Share

Bab 6-2

Elia menahan tawanya dengan melipat bibir ke dalam seraya menggeleng.

“Kamu sependapat denganku?” selidik Tatik dengan lirikan tajam, tapi sudut bibirnya berkedut membuat Elia kembali meringis.

“Maaf, Oma. Tapi, saya memang sependapat.”

Mereka berdua terkekeh bersama. Tatik mulai melanjutkan ceritanya tentang mendiang anaknya yang meninggal karena kanker indung telur yang mengakibatkannya tidak bisa memiliki keturunan.

“Kadang, aku merasa kasihan saat melihat Wira begitu telaten menemani Mika bermain dan mendengar ocehannya.” Tatik mengusap mata tuanya yang basah. “Tapi, mau bagaimana lagi. Tidak banyak wanita sabar dan pengertian yang mau menderita bersanding dengan pria kaku dan dingin seperti dia.”

Elia berjongkok di samping kursi roda Tatik sambil memasangkan pakaian bersih. “Ada sebuah rahasia yang mau Elia ceritakan, tapi Oma harus janji tidak akan menceritakannya pada orang lain.”

Begitu kepala Tatik mengangguk tanda setuju, Elia mulai berceloteh tentang panggilan-panggilan kehormatan yang biasanya mereka—mahasiswa kedokteran—pakai untuk menjuluki Wirasena.

“Apa, beruang kutub?! Astaga … hahaha …!”

Elia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk dekat dengan Tatik. Ia tidak tahu sampai berapa lama ia akan merawat wanita ini, maka tidak ada salahnya mencoba saling terbuka. Sampai beberapa lama setelahnya, Elia dan Tatik masih melanjutkan obrolan yang semakin seru.

“Bu,” tegur Wirasena dari ambang pintu menginterupsi keseruan Elia dan Tatik. “Wira berangkat dulu.”

Seperti biasa, Tatik hanya melambaikan tangan sebagai jawaban. Namun, kali ini Wirasena tidak bersikap seperti biasanya. Pria itu berhenti cukup lama untuk menatap Elia dengan pandangan yang tidak bisa diartikan membuat Elia bergidik.

“Ada yang mau kamu katakan?” tanya Tatik kembali ke nada sinisnya.

Alih-alih menjawab, Wirasena menggeleng dan menutup pintu perlahan. Suasana kamar kembali hening.

“Aku dan dia sama-sama terluka atas kepergian Anita. Tapi, kami memilih saling menjauh untuk menyembuhkan luka masing-masing,” aku Tatik sedih. “Menjadi akrab dengan Wira akan memberi kesempatan kenangan tentang Anita muncul dan melukai kami.”

Elia bisa merasakan kesedihan Tatik kehilangan putrinya, seperti ia masih berjuang mengatasi kesedihannya kehilangan Surya. Tangannya mengusap lembut bahu Tatik, menunjukkan dukungannya.

“Sudahlah, yang pergi tidak akan kembali, yang hidup harus terus berjalan. Bukan begitu?” Tatik mengangkat wajahnya dan memandang Elia dari cermin. “Lho, itu lehermu kenapa merah-merah?!”

Panik, Elia mengamati lehernya di cermin. ‘Astaga … ini ….!’

Tatik mencondongkan tubuhnya, menarik laci di depannya dan mengeluarkan minyak gosok dari sana. “Oleskan ini, meskipun semalam Mika sudah menuangnya ke rambutmu.” Tatik tersenyum geli mengingat kejadian semalam.

“Eh, i-iya. Terima kasih, Oma.” Elia buru-buru menerima botol minyak dan masuk ke kamar mandi. “Bagaimana ini?” paniknya seraya menggosok lehernya dengan punggung tangan. “Sial!” umpatnya saat tanda merah itu semakin melebar karena ulahnya sendiri.

***

Poli kandungan

“Pagi, Prof. Wah, ada angin apa ini, sampai Prof. Wira turun ke poli?” gurau bidan paling senior di Rumah Sakit Rahayu yang hanya dibalas senyum simpul oleh sang pemilik nama.

Baru kali ini, Wirasena merasa jarum jam bergerak sangat cepat. Tak terasa, tersisa satu pasien terakhir dalam antrian. Pasangan muda yang terlihat canggung dan ragu, duduk di seberang mejanya.

“Siang, Dok.” Pria muda itu menyapa takut-takut.

“Siang. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Wirasena sembari membaca kartu pasien di depannya.

“Saya cuma mau tanya, Dok. Apa bisa terjadi hamil kalau hanya satu kali berbuat?”

Deg.

Wirasena terhenyak.

“Maksudnya?”

Pria itu menegakkan punggungnya dan melipat kedua tangannya di atas meja, memberanikan diri. “Saya dan pacar saya ‘begituan’ bulan lalu. Hanya satu kali. Dan dia.” Pria itu menoleh sinis pada gadis yang sejak tadi tertunduk di sebelahnya. “Dia bilang, dia hamil, Dok. Apa mungkin?” sambung pria itu sedikit kesal.

“Begituan?”

Bidan senior yang menemani Wirasena berbisik lirih, “Berhubungan maksudnya.”

Bibir Wirasena membulat. “Ohh,” balasnya tak kalah lirih. “Bisa. Mungkin.”

“Hhaah?” Bidan senior dan pasangan muda itu terkejut bersamaan.

Wirasena berdehem untuk menyadarkan diri. “Bisa hamil dan mungkin hamil,” ulangnya dengan nada tegas. “Sudah dilakukan tes kehamilan mandiri?”

Si gadis mengangguk seraya mengeluarkan alat tes kehamilan yang sudah dipakainya. Wirasena mengernyit yang segera saja direspon oleh bidan pendampingnya dengan mengambil dan membaca hasil tespek.

“Positif, Prof,” lapor bidan.

Bulu kuduk Wirasena meremang. Dalam pandangannya, Elia sedang berdiri di hadapannya dan menyodorkan tespek dengan dua garis merah tua.

“Ehm!” Wirasena kembali berdehem keras.

Bidan senior mendorong sebotol air putih ke dekat tangan Wirasena yang disambut dengan senyum kaku.

“Tolong beri mereka surat pengantar laborat.”

Setelah berkata demikian, Wirasena meninggalkan kursinya dan keluar ruangan tanpa mempedulikan tatapan bingung tiga orang di belakangnya.

“Bodoh! Kenapa aku tidak terpikir kemungkinan itu, pagi tadi?” gerutu Wirasena sambil melirik jam tangannya. “Sudah lebih dua belas jam belum, ya?” gumamnya. “Sepertinya sudah. Tapi, bukankah dia dokter sekarang? Pasti tahu tentang pencegahan kehamilan, ‘kan?” Wirasena mulai mondar-mandir.

Sebuah ide cemerlang singgah di otak cerdasnya. Wirasena merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Dicarinya nama Elia dalam kontak ponselnya, nihil. “Sial! Aku tidak pernah tanya nomer telfonnya.”

“Prof, sedang tidak enak badan? Pucat, lho.” Bidan senior tadi menghampiri Wirasena dengan wajah cemas. “Kurang tidur sepertinya.”

“Hah, eh, iya. Nanti, kalau hasil laboratnya sudah keluar, minta mereka datang lagi besok. Ada hal yang harus saya urus.” Wirasena melepas jas putih lengan panjang miliknya.

“Prof, pasangan tadi menolak tes laborat. Tujuan mereka datang hanya untuk menggugurkan kandungan,” papar bidan senior sambil melipat rapi jas putih yang Wirasena serahkan.

“Gilak! Sudah berbuat dosa sekali, masih mau nambah?!” ketus Wirasena lebih pada dirinya sendiri. “Terserahlah. Saya duluan.”

***

“Pak Somad, minta tolong ambilin layang-layang Mika!” teriak Mika dari halaman belakang. “Pak Somad!” ulangnya lagi tak sabar.

“Hai, Cantik! Kenapa teriak-teriak?” Elia menghampiri setengah berlari mencegah Mika berteriak lagi.

“Kak, layang-layang Mika nyangkut!” tunjuk Mika ke arah pohon mangga.

“Layang-layang Mika?”

Bibir Mika tersenyum malu. “Bukan, ding. Layang-layang tetangga yang nyangkut ke pohon.”

Elia ikut tersneyum seraya mengelus kepala Mika. “Oke, tunggu di sini, ya.” Elia bergegas menuju tumpukan bambu tidak terpakai, mencari sesuatu yang bisa dipakainya untuk mengambil layang-layang.

“Kak, masih lama gak?!” Teriakan Mika kembali terdengar.

“Iya, iya.” Elia kembali ke sisi Mika dengan tangan kosong.

“Lho, mana bambunya?”

“Tenang, nanti Kak El naik ke sana ambil layang-layangnya.”

Mika mengangguk senang dan bersorak-sorak memberi semangat saat Elia berusaha keras memanjat pohon mangga. Tak butuh waktu lama, Elia berhasil meraih layang-layang berbentuk ikan lengkap dengan ekor panjang menjuntai.

“Yeiyy!” teriak Mika senang. “Ayo, bawa turun, Kak!” imbuhnya seraya melompat-lompat.

Elia celingukan mencari pijakan yang membantunya naik tadi. “Lhoh, gimana turunnya ini?!” paniknya setelah tidak menemukan pijakan. “Apa gue lompat aja, ya?” Elia melongok ke bawah.

“STOP!”

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status