Sudah seminggu sejak Bobby mengalihkan saham miliknya untuk Alaric. Tidak ada pergerakan sama sekali dari Gio, membuat Alaric bisa bernapas lega meski tetap waspada. “Al, aku mau keluar sama Claudia. Hanya makan siang sambil menemani Claudia membeli sesuatu. Bolehkan?” tanya Emily sambil menatap suaminya yang duduk di sofa sambil memangku laptop. “Pergi berdua?” tanya Alaric seolah memastikan. “Iyalah, Al. Memangnya mau sama siapa lagi. Tidak akan lama, aku janji,” balas Emily untuk membujuk suaminya agar diizinkan pergi. “Boleh, tapi biarkan Bara dan Fandy ikut untuk menjagamu,” ucap Alaric lantas mengetik pesan di ponsel untuk dikirimkan ke anak buah kepercayaannya. Sebenarnya Emily agak risih jika dikawal, tapi karena tahu suaminya sangat mencemaskan dirinya, membuat Emily tak memprotes apa yang dilakukan suaminya itu. “Sudah, mereka akan datang sepuluh menit lagi. Tunggu sampai mereka datang, lalu pergilah bersenang-senang,” ucap Alaric setelah mendapat balasan dari Bar
“Kamu ga ada kapok-kapoknya!” Emily geram karena Farrel mengganggunya lagi. Saat dia berusaha melepas tangan Farrel. Bara mendekat lantas menarik paksa Farrel agar menjauh dari Emily. Bara dan Fandy tidak langsung menghajar Farrel karena ada di tempat umum dan takut mengganggu pengunjung lain, sehingga mereka hanya menahan Farrel. “Emi, aku hanya mau bicara denganmu!” Farrel berusaha lepas dari cengkraman Bara. “Dia udah ga mau ada urusan denganmu, kenapa kamu maksa!” Claudia pun kesal karena Farrel tak tahu diri. Bara hendak menyeret Farrel, tapi pria itu terus saja memberontak. “Emi, aku minta maaf. Aku sudah salah menilaimu dan tak mengindahkan ucapanmu. Kumohon Emi, beri aku kesempatan kedua!” Farrel berusaha memberontak untuk bisa bicara dengan Emily. Emily menatap Farrel yang merasa bersalah kepadanya, tapi hal itu tak membuat Emily goyah atau luluh ke pria itu. “Nasi sudah jadi bubur, tidak ada kesempatan kedua. Lebih baik sekarang kamu pergi dari hidupku!” Setelah me
Alaric berlarian dari parkiran menuju IGD. Dia sangat takut dan cemas saat dihubungi Bara yang memberitahunya jika Emily ditusuk orang tak dikenal. Mia dan Bobby juga ikut, mereka tertinggal di belakang karena Alaric keluar dari mobil bahkan sebelum mobil terparkir sempurna. “Di mana istriku?” tanya Alaric saat bertemu Bara. “Masih mendapat penanganan dokter,” jawab Bara sedikit menunduk karena takut. Alaric masuk ke ruang perawatan begitu saja untuk melihat kondisi Emily, hingga dia melihat bibi istrinya yang memang berprofesi sebagai dokter sedang menangani istrinya. “Bagaimana kondisinya?” Alaric benar-benar panik melihat Emily sudah tak sadarkan diri. Sashi—bibi Emily langsung menoleh mendengar suara Alaric. “Tunggulah di luar, kami sedang mengobatinya,” ucap sang bibi bersikap tenang sebagai dokter yang sedang menangani pasien. Salah satu perawat meminta Alaric untuk keluar dari ruangan karena takut mengganggu proses pengobatan. “Dia baik-baik saja, kan?” tanya Alaric.
Suara keras benturan benda begitu nyaring di telinga. Kursi kayu yang tadinya utuh sekarang hancur setelah digunakan untuk menghantam tubuh pria yang terikat di kursi lain dan kini tersungkur di lantai. “Katakan, sebelum habis kesabaranku!” Alaric begitu murka karena Emily terluka. Dia menghajar habis-habisan pria yang berani menusuk istrinya itu. Bara dan Fandy hanya diam di sudut ruangan memandang Alaric mengamuk, sedangkan Billy hanya diam sambil melipat kedua tangan di dada, membiarkan sahabatnya itu meluapkan emosinya. Alaric semakin geram saat tak mendengar jawaban dari mulut pelaku itu. Dia mengambil bekas kursi yang baru saja digunakan menghantam hendak dipakai lagi untuk memukul. “Al, sudah! Kamu bisa membunuhnya!” Billy langsung menahan Alaric. Alaric menoleh ke Billy, lantas melempar kayu itu hingga jatuh tepat di hadapan wajah pelaku. Alaric menatap pelaku yang sudah bersimbah darah di kepala hingga wajah. Dia benar-benar geram karena pelaku itu masih saja diam. “K
“Iblis macam apa yang ada dalam dirimu?” Lena terkejut mendengar ucapan menyakitkan dari mertuanya itu. Dia mengepalkan erat telapak tangan di samping tubuh saat mendengar ucapan Bobby. “Sudah aku bilang, sekali saja kamu berbuat onar lagi maka aku yang akan mengakhirinya. Mulai sekarang, kamu bukan keluarga Byantara lagi. Aku takkan mengakuimu sebagai menantuku lagi!” Bobby bicara dengan sangat tegas setelah cukup lama memikirkan keputusannya itu. “Kelak saat aku mati, kamu takkan mendapat sepeser pun warisan dariku!” Bobby bicara dengan telapak tangan mengepal. “Tapi Gio tetap cucumu!” Lena meninggikan suaranya karena emosi. “Aku tidak pernah mengakuinya!” bentak Bobby karena Lena berani bicara dengan suara keras. “Dia darah daging putramu, bagaimana bisa Papa tak mau mengakuinya?” Lena mengepalkan telapak tangannya erat hingga kuku-kukunya memucat. “Tapi dia bukan anak dari putra keduaku! Dia anak hasil kelicikanmu!” Bobby merasa sakit menusuk dada saat mengingat hal itu. “
Alaric berjalan dengan cepat menuju IGD untuk menemui sang kakek. Saat sampai di sana, dia melihat Mia yang berdiri mematung memandang pintu ruang pemeriksaan. “Ma.” Alaric memanggil sambil berjalan menghampiri sang mama yang menoleh ke arahnya. Mia memandang putranya itu, hingga kemudian memeluk sambil menangis. Alaric sangat terkejut melihat sang mama menangis sampai seperti itu. Dia berpikir jika sang mama menangis karena mencemaskan kondisi Bobby. “Kakek pasti baik-baik saja, Mama jangan cemas,” ucap Alaric menenangkan. Mendengar ucapan Alaric membuat Mia semakin menangis sambil memeluk putranya itu. Alaric pun hanya bisa memeluk sambil mencoba menenangkan kondisi sang mama. Dokter yang baru saja memeriksa Bobby keluar ruangan dan mengatakan jika pria tua itu terkena serangan jantung dan harus mendapatkan penanganan intensif. Bobby dipindah ke ICU, Mia dan Alaric di depan ruangan itu karena Mia masih menangis. “Kenapa Kakek sampai terkena serangan jantung? Apa
“Bagaimana kondisi Kakek?” tanya Emily saat Alaric baru saja masuk ruangan. Alaric terkejut karena Emily ternyata tidak tidur. Dia melirik Billy, hingga sahabatnya itu memilih keluar dari ruangan itu. “Agak buruk, Kakek harus dirawat di ICU untuk memantau kondisinya,” jawab Alaric lantas duduk di kursi yang ada di sana. Emily pun merasa kasihan ke suaminya yang pasti sedih karena kejadian itu. “Kakek pasti baik-baik saja,” ucap Emily. Alaric menatap Emily sambil mengangguk. Dia meraih telapak tangan istrinya, lantas mengecup punggung tangan Emily. “Pria yang menusukmu, apa kamu tahu siapa dia? Kamu ingat wajahnya?” tanya Alaric. Emily menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Alaric. “Aku tidak kenal meski melihat wajahnya dengan jelas,” jawab Emily. Alaric diam berpikir, seperti dugaannya jika mungkin saja Gio membayar orang untuk mencelakai Emily. “Apa menurutmu ini ada sangkut-pautnya dengan Gio?” tanya Emily mendadak cemas. Alaric memulas senyum agar Emily tak
Setelah dirawat semalam di ICU, akhirnya Bobby dipindah ke ruang perawatan khusus karena kondisinya yang sudah stabil. Mia masih menemani mertuanya itu. Bobby sudah sadar dan baru saja diperiksa dokter, Mia pun menunggu sampai dokter dan perawat pergi. Bobby menatap Mia yang hanya diam memandangnya. Dia menyadari jika menantunya itu pasti akan menanyakan soal Lena. “Kamu ingin penjelasan?” tanya Bobby saat dokter dan perawat sudah keluar. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Papa seolah menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Mia langsung meminta penjelasan. Bobby terlihat menarik napas panjang lalu menatap Mia yang menunggu penjelasan darinya. “Aku tahu sudah salah selama ini dengan menyembunyikan sesuatu yang pada akhirnya akan terkuak,” ucap Bobby lantas kembali menghela napas kasar. Mia meremas rok di atas paha saat mendengar ucapan Bobby. Dia yakin jika apa yang dikatakan ayah mertuanya itu akan sangat menyakitkan setelah ini. “Adhikara mandul dan Gio bukanlah anaknya,” uca