Share

Luxury Life

Semilir angin berhembus menerpa rambut pirangnya, memaksa ia agar segera terjaga. Devon memicingkan mata dan mengerjap. Posisi tubuhnya tertelungkup, hanya mengenakan celana katun berwarna putih dan bertelanjang dada. Dia terbangun, mengangkat badannya dan melihat dirinya berada di atas ranjang mewah yang sering ia lihat di saluran televisi kabel berbayar di apartemen kumuhnya. Sebuah smart bed futuristik yang didominasi warna silver yang selama ini hanya bisa ia idam-idamkan sembari memelototi layar televisi. Ranjang yang bisa mendeteksi detak jantung, tekanan darah dan tingkat kecemasan pemakainya. Terdapat banyak tombol di sisi kiri dan kanan ranjang dan sebuah layar hologram di atas kepala ranjang. 

Devon mencoba memencet sebuah tombol berwarna biru. Sebuah video muncul di layar hologram, menunjukkan apartemen kumuhnya, yang biasa ia tinggali bersama sang ibu. Dia memajukan badannya, ingin melihat lebih jelas. Ada gambar ibunya di situ, tersenyum manis ke arah Devon yang berlari-lari kecil menghampiri, sambil wanita itu membawa keranjang berisi buah-buahan. Tanpa sadar, air matanya menetes. Dia tak menyangka akan secepat ini kehilangan ibunya.

"Selamat pagi, Yang Mulia Hadar."

Sapaan seseorang mengagetkannya. Devon menoleh dan mendapati seorang Shepherd membawa nampan. Devon melirik sekilas dan mendapati semangkuk sup, roti beserta buah-buahan.

"Katakan darimana kalian mendapatkan video ibuku?" tanyanya dengan sorot mata tajam. 

"Tuan Anka selalu mengawasi anda dan Nyonya Violet. Dia tidak benar-benar meninggalkan anda berdua," tutur Shepherd.

"Dan dia membawakan kutukannya padaku," sahut Devon gamang.

"Sarapan anda, Yang Mulia," Shepherd itu tak menghiraukan perkataan Devon. Dia memencet tombol putih di sisi ranjang, kemudian sebuah papan persegi berwarna silver melayang begitu saja dari langit-langit ranjang dan berhenti tepat di hadapan Devon. Shepherd itu lalu meletakkan nampan berisi penuh makanan itu ke atas papan.

"Dua jam dari sekarang, para Tetua meminta anda hadir ke Ruang Utama. Mereka akan mengadakan upacara penobatan untuk anda," ujar Shepherd penuh hormat.

"Bagaimana kalau aku menolak?" timpal Devon acuh tak acuh, sambil tangannya bergerak mengambil satu buah apel merah dan menggigitnya.

Shepherd yang semula sedikit menundukkan wajahnya, kini mendongak dan menatap pemuda itu tajam. "Yang Mulia, anda tahu keistimewaan ordo kita, bukan? Kita memiliki teknologi dan sains yang jauh lebih berkembang dibanding ordo lain di bumi ini."

"Apa yang ingin kamu sampaikan?" Devon balas menatap Shepherd itu dengan sorot mata yang tak kalah tajam, sementara mulutnya tak berhenti mengunyah.

"Kami sudah menyimpan beberapa helai rambut milik ibu anda. Mengkloning dirinya adalah perkara mudah bagi kami."

Apel yang kini tersisa separuh itu terlepas begitu saja dari genggaman Devon. Susah payah Devon menelan. Matanya mulai berembun. "Apa kau bilang?" tanyanya dengan nada suara bergetar.

"Bekerjasama lah dengan kami, maka kami akan menghidupkan ibu anda kembali," tawar Shepherd. Dia seakan tahu bahwa kelemahan Devon ada pada sang ibu.

Devon bukanlah pegiat kemanusiaan. Dia kadang acuh tak acuh dengan sekitar. Namun, kepeduliannya selalu meruncing ketika dihadapkan pada isu-isu sosial dan politik. Terutama isu kloning yang baginya sangat tidak sesuai dengan prinsip kehidupan. Kini, sang Shepherd menawarkan sesuatu yang benar-benar menggoyahkan keyakinannya.

"Aku ingin bertemu Tetua," ucap Devon pada akhirnya.

Shepherd menyunggingkan senyum samar. "Saya akan menyiapkan semuanya," timpalnya. Dia membungkuk, membuat isyarat pada Devon untuk mengikutinya ke sebuah ruangan tepat di samping kamar Devon. Shepherd membuka pintunya. Terlihat bathtub berukuran raksasa dengan air bening yang mengisi penuh baknya. Ombak kecil terbentuk dari air kebiruan itu.

Devon tergiur dengan kesegarannya. Rasanya sudah lama ia tak membasuh tubuhnya. Segera dilepaskannya celana yang melekat, lalu dia menenggelamkan tubuhnya di sana. Sejenak, segala kepenatan menguap. Kesedihannya lenyap. Kekuatannya seakan bertambah berkali-kali lipat.

"Yang anda gunakan untuk mandi itu adalah air kehidupan, Yang Mulia," terang Shepherd.

Devon mendongak, mengarahkan pandangannya pada Shepherd yang berdiri tegak di bathupnya. "Air kehidupan? Apa itu?" tanyanya.

"Air murni yang mampu menghisap semua gelombang dan getaran negatif dari tubuh anda. Mempercepat penyembuhan luka, baik fisik maupun mental dan mampu meningkatkan kekuatan anda berpuluh-puluh kali lipat," tegas Shepherd sambil tersenyum.

Devon mengernyit. Meningkatkan kekuatan? Berpuluh-puluh kali lipat? Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepala. Dengan kekuatan yang dia miliki saat ini, dia bisa melakukan apapun. Termasuk menghancurkan ordo yang sudah merenggut nyawa ibunya.

Tak ingin berlama-lama, Devon bangkit, menampakkan detil tubuhnya yang terpahat sempurna bak dewa. Devon berjalan dengan air yang masih menetes dari kulit tubuhnya. Shepherd mengikutinya di belakang. Setengah berlari menghampiri lemari pakaian seukuran apartemen Devon, mengambil satu stel pakaian resmi lalu kembali mendekati Devon dan mengeringkan tubuh pemuda itu dengan handuk. 

"Aku bisa sendiri!" Devon merebut handuk dari tangan Shepherd. Sambil mengusap permukaan kulitnya, diam-diam Devon menyusun strategi di kepala. "Jadi, nanti akan ada acara penobatan untukku?"

"Betul, Yang Mulia."

"Semua anggota ordo akan hadir?" tanya Devon sambil mulai memakai setelan blazer dan celana berwarna hitam.

"Benar sekali."

"Ada berapa orang Tetua ordo?" cecar Devon.

"Lima, Yang Mulia," jawab Shepherd, penuh kesabaran dan hormat. 

"Apa mereka seusia ayahku?" 

"Para Tetua berusia lebih dari 300 tahun, Yang Mulia. Sedangkan ayah anda berusia 1050 tahun."

Devon menghentikan aktivitasnya. "Ayahku berusia lebih dari seribu tahun?" ulangnya tak percaya.

Shepherd membungkuk penuh hormat. 

Sementara, Devon menggeleng tak percaya. "Tapi, usiaku benar-benar 25 tahun, kan? Ibuku juga masih berusia 45 tahun, kan?" Dia bergidik membayangkan bahwa kondisi tubuhnya ternyata tak mencerminkan usianya. "Bagaimana bisa ayahku berusia seribu tahun, sementara fisiknya terlihat seperti masih berusia 40 tahun an?" protes Devon.

Shepherd tertawa kecil, "Anda benar-benar berusia sesuai umur anda, Yang Mulia. Sedangkan Tuan Anka Hadar memang istimewa. Beliau satu-satunya keturunan murni bangsawan pemimpin Hadar."

Shepherd memencet tombol merah di sisi ranjang. Dinding yang berhadapan dengan ranjang cerdas itu terbuka, mengeluarkan cermin besar yang memantulkan sosok Devon Hadar yang mempesona. Pemuda itu sudah siap dengan setelannya.

"Mari, Yang Mulia," Shepherd membuka pintu kamar mewah itu. Sedikit tergesa menuju pintu besi yang berada di ujung lorong. Sementara Devon berjalan santai di belakangnya sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana. 

Pintu besi berwarna keperakan terbuka. Elevator khusus yang mengantarkan dua manusia itu menuju Ruang Utama, ruang penobatan Devon Hadar sebagai kaisar Black Emperors berikutnya.

"Anda gugup, Yang Mulia?" tanya Shepherd yang berdiri di samping Devon.

"Tidak sama sekali!" sahut Devon datar, pandangannya lurus ke depan. 

Pintu elevator pun terbuka, menampakkan ruangan luas berbentuk persegi yang didominasi oleh dinding besi. Ratusan pria bersetelan hitam berjajar di sisi kiri dan kanan karpet merah yang sengaja dihamparkan di depan pintu elevator hingga ke depan kursi kebesaran yang sudah disiapkan untuk menyambut kedatangan Devon. Para Tetua berjajar rapi dan lurus di belakang singgasana. Warna mata mereka putih seluruhnya. 

Devon mengamati pria-pria tua itu satu persatu. Wajah-wajah dingin yang seakan tak bernyawa itu sebentar lagi akan menjadi sasarannya.

Sasaran dendam sang Devon Hadar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status