“Bodoh, bodoh!” umpat Elia di sela isakan di atas skuternya.
Panik, mengacaukan otaknya dan menurunkan kecerdasannya. Bukan karena sedih air matanya tidak berhenti mengalir, tapi karena gumpalan amarah yang tidak bisa ia luapkan. Elia memacu pelan motornya yang nyaris tenggelam dalam muatan.
“Aku harus pergi ke mana?” lirihnya sendu. “Harusnya tadi aku berkeras untuk tinggal. Toh, itu rumah milik orang tuaku. Bodoh kamu, El!” umpatnya penuh sesal.
Drtt … drtt ….
Elia meminggirkan motornya. Shinta calling ….
“Halo,” jawab Elia menahan tangis.
[El, lu kenapa? Kok suaranya gitu? Nangis, ya?] cecar Shinta dari seberang.
“Eh, nggak. Lagi serak aja,” kilah Elia menahan napas.
[Mau minta tolong, dong. Bisa gak temenin gue tidur apartemen? Gue abis berantem ma bokap.]
“Astaga … kenapa lagi, sih?!” Tangis Elia teralihkan mendengar cerita sahabatnya.
[Reval barusan nelfon gue. Dia bilang, dia lihat bokap gue gandengan ma cewek cantik di depan lift apartemen. Malam ini, gue harus tidur sana supaya bisa nge-gap mereka. Mau, ya? Ya, ya? Plis ….]
“Oke deh. Gue juga kebetulan butuh tempat nginep malam ini,” sambut Elia penuh syukur.
[Yeay …! You’re the best, pokoknya! Gue kirim alamatnya. Thankyou, Elia Cantik.]
Tutt … tutt ….
“Lhah … dimatiin. Dasar!” kesal Elia diiring gelengan kepala.
Tak berapa lama, pesan dari Shinta masuk. Elia membuka aplikasi peta dan terkejut melihat alamat yang Shinta kirimkan.
“Astaga … bukannya ini apartemen yang tadi?” Elia melebarkan ibu jari dan telunjuknya agar peta di layar ponselnya lebih besar. “Benar, tidak salah lagi. Ini apartemen tadi!” pekik Elia antara girang dan takjub. “Kebetulan, aku bisa sekalian memata-matai Yulia dan mengekspos skandalnya.”
“Lama banget, sih?!” sungut Shinta saat membukakan pintu sahabatnya. “Gue hampir mati bosan nungguin lu dateng.”
“Yee … lu pikir gue bisa terbang? Minggir!” Elia mendorong tubuh Shinta dengan badan kopernya.
“Banyak amat bawaan lu, Neng. Macam orang pindah rumah.” Shinta terkekeh menyadari pikirannya sendiri. “Cinta banget ma gue, sih. Te-be-el …,” godanya seraya mengekori Elia.
“Ish … apaan TBL?” ujar Elia risih.
Shinta menyergap Elia dan mendekapnya erat dari samping. Dengan mimik manja, gadis berkacamata itu hampir menyentuhkan bibir manyunnya ke bibir Elia, kalau saja Elia tidak sigap menghindar.
“Terharu banget loh …!”
Puas bercanda dan saling goda, dua sahabat baik itu berbaring berdampingan di ranjang luas terbungkus katun dingin bermotif galaksi. Keduanya kompak menatap langit-langit kamar.
“Lu tau, El. Gue bersyukur banget ada lu dihidup gue. Saat gue susah, seneng, kacau-balau, lu selalu ada.” Shinta memejamkan matanya yang mulai panas. Napasnya tertahan sejenak sebelum berkata, “Bokap gue selingkuh lagi, El. Dan parahnya, nyokap tetap sama, menutup mata. Gue muak, El.”
Elia meraba sisi kirinya, mencari jemari Shinta dan menggenggamnya erat. Hal yang selalu dilakukannya ketika Shinta mulai terisak.
“Reval bilang, wanita selingkuhannya gak beda jauh ma kita usianya. Gila! Rasanya gue pengen jambak rambutnya sampai ke depan kaki nyokap gue. Biar dia lihat kondisi nyokap yang makin parah sejak bokap selingkuhin dia.” Tangis Shinta pecah.
Refleks, Elia menyamping memeluk Shinta. “Shh … sudah, Shin. Lu bakalan makin sakit kalau begini. Mending lu fokus sama kesembuhan nyokap. Hmm?”
Seperti biasanya, Shinta yang periang tidak berlama-lama larut dalam masalah. Diusapnya mata basah hingga tak menyisakan jejak, kecuali kulit yang sedikit lengket dan mengkilap akibat tangis.
“Sekarang, cerita. Kenapa lu minggat dari rumah? Si Penyihir itu nyakitin lu lagi?” Shinta menangkup pipi Elia.
Elia tersenyum getir. “Dia ngusir gue dari rumah.”
“Hah?!” Shinta terduduk kaget. “Kok bisa?!” Shinta menarik tangan Elia agar duduk bersamanya. “Sini, duduk. Cerita yang lengkap. Walaupun gue lagi kesel banget ma bokap, gue bisa minta dia buat bantu lu,” ucap Shinta tulus.
“Dia palsuin surat wasiat bokap dan masukin namanya sebagai pemilik. Dia ngancem bakal jual itu rumah, kalau gue gak keluar,” singkat Elia.
“Astaga … emang bener-bener penyihir culas!” umpat Shinta kesal. “Lagian, kenapa lu percaya aja, sih?! ‘Kan bisa konsul dulu ke pengacara atau LBH, kayak kita konsul pasien ke spesialis gitu lah. Gak main keluar begini, baliknya ke sana susah, Neng. Astaga … El, kok gue jadi kesel banget, ya?!” cerocos Shinta kesal.
Sekali lagi, senyum getir Elia terbit. “Ya, gue juga makin kesel setelah denger omongan lu barusan,” sesal Elia. “Gue panik banget tadi, pas Yulia hubungin agen properti buat jual rumah bokap. Yang terlintas di pikiran, cuma ngikutin permintaan dia supaya itu rumah gak dia jual.” Elia tertunduk menyadari kecerobohannya yang fatal.
“Lu liat gak, sapa nama notarisnya? Sapa tau bokap gue kenal dan bisa bantuin lobi gitu.”
Elia hanya menggeleng lemah. “Gue gak kepikiran sejauh itu, Shin.”
Shinta mencondongkan tubuhnya memeluk Elia, menepuk pelan punggung sahabatnya, memberi penghiburan.
“Oke, sekarang kita tidur dulu. Besok kita pikirin lagi gimana caranya membalas penyihir culas itu.”
Jauh setelah Shinta terlelap, Elia masih terjaga dengan mata nanar menatap langit kamar yang gelap. Tanpa sinar lampu, Elia merasa dadanya semakin sesak oleh beban. Disingkapnya selimut yang menutup tubuhnya, kakinya turun dari ranjang dan bergerak menuju balkon. Dinginnya angin malam menyapu wajah cantik Elia lembut.
Matanya mengedar ke balkon lain di depannya. Beberapa lampu ada yang masih menyala terang, sedang lainnya gelap seperti tempatnya berdiri. Mata Elia perlahan terpejam, menikmati desiran angin yang menerbangkan ingatannya kembali ke masa kecilnya, ketika ia duduk di sekolah dasar. Saat ia dan ayah ibunya bersama-sama meletakkan batu pondasi pertama di atas hamparan tanah kosong warisan nenek dari ibunya.
“El, rumah ini nantinya akan kamu tempati bersama suami dan anak-anakmu,” ujar ibunya kala itu, sambil berjongkok di depan Elia kecil.
“Lalu, ayah dan ibu tinggal di mana?” bingung Elia kecil.
“Kami akan tinggal di sini, membantumu menjaga cucu. Iya ‘kan, Yah?” binar ibunya disambut anggukan antusias ayahnya.
Buliran hangat menangkis dinginnya angina di pipi Elia. “Aku bahkan belum menemukan pasangan untuk membangun rumah tangga, kalian sudah pergi meninggalkanku.”
***
“Pagi begini udah cantik, mau ke mana, Neng?” tanya Shinta sambil mengucek matanya yang masih berat.
“Mau ke kampus. Ada janjian ma Prof. Barata, gue. Lu lanjut tidur lagi aja, gue motoran aja biar cepet. Bye …!” Elia melambaikan tangan seraya memakai sepatunya.
Di depan pintu ruangan Kepala Jurusan, Elia berdiri termangu beberapa lama. Ia tersentak saat pemilik ruangan membuka pintu dari dalam dan menegurnya.
“Masuk, El.”
“Ehh … iya, Prof.” Elia mengekori Barata dengan patuh. Dipilihnya kursi yang menurutnya aman untuk menerima amukan dosen walinya.
“Saya langsung saja. Bagaimana dengan tawaran saya, sudah kamu pikirkan?” Barata menatap puncak kepala Elia yang menghadap padanya.
Elia mengangkat wajahnya perlahan. “Maaf, Prof. Dengan berat hati, saya harus menolak kesempatan summercamp. Saya tidak ada biaya untuk berangkat, Prof. Setelah kepergian ayah, saya mengalami kesulitan ekonomi,” aku Elia jujur.
Barata menghela napas tanda maklum sekaligus iba. “Baik, saya mengerti kesulitanmu. Semoga kamu bisa bergabung periode depan, ya.”
Elia memaksakan diri tersenyum dan mengangguk hormat sbeelum mengangkat tubuhnya dari sofa. “Saya permisi, Prof.”
“Tunggu, El. Saya ingat ada salah seorang teman dosen yang membutuhkan perawat untuk ibunya yang lumpuh. Apa kamu tidak keberatan, eh, saya lebih tenang kalau kamu yang membantu merawat,” tawar Barata tak enak hati.
Mata Elia mendadak berbinar. “Y-ya, Prof. Saya bersedia, terima kasih!” sahutnya semangat.
Barata turut senang. Ia merogoh saku depan kemejanya, lalu diserahkannya secarik kertas kecil berisi alamat tanpa nama. “Ini, kamu bisa datang dan bilang kalau kamu mahasiswa saya. Hmm?”
Elia tersenyum lega sambil tak hentinya mengucap terima kasih. Bahkan, saat kakinya berdiri di depan pintu kayu besar sebuah rumah megah berwarna putih, hatinya masih diliputi rasa syukur yang tidak terkira.
Ditekannya bel pintu sembari merapikan pakaiannya. Suara berat seorang pria meresponnya melalui interkom.
“Siapa?”
“Saya Elia, Pak. Mahasiswa Prof. Barata,” sahut Elia mantap. ‘Apa perlu aku katakan kalau aku yang akan merawat … ah, belum tentu juga dia pemilik rumahnya, ‘kan?’ bimbang Elia dalam hati sambil menatap ujung sepatunya, khawatir ada kotoran yang mengurangi nilainya.
Ceklek.
Elia mendongak bersamaan dengan pintu yang terbuka. Tenggorokannya tercekat manakala sosok pria yang amat sangat dikenalnya berdiri dengan ciri khasnya—tangan kiri di dalam saku depan celana—dan tatapan tajam menyelidik.
“Kenapa Bapak ada di sini?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Elia.
****
“Kenapa Bapak ada di sini?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Elia.Wirasena mengernyit tidak suka mendengar sapaan yang digunakan padanya. “Bapak?! Siapa yang kamu panggil bapak?”Elia mengerjap panik karena sikap sinis pemilik rumah. ‘Prof. Wira? Kok bisa? Astaga … mimpi apa gue semalem?’ batin Elia bingung.“Bisu?!” kesal Wira karena sikap diam Elia.“E-eh, maaf, Prof. Sepertinya saya salah alamat. Permisi.” Elia buru-buru mengangguk sopan, kemudian berbalik. ‘Kalau dia negur, artinya ini alamat yang benar. Tapi kalau nggak, artinya gue salah alamat. Mampus!’ umpat Elia dalam hati.Langkah Elia sengaja diperlambat untuk berjaga-jaga pria dingin itu memanggilnya. Lima langkah berlalu, tapi tidak ada teguran. Jadi, Elia putuskan mempercepat langkahnya. Di luar gerbang, Elia segera membuka kertas yang sudah lusuh dan dalam genggamannya.“Sedap malam, nomer sembilan belas,” gumamnya sambil celingukan. Matanya melebar manakala melihat papan kayu cokelat tua yang menempel di te
“AAA …!” Teriakan Elia membuat Wirasena terjaga dan menatap marah ke arah gadis itu. Namun, beberapa detik kemudian, pancaran amarah di matanya berganti tatapan bingung. Kulit putih mulus tanpa penutup sedang membanjiri indera penglihatnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?!” bentaknya setengah sadar. Bentakan Wirasena dan tatapan aneh yang terarah padanya membuat Elia menunduk mengikuti arah pandangan itu. “Aaa …!” Teriakan lain yang tak kalah nyaring menyusul keluar diikuti tarikan kasar pada selimut yang setengah tersingkap. “Diam!” geram Wirasena berusaha menguasai diri. “Katakan. Apa yang kau lakukan di kamarku dalam kondisi begini?!” tunjuk Wirasena dengan dagunya. Mata Elia terpejam. Denyutan di kepalanya kembali menyerang. Sekuat tenaga dicobanya mengingat apa yang terjadi semalam. Dahinya mengernyit antara mengingat dan menahan sakit di kepala dan bagian bawah tubuhnya. ‘Sudah terjadi. Ada nyeri dan perih di situ, ada ke
Elia menahan tawanya dengan melipat bibir ke dalam seraya menggeleng.“Kamu sependapat denganku?” selidik Tatik dengan lirikan tajam, tapi sudut bibirnya berkedut membuat Elia kembali meringis.“Maaf, Oma. Tapi, saya memang sependapat.”Mereka berdua terkekeh bersama. Tatik mulai melanjutkan ceritanya tentang mendiang anaknya yang meninggal karena kanker indung telur yang mengakibatkannya tidak bisa memiliki keturunan.“Kadang, aku merasa kasihan saat melihat Wira begitu telaten menemani Mika bermain dan mendengar ocehannya.” Tatik mengusap mata tuanya yang basah. “Tapi, mau bagaimana lagi. Tidak banyak wanita sabar dan pengertian yang mau menderita bersanding dengan pria kaku dan dingin seperti dia.”Elia berjongkok di samping kursi roda Tatik sambil memasangkan pakaian bersih. “Ada sebuah rahasia yang mau Elia ceritakan, tapi Oma harus janji tidak akan menceritakannya pada orang lain.”
Wirasena gelisah sepanjang perjalanan pulang. Ia bahkan menunda jadwal operasi yang sedianya harus dia kerjakan, hanya untuk memastikan bahwa Elia pantas menyandang gelar lulusan terbaik. Langkahnya panjang dan cepat saat melintasi ruangan demi ruangan rumahnya.Ketika hendak menuju kamar Elia, ia mendengar teriakan Mika dari halaman belakang. Disempatkannya melongok ke jendela dan melihat perempuan yang dicarinya sedang bersiap melompat dari atas pohon mangga. Panik, Wirasena berlari ke halaman belakang sambil berharap Elia masih menyisakan kewarasannya yang sudah terkontaminasi wiski.“STOP!” teriak Wirasena masih berlari sampai ke bawah pohon. “Apa yang kamu lakukan?!”“Melompat,” sahut Elia tanpa dosa.Wirasena membungkuk, dua tangannya menumpu pada lutut dan menghela napas dalam sebelum kembali berdiri dan merentangkan lengan. “Sini, lompat ke sini!” titahnya menunjuk kedua lengan yang terentang dengan
“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka
“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka
Kamar Inap‘Shinta mana, sih. Lama banget. Mana gue kebelet,’ batin Elia dengan mata terpejam menahan dorongan ingin kencing. ‘Kenapa kebeletnya gak tadi aja, pas masih ada mbak susternya?’ lanjutnya lagi.“Ada apa dengan wajahmu? Sakit?” Nada dingin Wirasena menegur.“Nggak papa, Prof.”Wirasena kembali menekuni gawainya. ‘Mana, sih, Marni. Sudah dipesan untuk segera berangkat, malah belum muncul. Apa aku tinggal saja dia?’ Wirasena menimbang dengan cermat.Klik.Kepala Wirasena terangkat, matanya dingin menatap ranjang. Dilihatnya, Elia menurunkan besi pembatas dan sedang berusaha meraih botol infusnya.“Mau ke mana?”Wajah Elia yang sedang menatap dinding memberengut. ‘Kenapa harus nanya, sih?!’ sungutnya dalam hati.Karena tidak mendapat jawaban yang diinginkannya, Wirasena bangkit dari kursinya dan menghampiri ranjang. “Mau ke
Ningsih baru selesai membantu Hana membersihkan diri dan menata bantal di belakang punggungnya. Wanita itu, mengeluh punggungnya panas dan capek. Bagaimana tidak, Hana sudah berbaring selama dua minggu tanpa berkeinginan turun dari ranjang dan bergerak.Ia sudah merawat Hana sejak wanita itu keluar dari rumah sakit dan divonis menderita kanker leher rahim, dua tahun lalu. Awalnya, Hana masih semangat menjalani pengobatan, tapi belakangan, semangatnya mulai menurun.“Apa sudah nyaman begini, Bu?” tanya Ningsih setelah meletakkan bantal ketiga di belakang punggung Hana.“Ya, terima kasih, Sus.”“Atau sebaiknya kita jalan-jalan di luar, mumpung cuaca sedang cerah,” bujuk Ningsih yang disambut dengan gelengan kepala.Malas bersikap pura-pura ramah dan perhatian lebih lama, Ningsih mengangguk dan keluar kamar meninggalkan Hana yang mulai memejamkan mata. Ditutupnya pintu kamar perlahan. Sejurus kemudian, sebuah tangan