"Jihan, malam ini biar Akhtara tidur di kamarmu ya? Kamu sama Mama dan Papa tidur di kamar satunya."
Tanganku yang akan meraih ponsel Pak Akhtara yang berdering dari Sabrina akhirnya batal karena seruan dari Mama.Duh ... Mama! Kenapa datang di saat yang salah?!"Lha? Kok gitu?" Aku menunjukkan sisi keberatan."Lalu Akhtara kamu suruh tidur di mana?"Lalu muncul Pak Akhtara dari belakang Mama dengan senyum setipis tisyu. Entah racun internet apa lagi yang beliau lancarkan untuk membuat Mama mengikuti permainannya."Lho, Ma? Memangnya kamar kita muat untuk bertiga?" tanya Papa."Papa ini gimana sih? Masak tamu disuruh tidur ruang tamu? Nggak etis banget apalagi Akhtara udah belanja banyak untuk keluarga kita loh."Nah kan?!Hati Mama luluh hanya karena belanjaan yang Pak Akhtara berikan.Di rumah kami yang sederhana dengan dua kamar inilah Pak Akhtara tidur untuk pertama kalinya.Usai dari kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar percakapan diam-diam Papa dan Pak Akhtara di dalam kamarku."Rencananya minggu depan hari Kamis, Pak. Baru saja Papa saya bilang melalui sambungan telfon."Oh ... keluarga Pak Akhtara meminta pernikahan kami dilaksanakan Kamis depan."Tapi Jihan memang nggak lagi hamil duluan kan, Tar?""Tidak, Pak. Saya berani jamin kalau kami tidak pernah melampaui batas."Ya iyalah, melampaui batas dari mana memangnya?Sedang kami hanya berinteraksi di kantor sebatas atasan dan bawahan saja."Ya sudahlah, karena Jihan kelihatannya suka sama kamu, keluargamu juga udah setuju sekali, dan Mamanya juga setuju, aku sebagai Papa cuma bisa mendoakan yang terbaik dan ngasih doa restu. Biar kehidupan rumah tangga kalian langgeng, rukun, dan harmonis."Keesokan harinya, Papa mengajak Pak Akhtara keluar untuk menemaninya membuat tempe di sebuah rumah kosong yang disewa Papa.Aduh! Betapa malunya aku ketika Papa mengatakan pada Pak Akhtara tentang bisnis kecilnya itu.Secara, Pak Akhtara itu manajer dan Papa hanyalah mantan orang kaya yang kini berusaha kembali memapankan ekonomi."Han, tadi pagi Mama sama Papa ngobrol soal Akhtara," ucap Mama ketika kami sedang membuat sarapan sederhana di dapur."Ngobrol apaan, Ma?""Ada rasa senang bakal punya mantu semapan dan sebaik Akhtara. Tapi ya ... kalau inget umurnya Akhtara dia itu cocoknya jadi Om mu," ucap Mama sambil mengulek sambal bawang.Aku berdehem lalu bersuara, "Nggak masalah, Ma. Namanya juga jodoh. Dari pada sama laki-laki yang nggak punya kerjaan bagus."Lalu Mama menoleh padaku, "Kamu kok kayak jadi matre sih, Han?"Aku mengangkat tempe yang sudah matang itu dan meniriskannya."Bukan matre, Ma. Tapi realistis. Hidup di Jakarta itu nggak cukup modal cinta aja. Soalnya, mau parkir aja duit. Mau ke toilet juga duit."Mama nenghentikan mengulek sambal lalu menatapku lekat."Jangan pernah menjadikan uang sebagai raja atas segala kebutuhanmu, Han. Itu nggak akan pernah bikin kamu puas. Karena sebanyak apapun uang yang kamu punya, itu nggak akan bisa dipakai untuk membeli keharmonisan berumah tangga."***Pak Akhtara dan Papa baru kembali ke rumah setelah tengah hari. Entah apa yang mereka obrolkan, tapi aku bisa menduga jika Papa sedang memberi wejangan pada Pak Akhtara secara empat mata sekaligus mengenalkan bisnis tempenya.[Pesan dari Pak Akhtara : Han, jam empat sore nanti kita harus balik. Biar nggak kemalaman.]Usai membaca pesannya, aku segera mengemasi tas lalu membantu Mama mencuci piring di dapur. Baru saja Pak Akhtara dan Papa sarapan sekaligus makan siang bersama.Keduanya tampak kompak dan aku penasaran sekali dengan strategi apa yang dipakai untuk meluluhkan hati Papa."Hari Rabu minggu depan, Mama dan Papa akan datang ke Jakarta, Han," ucap Papa ketika aku berpamitan.Karena hari Kamis, aku dan Pak Akhtara akan menikah."Iya, Pa," jawabku dengan anggukan.Lalu Pak Akhtara mencium punggung tangan kedua orang tuaku dengan sopan.Begitu mobil Pak Akhtara sudah keluar dari komplek perumahan, aku menatap beliau dari samping."Tadi, Papa saya ngobrolin apa, Pak?""Soal janji untuk jagain, bahagiain, dan lindungin kamu. Karena kamu anak semata wayang yang mereka sayangi," ucapnya dengan tatapan lurus ke depan sambil mengemudi."Oh ... ""Saya baru tahu kamu anak tunggal, Han."Kepalaku mengangguk tegas, "Dan itu nggak enak, Pak. Kalau ada masalah keluarga, jadi mikirnya sendirian. Mau mikir sama pasangan, eeeh ... pasangan saya justru pasangan palsu. Suami palsu alias suami kontrak. Tetap aja jatuhnya saya mikir sendirian.""Oh ... jadi kamu ngarep minta saya bantuin mikir masalah keluargamu?"Aku menatap Pak Akhtara terkejut, "Bapak salah paham kayaknya.""Nanti kalau perjanjian pernikahan kontrak kita udah habis, saya doakan kamu dapat lelaki yang terbaik, Han. Sekaligus, maafkan saya yang terlanjur melibatkan kamu sama urusan saya sampai kayak gini," ucapnya masih tetap fokus mengemudi.Aku tersenyum mendengar permintaan maaf manajerku itu untuk pertama kalinya."Saya janji akan kasih bonus tambahan biar kamu nggak menggeluti pekerjaan kayak gjni lagi, Han."Aku menaikkan alis dengan ekspresi terkejut mendengar ucapan beliau."Kerja yang halal dan baik. Akhiri pekerjaan kayak gini sampai di saya aja. Kasihan kalau orang tuamu tahu kebenarannya, Han. Terutama Papamu.""Saya juga nggak akan kayak gini kalau nggak terpaksa, Pak.""Jangan pakai alasan karena terpaksa. Karena satu masalah itu ada maka dia turun dengan dua solusinya sekaligus.""Dan bertemu Bapak adalah solusinya!" Putusku cepat.Kepala Pak Akhtara menggeleng tidak habis pikir, "Repot memang bicara sama kamu, Han. Dikasih tahu yang serius malah kamu nanggapinnya lawakan.""Biar nggak sepaneng, Pak."Apa yang Pak Akhtara katakan benar-benar tidak kumengerti sama sekali. Atau lebih tepatnya aku tidak mau mengerti sama sekali.Hal-hal yang terlalu mendalam seperti itu hanya membuat kepalaku makin pusing. Karena yang terpenting sekarang hanya bagaimana caraku mendapatkan uang, uang, dan uang.***Aktivitasku dan Pak Akhtara di kantor seperti tidak ada apa-apa. Aku menyelesaikan pekerjaan sesuai job desk.Bila bertemu Pak Akhtara secara tidak sengaja, aku bersikap seperti staf pada umumnya. Mengangguk penuh hormat kemudian berlalu begitu saja.Kami tidak pernah bertukar pesan apapun jika itu tidak ada hubungannya dengan masalah pekerjaan. Sedang Mama setiap hari menjadi lebih sering menghubungi untuk bertanya ..."Gimana kabar mantu kesayangan Mama hari ini di kantor, Han?"Aku hampir menjatuhkan ponsel semata wayangku mendengar pertanyaan Mama yang menggelikan itu."Enak ya, Han, satu kantor sama calon suami. Kamu pasti diperlakukan istimewa banget diantara karyawan yang lain."Kepalaku menggeleng pelan tak habis pikir dengan pertanyaan Mama."Ya enggak lah, Ma. Itu bukan perusahaan Mas Akhtara kok. Kami sama-sama bekerja di sana.""Ya tapi kan enak, Han. Sebentar lagi kamu bakal jadi istrinya manajer. Teman-temanmu pasti iri."Ya Tuhan, Mamaku. Halusinasinya terlalu tinggi. Padahal Pak Akhtara hanya suami palsuku dan kami tidak akan bersama selamanya."Udah deh, Ma. Biasa aja. Jangan terlalu tinggi berharap, nanti bisa sakit kalau jatuh." Lalu empat hari kemudian, tepatnya tiga hari sebelum akad nikah kami, Pak Akhtara mengajak bertemu di sebuah cafe and resto usai pulang kerja."Surat perjanjian pra nikah kita sudah jadi. Saya tunggu kamu sore ini di Bittersweat cafe."Perjanjian di atas sepuluh lembar kertas itu berisi pasal-pasal lengkap tentang aturan pernikahan kontrak kami. Tidak ada yang merugikanku sama sekali."Saya setuju, Pak.""Oke, silahkan tanda tangan kalau gitu."Aku segera membubuhkan tanda tangan di atas kertas bermaterai itu dengan perasaan biasa saja."Selamat datang di kehidupan baru kita, Jihan. Tolong tepati kesepakatan ini sampai habis masa kontraknya. Siapkan dirimu, tiga hari lagi kita akan menikah. Mainkan peranmu dengan baik."Enjoy reading ...
Sesuai kesepakatan, Mama dan Papa datang ke Jakarta menggunakan travel agensi lalu menginap di sebuh hotel. Semua itu dibiayai oleh Pak Akhtara karena beliau lah yang paling membutuhkan pernikahan ini. Aku dan Pak Akhtara sepakat untuk menggelar akad nikah ini ketika malam hari. Karena tidak mungkin jika kami mengambil izin cuti kantor untuk menikah. Selain itu pernikahan ini terikat oleh waktu tertentu sesuai perjanjian dan tidak boleh sampai diketahui siapapun apalagi orang kantor, kecuali keluarga besar. Pernikahan ini hanya formalitas di depan keluarga Pak Akhtara saja. Bukan untuk konsumsi publik. Tidak ada resepsi mewah karena semuanya disediakan mendadak sekali. Usai dirias secantik mungkin di hotel tempat kedua orang tuaku menginap, sebuah gaun putih dengan payet indah itu disodorkan padaku. Ukurannya begitu pas dan penampilanku begitu cantik jelita dengan sanggul paes ageng dan bunga melati yang menjuntai sampai di depan dada. "Han, kamu dan Akhtara itu mau menikah. Ma
Benar sekali tebakanku! Pak Akhtara nampak terkejut dan bingung bagaimana menjelaskannya. Tentang orang tuaku yang belum kami sepakati agar merubah nama panggilanku menjadi Sabrina. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Orang tuaku tetap memanggilku dengan nama Jihan, seperti biasanya di hadapan kedua orang tua Pak Akhtara. Wajah lelah Pak Akhtara makin tertekan karena rencana kami kurang matang. Sudah barang pasti aku dan Pak Akhtara sama-sama dilanda kecemasan saat ini. Jika sudah begini, aku harus memainkan peran sebagai Sabrina palsu dan istri kontrak dengan baik. Jangan sampai rahasia kami terkuak. Karena aku juga tidak mau kedua orang tuaku mengetahui skenario pernikahan bohongan kami. Aku segera meraih lengan Pak Akhtara dan merangkulnya mesra di hadapan kedua orang tuanya. Beruntung Pak Akhtara langsung bisa mengerti maksudku. "Saya kalau di kantor dipanggil Sabrina, Ma, Pa. Soalnya nama Jihan itu ada tiga. Seringnya kalau manggil Sabira itu kayak beribet. Jadi lebih terbia
"Aku bilang keluar, Jihan!" Bentak Pak Akhtara. Sedang otakku segera memproses perintahnya dengan tangan masih mendekap gaun pernikahan putih yang menutupi dadaku. "Keluar? Apa Bapak tidak mikirin nasib kita gimana selanjutnya kalau orang-orang rumah tahu saya keluar dari kamar Bapak dalam keadaan setengah tanpa busana kayak gini? Mereka bisa ngiranya Bapak melecehkan saya di malam pertama." Penjelasanku itu kemudian menyadarkan Pak Akhtara. Beliau langsung berpikir sejenak kemudian menatapku kembali. "Siapa yang nyuruh kamu masuk kamar saya?!" Aku kembali mendekap gaun pernikahan ini meski payetnya cukup membuat permukaan kulit dadaku seperti digelitiki. Lagipula, kenapa perias dan Mamanya Pak Akhtara lama sekali kembalinya? "Saya disuruh Mamanya Pak Akhtara masuk ke kamar ini. Saya pikir ini kamar saya yang disiapkan Bapak untuk saya." "Ini kamar saya, Jihan!" Bentaknya lagi dengan mata membola. "Mana saya tahu, Pak! Bapak jangan bentak-bentak saya! Soalnya saya juga ngga
"Akhtara! Halo! Kamu dengar aku?" Kemudian dengan secuil ide cemerlang, aku berusaha menyesuaikan suara perempuan yang kumiliki ini berganti menjadi suara lelaki. Hanya dengan mengeluarkan deheman dengan suara dalam. "Hem!" "Akhtara, aku mohon! Maafin aku! Aku bisa jelasin segalanya! Aku nggak bermaksud bohongin kamu! Aku cuma sedang nyari waktu yang tepat biar kamu nggak salah paham," ucap Sabrina yang asli. Sungguh suaranya terdengar begitu empuk dan merdu seperti penyanyi. Kemudian penilaianku tentang penampilannya yang gendut dan tidak cantik seketika berubah. Jangan-jangan dia itu sebenarnya cantik? Tapi setelah mendengar ucapannya, aku mengernyitkan kedua alis dengan rasa penasaran yag teramat. Memangnya apa yang sedang dirahasiakan Sabrina hingga Pak Akhtara begitu marah? "Akhtara, please, ngomong sesuatu. Jangan diam aja! Aku mohon maafin aku. Aku bersedia nyingkirin segalanya demi kamu. Demi hubungan kita, Tar. Aku cinta kamu, Tara. Please. Please, Tara," ucapnya den
“Mama Papa sama orang tuanya Jihan setuju kalau resepsi pernikahan kalian diadain bulan depan. Gimana, Tar?” tanya Mamanya Pak Akhtara. 'Apa?!!' 'Resepsi?!!' Jeritku dalam hati. Lalu kedua bola mataku membelalak tidak percaya menatap beliau dengan mulut terkatup erat. “Kira-kira kalian mau undang teman kerja di kantor berapa ratus orang, Tar, Han? Biar Mama sama Papa bisa estimasi mau pesan catering berapa porsi,” ucap Mamanya Pak Akhtara kembali dengan nada teramat bahagia. Sedang aku dan Pak Akhtara seperti kutu usai disengat listrik bertegangan tinggi saja. Bagaimana tidak terkejut jika pernikahan diam-diam kami kini justru akan diproklamirkan oleh kedua orang tua. Padahal mati-matian kami tidak ingin siapapun orang di kantor tahu pernikahan kontrak ini agar tidak menjadi gunjingan. “Tara, Jihan, kok malah bengong aja?” Kemudian aku menoleh ke arah Pak Akhtara yang meraup udara sebanyak mungkin lalu dimasukkan ke dalam paru-paru hingga berulang kali. Sedang aku berulang kali
Mati aku! Mulutku ini mengapa tidak bisa diam menyumpahi lelaki itu dari tadi. Nah kan, kalau ketahuan rekan satu kantor seperti ini, justru berbahaya dan berpotensi membuka rahasia kami yang sebenarnya. Aku segera mempercepat memoles wajah lalu tersenyum palsu pada Fita. “Gue duluan, Fit.” *** Sepanjang hari aku bekerja sebaik mungkin sembari melupakan apa yang Pak Akhtara lakukan padaku tadi pagi. Hingga secara tidak sengaja, aku berpapasan dengannya waktu akan pergi makan siang bersama teman-teman satu kubikel. Kebetulan beliau baru saja membuka pintu ruangannya. Kandangnya! “Siang, Pak Akhtara,” ucap beberapa temanku bersamaan. “Siang.” “Kami makan siang dulu, Pak.” “Silahkan.” Tanpa mengangguk hormat seperti karyawan yang lain, aku berlalu begitu saja seperti tidak melihatnya dengan ekspresi bodoh amat. “Han, lo berani banget nggak hormat sama Pak Akhtara,” celetuk Ita, teman satu kubikelku yang lain saat kami berjalan bersisian. “Heh?! Nggak kok. Gue hormat kok. Lo a
"Ehm ... kamu udah makan malam?" Aku melirik ke kiri lalu kembali menatap Pak Akhtara yang sudah duduk di bangku kemudi. Ada apa gerangan manajer sekaligus suami kontrakku ini bertanya tentang aku sudah makan atau belum? "Belum, Pak." Jawabku jujur. Kepalanya lantas mengangguk pelan dengan menatapku, "Mau makan malam dulu?" Jamur yang seharusnya berisi spora, kini berisi pertanyaan tentang sikap Pak Akhtara yang berubah sedikit baik itu, tumbuh berjejer di dalam otakku. "Boleh, Pak." "Saya udah nyuruh Bik Wati nyiapin makan malam untuk kita di rumah." Oh ... aku pikir beliau akan membawaku makan malam di luar. Ternyata, kami akan makan malam di rumahnya. Mungkin Pak Akhtara tidak mau menuai resiko jika kami keluar berduaan. Tidak lucu andai ada orang kantor yang memergoki kebersamaan kami lalu muncul kesalahpahaman yang membuat kami dikenai sanksi perusahaan. Peraturan perusahaan kami menyebutkan jika sesama karyawan tidak boleh menjalin hubungan asmara atau melakukan perse
Asem! “Aku … aku di kamarnya Pa ---, eeh … Mas Akhtara kok, Ma. Tuh dia lagi mandi,” ucapku gugup. Bergegas aku memasukkan perlengkapan make up ke dalam tas dengan tergesa-gesa padahal belum memakai lipstick. “Aku mau siapain minum untuk Mas, Ma. Nanti disambung lagi!” Tanpa salam, aku langsung mematikan sambungan video call Mama. Sejurus kemudian menghela nafas lega sembari mengusap dada. “Hampir aja. Mampus gue. Bisa-bisanya nyokap teliti banget sama kamar ini padahal cuma ditidurin semalam doang. Lain kali nggak usah lah video call Mama di kamar. Bisa berabe gue.” Usai memoles make up dengan benar, aku segera keluar kamar untuk meletakkan baju kotor di keranjang yang sudah disiapkan Bik Wati. Bersebelahan dengan keranjang pakaian kotor Pak Akhtara. Bila di kos, aku harus mencuci sendiri pakaian kotorku, namun mulai hari ini aku kembali dilayani seperti saat Mama dan Papa kaya raya. Lumayan lah. Setidaknya taraf hidupku naik satu tingkat meski menjadi istri kontrak manajerku.