“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.
Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”
Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.
“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.
Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.
Brug.
Mereka berdua bertabraka
“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka
Kamar Inap‘Shinta mana, sih. Lama banget. Mana gue kebelet,’ batin Elia dengan mata terpejam menahan dorongan ingin kencing. ‘Kenapa kebeletnya gak tadi aja, pas masih ada mbak susternya?’ lanjutnya lagi.“Ada apa dengan wajahmu? Sakit?” Nada dingin Wirasena menegur.“Nggak papa, Prof.”Wirasena kembali menekuni gawainya. ‘Mana, sih, Marni. Sudah dipesan untuk segera berangkat, malah belum muncul. Apa aku tinggal saja dia?’ Wirasena menimbang dengan cermat.Klik.Kepala Wirasena terangkat, matanya dingin menatap ranjang. Dilihatnya, Elia menurunkan besi pembatas dan sedang berusaha meraih botol infusnya.“Mau ke mana?”Wajah Elia yang sedang menatap dinding memberengut. ‘Kenapa harus nanya, sih?!’ sungutnya dalam hati.Karena tidak mendapat jawaban yang diinginkannya, Wirasena bangkit dari kursinya dan menghampiri ranjang. “Mau ke
Ningsih baru selesai membantu Hana membersihkan diri dan menata bantal di belakang punggungnya. Wanita itu, mengeluh punggungnya panas dan capek. Bagaimana tidak, Hana sudah berbaring selama dua minggu tanpa berkeinginan turun dari ranjang dan bergerak.Ia sudah merawat Hana sejak wanita itu keluar dari rumah sakit dan divonis menderita kanker leher rahim, dua tahun lalu. Awalnya, Hana masih semangat menjalani pengobatan, tapi belakangan, semangatnya mulai menurun.“Apa sudah nyaman begini, Bu?” tanya Ningsih setelah meletakkan bantal ketiga di belakang punggung Hana.“Ya, terima kasih, Sus.”“Atau sebaiknya kita jalan-jalan di luar, mumpung cuaca sedang cerah,” bujuk Ningsih yang disambut dengan gelengan kepala.Malas bersikap pura-pura ramah dan perhatian lebih lama, Ningsih mengangguk dan keluar kamar meninggalkan Hana yang mulai memejamkan mata. Ditutupnya pintu kamar perlahan. Sejurus kemudian, sebuah tangan
“Keluar!” usir Hana dengan napas yang dipaksakan.Shinta sedikit terkejut dengan respon Hana yang sedikit lebih cepat darinya. Ia merasakan tangan Hana mencari jemarinya dan meremasnya erat, meminta dukungan.“Siapkan semua berkas perceraiannya. Aku akan tanda tangani.”Haris menggeleng cepat dan berlutut. “Nggak. Aku gak akan menceraikanmu, Han. Aku hanya khilaf sesaat. Aku mohon maafkan aku, Han.”Alih-alih menjawab permohonan Haris, Hana menampar suaminya dengan kekuatan yang dimilikinya. Shinta semakin takjub melihat keberanian Hana yang sudah sejak lama dia nantikan. Haris adalah tipe pria terakhir yang ingin dilihatnya, sejak Shinta tahu bahwa ayahnya suka main wanita.“Selama ini, aku menutup mata demi Shinta, Mas. Jangan kamu kira, aku terbaring di ranjang dan tidak tahu apa yang kamu lakukan di luaran.”Hana meraih ponselnya yang tergeletak di ranjang dan membuka kumpulan foto yang dia
Haris menepikan kendaraannya manakala menyadari siapa yang sedang menghubunginya. Ia memutus sambungan bluetooth dan meraih ponselnya.“Halo.”[Kok halo, sih? Mas Haris gak kangen, nih?]Haris berdehem mengusir hasrat yang mulai menggodanya. “Kangen dong, tapi aku gak bisa hari ini. Hana lagi badmood,” ujarnya beralasan.[Kenapa lagi dia? Pulang kemo, ya?]“He’em. Nanti kalau keadaannya sudah mulai tenang. Aku telfon kamu, hmm?”[Iya deh. Tapi, besok jangan lupa untuk mengurus kasus penganiayaan Darma. Berkasnya sudah aku siapkan di mejamu.]“Oke, Sayang. Makasih, ya.”[Oke. Bye.]Desah tertahan lolos dari mulut Haris saat ia menyandarkan kepalanya ke atas kemudi. Tubuhnya ingin bertemu wanita itu, tapi otak cerdasnya melarang, menyisakan penyesalan dan siksaan di bagian bawahnya.“Hufth …! Sabar, sabar. Kita selesaikan n
“Wanita itu, entah berada atau tidak, entah cerdas atau tidak, entah berkedudukan atau tidak. Pada dasarnya, dia hanya sosok yang ingin dicintai, diperhatikan dan dihargai dalam kondisi apapun.” Hana tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya.“Mama tidak mendapatkan itu sejak mama jatuh sakit. Awalnya, mama hanya merasa papamu sibuk bekerja. Tapi kembali lagi, insting seorang istri selalu menunjukkan kebenaran dan tidak akan pernah salah.”Akhirnya, Shinta mengangguk dan memberi kedua pipi Hana kecupan lembut. “Shinta ikut apa maunya mama. Asal mama bisa tersenyum dan bahagia lagi.”***Elia membereskan pakaian yang Mirna bawakan dua hari lalu. Pagi tadi, dokter sudah memberinya izin pulang. Selama dirawat, Elia terus memikirkan tindakannya yang menggila menghabiskan salad buah Mika. Tidak biasanya dia selahap itu menyantap sesuatu hingga melupakan tentang alerginya.“Aneh,” gumamnya tanpa sadar.
“YES!” ucap Wirasena bersemangat dengan tangan terkepal ke depan dadanya. “Yes, akhirnya!” ulangnya lebih mantap lagi.Ia memberikan tambahan tip untuk kurir sewaannya dan mengucap terima kasih sekali lagi, hal yang baru pertama kali dia lakukan. Hatinya membuncah luar biasa. Setelah kurir wanita itu undur diri, Wirasena menoleh ke arah ranjang. Tampak olehnya, Elia sedang memejamkan mata dan menggumam sesuatu.Ingin rasanya, Wirasena memeluk gadis yang sudah dirubahnya menjadi seorang wanita itu erat-erat. Namun urung dilakukannya, mengingat respon Elia belum tentu sama seperti dirinya.‘Syukurlah,’ desah Elia dalam hati. “Hhh ….” Di luar kendalinya, Elia mendesah.“Apa yang membuatmu terlihat lega?” tanya Wirasena menghampiri ranjang.“Bersyukur karena kemungkinan hamil sudah bisa disingkirkan.” Elia membuka mata dan tatapannya bertemu dengan mata gelap Wirasena yang s
“Biasakan dengan itu semua, sampai kamu melahirkan anak itu. Setelahnya, aku tidak akan mencampuri kehidupanmu. Mengerti?!”Sederet kalimat itu berhasil melukai Elia, dalam dan perih. ‘Dia hanya menginginkan anaknya, El. Dia tidak bermaksud peduli denganmu. Dia hanya mau anaknya lahir ke dunia. Menjaga gennya tetap terwariskan,’ batin Elia miris.“Jangan khawatir. Aku tidak akan menghambat masa depan cerah yang ingin kamu capai. Tapi … lakukan itu setelah melahirkan anakku. Dan aku akan berikan semua yang kamu mau.”Elia memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin Wirasena melihatnya terluka dan rapuh. Harga dirinya melarangnya melakukan hal itu.***“Kamu kenapa, Wir? Siapa yang mau menikah?” tanya Barata sambil menawarkan segelas air pada sahabatnya.Wirasena menggeleng sambil melempar tubuhnya dengan frustasi ke sofa kantor Barata. Ia memilih kembali ke rumah sakit setelah mengantar Elia pul