? Semuanya selesai?" Kursinya di putar saat seseorang datang ke ruangannya."Sudah pak, saya sudah memastikan bahwa tidak ada satupun yang tersisa di dalamnya. Semua hangus terbakar." Pria dengan masker hitam itupun pulang saa
"Orang kaya memang selalu menyebalkan, mentang- mentang dia anak pemilik perusahaan kita harus nunggu dia selama ini. Nyebelin." Desi mengomel di samping Liona yang sebenarnya juga sudah bosan duduk lama di kursinya.Rapat kali ini dihadiri oleh Wijaya sendiri sebagai pemilik perusahaan. Meski kabar sudah tercium sejak lama namun kedatangan anak tunggal yang secara resmi bergabung ke perusahaan membuat banyak karyawan kebingungan, karena kabar bahwa anak wijaya tersebut memang tidak tertarik dengan perusahaan pada awalnya. Posisi yang diberikan juga sangat jauh dari perkiraan para karyawan, karena wijaya justru malah memberi Marko posisi lebih baik dari pada putranya tersebut.Menghindari banyaknya kesalahpahaman yang terjadi seiring gosip yang berhembus, pimpinan meluangkan waktu untuk memimpin berlangsungnya rapat dan secara khusus mengundang karyawannya untuk datang ke acara penyambutan bergabungnya putra Wijaya.“Maaf untuk kesan pertama yang kurang sopan, saya mengalami keterlamb
“Aku harap kamu hadir malam ini.”Pesan yang dikirim Bily membuat dilema untuk Liona, sebenarnya banyak hal yang ingin Liona tanyakan pada Bily tapi mengingat bahwa Arka yang masih marah padanya, datang ke sana bukanlah pilihan yang tepat."Arka,.. Arka buka pintunya." ketukan di pintu kamar Arka berulang kali terdengar, namun Arka tak peduli dan masih tetap duduk diam di sofa yang berada di kamarnya."Aku udah masak buat makan malam, kamu belum makan dari tadi siang." Liona tidak mudah menyerah, ia mengetuk lagi."Aku minta maaf" masih di balik pintu, suara itu samar terdengar di pendengaran Arka yang menjadi kalimat terakhir karena ketukan di pintunya tak lagi terdengar.Liona memutuskan untuk makan sendiri di meja makan, ia berharap Arka akan datang dan makan bersamanya tapi sampai suapan terakhirnya pun Liona tetap masih sendirian di sana.Prangg...."Awww.. shhh perih." Pintu kamar Arka segera terbuka mendengar pekikan dari arah dapur."Kenapa? Astaga." Arka meraih jari yang sed
"kalian sangat serasi." Desi yang baru saja kembali dari toilet tiba- tiba nyeletuk."Des,.." Liona memelototi temannya sambil mencubit pelan. "Arka, kamu dengar semua yang aku bicarakan?" Wijaya kembali memfokuskan pandangannya ke meja depan. Tempatnya duduk hanya terhalang satu kursi dengan tempat Liona makan sehingga ia bisa mendengar semua yang di bicarakan disana."Apa yang mencuri perhatianmu dari tadi." Wijaya celingukan."Tidak, tidak ada pak aku hanya tidak bisa fokus siang ini. Mari kita lanjutkan yang kita bicarakan." tegas Arka, meski hatinya jujur saja tidak karuan. Jika saja tidak ada Wijaya di sana, mungkin sekarang ia sudah mendatangi meja Liona dan menariknya dari meja."Apakah aku terlalu sejelas itu? Padahal aku sudah berusaha untuk tidak terlalu jelas memperlihatkannya." Bily mengusap dagunya malu. "Jadi kalian benar- benar pacaran?" Desi memastikan."Des kamu bicara apa sih, aku dan Bily- maksudku aku dan pak Bily tidak punya hubungan seperti itu." Liona segera
"Kenapa sangat buru- buru Arka, ada seseorang yang menunggumu di rumah? Kalau aku tidak lupa kamu masih seorang pria lajang kan." Wijaya meledek Arka yang beringsut membereskan laptopnya setelah pertemuan."Bukan begitu, ini sudah malam. Aku hanya ingin istirahat lebih awal." Mengulas senyumnya setelah berpamitan untuk pulang.Arka mengetik beberapa kata yang ia kirim untuk Liona."Kenapa gak langsung di balas, dia udah tidur? Apa dia udah makan?" Tak mau banyak menghabiskan waktu Arka segera melajukan mobilnya.Langkahnya mengalun sampai ke kamar yang ia tuju. Sambil mendayung langkah ia melepas satu persatu lapisan dari pakaiannya seperti dasi dan jas yang ia lempar sembarang ke sofa."Sayang.." ia mengetuk pintu kamar tempat Liona tinggal.Tak ada jawaban, Arka memaku sekejap dan membuka handle pintu untuk masuk ke dalam.Ranjangnya kosong, tak terlihat sosok cantiknya di sana."Sayang.." memanggilnya lagi, kini langkahnya sudah tidak bisa santai lagi. "Liona, dimana kamu sayang?"