Devon memegangi kepalanya yang terasa begitu berat. Seakan ada bandul raksasa yang berdentang di dalam. Matanya terpicing, awas menatap sekitar. Dinding berbentuk jeruji besi terlihat kokoh memutarinya, mengungkungnya di tempat antah berantah ini. Dia bagaikan binatang buas yang dikurung di dalam kandang di tengah ruangan luas yang aneh.
Ditatapnya lantai tempatnya berbaring seperti seorang pesakitan. Lantai berbahan logam berwarna hitam, sehitam matanya. "Ganymede!" teriak Devon sambil telentang. Bajunya entah kemana. Dia bertelanjang dada kini. Urat-urat hitam masih tampak menonjol di bawah permukaan kulit.
"Kau sudah sadar, Yang Mulia? Luar biasa. Padahal aku mencampurkan bermili-mili gram obat penenang, cukup untuk membuat tidur seekor gajah selama seharian," seringai sosok Ganymede yang tiba-tiba saja muncul di ujung ruangan, di luar jeruji tentunya.
"Kau memang makhluk spesial. Tak ada yang sekuat dirimu. Sekalipun itu Tuan Anka Hadar," Ganymed
Devon tak bisa menghitung, berapa lama dia terkunci di dalam ruangan aneh ini. Selama waktu itu, berkali-kali Antonella melihatnya, menjenguknya ataupun sekedar menggodanya.Entah terbuat dari apa jeruji besi yang mengelilingi Devon saat ini. Yang jelas, dia kesusahan untuk mematahkannya. Emosinya meledak-ledak sejak saat kabut aneh itu merasuki dirinya. Devon merasa dirinya bagaikan hewa buruan yang diamankan di kandang. Dia harus menemukan jalan keluar agar dirinya bisa kembali menguasai keadaan dan membalikkan kekuatan Ganymede. "Anda tak bisa membuka jeruji itu, Yang Mulia," suara lembut seorang wanita membuat Devon terdiam untuk beberapa saat. "Apakah itu kau, Antonella?" Devon menautkan alisnya dan menatap tajam ke arah depan. Lagi-lagi gadis itu ingin bermain-main dengannya. Namun, kali ini kehadiran Antonella tak seperti biasanya. Tak terlihat apapun di luar jeruji, hanya ruangan luas dengan berbagai sisi yang berwarna putih. "Aku ada di sini," ujar suara itu lagi. Sosoknya
"Ah, Paman. Kebetulan sekali, aku sudah menunggumu sejak lama. Hampir saja aku membusuk di kandang itu," Devon tertawa pelan, lalu menurunkan tubuh Antonella dan membaringkan gadis itu di depan kakinya begitu saja. "Kau apakan dia?" tanya Robertson Hadar dengan mata terpicing. "Mungkin aku akan membawa dan memasukkannya ke dalam kandang. Sama seperti ayahnya yang telah memperlakukanku seperti hewan," Devon menyeringai sembari mengusap permukaan bibirnya menggunakan ibu jari. "Ini semua adalah salahmu, Robertson Hadar!" terdengar teriakan nyaring dari arah lain pada lorong panjang itu. Devon menoleh ke belakang. Dia mendapati Ganymede berjalan dengan sorot penuh amarah. Satu tangannya tampak menggenggam sebuah botol bening berisikan cairan hijau. Sementara tangan lainnya mengokang senjata. "Apa yang kau lakukan, Ganymede? Jangan bertindak bodoh. Aku bukan musuhmu, tapi dia ...." telunjuk Robertson terarah lurus pada Devon. "Aku akan mengurusnya nanti. Untuk saat ini, aku harus men
Entah berapa lama kegelapan menyelimuti, yang jelas saat itu, Devon merasa begitu damai. Matanya boleh terpejam, tetapi telinganya masih dapat menangkap nyaring suara burung berkicau, ditambah dengan gemericik air yang semakin melengkapi riuhnya. "Bangun, Nak. Mau sampai kapan kau tertidur? Ini sudah siang. Saatnya mencari uang." Lembut suara sang ibu membuat Devon membuka mata lebar-lebar. "Ibu!" Dia berusaha bangkit dari pembaringan. Dia bergerak terlalu kencang, tanpa memperhatikan sekeliling. Kepala Devon terantuk oleh dinding kaca tebal. Barulah saat itu dia sadar bahwa dirinya tengah berada di dalam sebuah tabung transparan. "Apa yang terjadi?" gumamnya kebingungan. Berbagai macam bayangan dan kilasan masa lalu, hadir memenuhi kepalanya. Devon meringis sambil satu tangannya menyentuh dahi. Sementara tangan yang lain, dia gunakan sebagai tumpuan. "Ibu?" panggil Devon lirih. Mau tak mau dia kembali berbaring sembari mengingat-ingat semua yang telah terjadi sebelum dirinya tak s
Tahun 2100, alam tak lagi ramah akibat tangan-tangan serakah yang menghisap habis kekayaan dan sumber daya bumi. Pemanasan global, kejahatan yang merajalela dan tingginya polusi udara membuat populasi manusia makin menurun.Di tengah hiruk-pikuk dan carut-marutnya dunia, di daerah sekitar lintang khatulistiwa, seorang anak laki-laki kecil mengais tong sampah di belakang sebuah restoran. Sarung tangan woolnya sudah berlubang di sana-sini, namun dia tak peduli hingga dia menemukan apa yang dicari. Sebuah burger yang masih terlihat baru dan bersih, terselip di antara tumpukan sisa-sisa makanan. Diusapnya dengan penuh kasih sayang burger keju itu, lalu dimakannya lahap."Devon!" sebuah suara wanita yang sudah dihapalnya berteriak nyaring. Devon menoleh dan meringis."Maafkan aku, Bu! Aku lapar!" ujarnya memelas."Jangan ulangi lagi! Itu yang terakhir kalinya kau memakan makanan sisa! Mulai besok kita akan makan enak!" seru ibunya.Mata hijau bocah keci
Bumi sudah kehilangan keindahannya. Yang tersisa hanyalah tanah-tanah gersang dan bukit-bukit tandus. Negara-negara besar dan kecil, negara kaya dan miskin, negara superpower dan berkembang, semuanya sudah runtuh. Bahkan istilah negara sudah lama hilang dari peradaban. Tak ada lagi sekat-sekat bangsa dan negeri. Dunia sudah tidak terbagi menjadi ratusan negara. Semua sistem berganti menjadi satu kepemimpinan terpusat yang dikendalikan oleh organisasi raksasa yang mewakili seluruh ras manusia. Organisasi itu bernama The Black Emperors yang dipimpin langsung oleh Sang Kaisar Agung.Sosok Kaisar Agung yang menjadi misteri, tak begitu dipertanyakan oleh penduduk bumi yang sudah lelah bergelut dengan asa setiap harinya. Kehidupan begitu keras hanya untuk mencari sesuap nasi, sehingga tak ada lagi waktu untuk memikirkan hal lain.Anka Hadar yang salah satu tugasnya adalah menjadi penghubung antar tiap ordo kepada Kaisar, juga tidak pernah melihat wajah itu secara langs
Langit temaram, siang sudah mulai menghilang dan akan segera berganti malam. Violet berjalan lunglai sambil sesekali memijit bahunya. Another ordinary day. Tubuhnya serasa remuk setelah bekerja seharian di dua tempat; sebuah restoran Cina dan perusahaan pengantar barang. Melewati rute biasa, jalan setapak di tengah taman kota, cukup membuat suasana hatinya kembali segar. Melihat dedaunan hijau dan lapangan rumput yang luas adalah kemewahan, mengingat tumbuhan dan segala macam hijau-hijauan adalah hal yang langka akhir- akhir ini. Golden Swan, wilayah yang Violet tempati sekarang merupakan satu- satunya wilayah Ordo yang masih 'hijau', dimana masih banyak hutan, tanaman serta fauna yang hidup di daerah ini. Hanya di Golden Swan, segala flora bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Sementara di wilayah lain, flora tidak bisa hidup. Itu adalah satu rahasia terbesar di abad ini.Kedamaian Violet sedikit terusik mendengar keramaian jauh di tengah padang rumput. Segerombolan anak m
Devon melihat ibunya rebah, tak bernyawa. Darah mengucur deras, sedangkan ia hanya terpaku, tak berbuat apa-apa. Segala yang terjadi terlalu cepat, membuatnya membeku, hilang akal. "Ibu?" hanya itu yang sanggup ia ucapkan.Segala bayangan kejadian dan waktu yang sudah ia lalui bersama ibunya, terlintas di kepala. Saat ia harus mengais tong sampah sambil menunggu ibunya pulang kerja. Saat tubuh kecilnya ikut membantu ibunya mengangkat puluhan paket yang lebih berat dari tubuhnya untuk diantarkan pada para pelanggan. Saat tawa lepas ibunya tatkala mendapatkan gaji yang seketika habis untuk membeli bahan makanan selama sebulan."Ibu?"Akal sehat Devon perlahan kembali. Dia berjongkok, mengangkat jasad ibunya. Dia letakkan di pangkuannya. Tak kehilangan asa, dia mencari-cari denyut nadi sang ibu, berharap ada sedikit tanda kehidupan di sana. Namun, nihil. Ibunya sudah tiada. Hanya raga, tanpa jiwa.Segenap amarah tersedot masuk ke dalam dada
Devon memicingkan matanya. Lampu terang itu berada tepat di atasnya. Dia menoleh ke samping kanan dan menyadari bahwa dia kini tergeletak di sebuah ranjang besi. Tangannya terikat oleh rantai yang ditautkan di sisi ranjang. Devon berusaha menarik rantai itu agar terburai, namun gagal. Kekuatannya seakan menghilang. Tubuhnya melemah. Entah apa yang terjadi dengan dirinya. "De..von," rintihan suara itu terdengar lirih. Pemuda itu memiringkan kepalanya ke kanan. Dilihatnya seorang pria yang sudah tak asing lagi. Mata hijau dan wajah yang begitu mirip dengannya. "A-ayah?" bisiknya. Pria tua itu berbaring dengan posisi tak jauh beda dari Devon. Ranjangnya bersisian dengan ranjang Devon. Hanya saja tangan pria itu tak terikat. "Pembunuh," ucap Devon pelan. "Kau pembunuh!" "A-pa maksudmu?" Anka Hadar tak mengerti. "Kau bunuh ibuku! Kau suruh para Shepherd itu untuk membunuh ibuku!" Devon mulai terisak. Kegagahan dan kegarangannya menguap begitu saja. Mata Anka membola. Dia menggeleng-