Langit temaram, siang sudah mulai menghilang dan akan segera berganti malam. Violet berjalan lunglai sambil sesekali memijit bahunya. Another ordinary day. Tubuhnya serasa remuk setelah bekerja seharian di dua tempat; sebuah restoran Cina dan perusahaan pengantar barang. Melewati rute biasa, jalan setapak di tengah taman kota, cukup membuat suasana hatinya kembali segar. Melihat dedaunan hijau dan lapangan rumput yang luas adalah kemewahan, mengingat tumbuhan dan segala macam hijau-hijauan adalah hal yang langka akhir- akhir ini. Golden Swan, wilayah yang Violet tempati sekarang merupakan satu- satunya wilayah Ordo yang masih 'hijau', dimana masih banyak hutan, tanaman serta fauna yang hidup di daerah ini. Hanya di Golden Swan, segala flora bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Sementara di wilayah lain, flora tidak bisa hidup. Itu adalah satu rahasia terbesar di abad ini.
Kedamaian Violet sedikit terusik mendengar keramaian jauh di tengah padang rumput. Segerombolan anak muda saling berteriak mengumpat sesuatu atau seseorang. Penasaran, Violet menghampiri anak-anak muda itu. Dilihatnya Devon, putra satu-satunya yang sedang menduduki seorang pemuda yang terlihat jauh lebih besar darinya.
Devon meluncurkan pukulan bertubi-tubi ke wajah pemuda itu, hingga darah mengucur dari bibirnya yang pecah. Pemuda itu hanya pasrah menerima serangan Devon, sementara anak-anak muda lain yang mengelilinginya semakin kencang berteriak.
"Devon!"
Pemuda itu terkesiap. Dia hapal suara itu. Suara seseorang yang paling ditakutinya. Segera Devon melepaskan tangannya yang mencengkeram kaos lawan berkelahinya dan berdiri membalikkan badan. "I-ibu.." serunya gagap.
"Bukankah ibu menyuruhmu mengantar barang tadi? Kenapa malah melakukan sesuatu yang tidak berguna di sini?" Violet menatap tajam pada Devon.
Tanpa banyak bicara, Devon mengangkat tubuh pemuda itu dengan mudahnya, seakan si pemuda hanya seberat anak kucing, lalu melemparnya ke samping dirinya, kemudian mengambil tas yang ditindih pemuda itu.
Si pemuda yang terjatuh dalam posisi telentang, bangkit duduk sambil menyeka darah di mulutnya, hanya mampu terkesiap. Merasa sadar bahwa perkelahiannya bersama Devon tadi hanyalah main-main saja, karena Devon sama sekali tak mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghajarnya. Itu saja sudah membuatnya babak belur.
"Mana uangku?" tagih Devon pada pemuda yang masih terpana itu.
Anak-anak muda yang mengelilinginya merogoh kantong celana masing-masing dan mengeluarkan lembaran uang. Semua memberikannya pada Devon. Melihat tumpukan uang di telapak tangannya, Devon menyeringai lebar, "Lain kali carikan orang yang lebih sulit untuk dikalahkan, ya!"
Violet memperhatikan semua itu dengan emosi. "Kalian taruhan?" tanyanya sengit.
"Bukan, Bu! Hanya perkelahian jalanan berbayar," jawab Devon seraya meringis.
Ternyata senyumnya tak membuat sang ibu luluh. Dia malah menjewer telinga putranya dan mulai memaki, "Anak tidak tahu diuntung. Sudah sebesar ini masih saja menyusahkan! Seharusnya kau bekerja di tiga tempat untuk biaya makanmu yang tak masuk akal itu!"
Violet hendak melanjutkan amarahnya ketika bunyi sirene meraung memekakkan telinga, pertanda jam malam sudah dimulai. Gerombolan pemuda itu berlari tunggang langgang. Demikian pula Violet dan Devon. Jam malam diberlakukan di wilayah Golden Swan sejak api pemberontakan makin meluas. Tiap beberapa jam, terdengar tembakan dan ledakan yang diarahkan ke markas Garda Ordo, suatu kesatuan polisi serta tentara yang menjaga keamanan wilayah dan anggota ordo.
"Sialan kau, Devon! Waktu habis dan kita belum mengantarkan dua paket yang seharusnya sudah diterima pemiliknya hari ini!" omel ibunya sembari berlari terengah-engah.
"Besok saja aku yang bicara pada pelanggan, Bu!" sahut Devon sambil terkekeh. Devon begitu yakin, berbekal wajah tampan serta struktur tubuh yang sempurna dan menawan, dia bisa membujuk langganan yang kebanyakan wanita.
"Ini uang untuk Ibu, sebagai ganti kerugian hari ini," Devon menyodorkan seluruh uang hasil berkelahi untuk Violet, sesaat setelah sampai di depan pintu apartemen sederhananya.
Violet tak menampakkan wajah haru pada anaknya. Dia menundukkan wajahnya dalam-dalam saat membuka kunci pintu apartemen menggunakan pemindai sidik jari. Sebutir air mata menetes di pipinya, pertanda dia bahagia dengan perlakuan Devon.
"Aneh, apa alat pemindai ini rusak lagi? Susah sekali aku membuka kuncinya," keluh Violet sambil menekan lebih keras ibu jarinya ke pemindai.
"Biar kuperiksa," Devon menggeser tubuh ibunya lembut dan memeriksa alat yang memang sudah waktunya diganti. Dia mencoba menekan ibu jarinya berkali-kali, masih juga gagal. Merasa kesal, Devon mendorong pintu apartemennya keras-keras. Tak disangka, pintu itu terbuka dengan mudahnya.
"Sudah kuduga, kunci otomatisnya rusak," Violet memasuki rumah dengan gontai. Membayangkan besarnya biaya perbaikan untuk pintu rumahnya. Namun langkahnya terhenti saat terdapat beberapa siluet pria di ruang tamu mungilnya.
Devon yang berada di belakang ibunya langsung mengambil sikap waspada sambil tangannya meraba letak saklar yang terdapat di sisi pintu. Lampu pun menyala. Kini Devon dan ibunya dapat melihat jelas siapa sosok yang sudah memasuki tempat tinggalnya tanpa ijin.
Tiga orang pria berpakaian serba hitam, berambut klimis, salah satunya duduk santai di sofa, sementara dua lainnya berdiri kaku bagaikan robot.
"Selamat malam, Nyonya Violet! Selamat malam, Tuan Devon!" sapa pria yang berada di posisi duduk.
Devon bisa melihat raut bengis pria itu. Kulitnya pucat dengan jenggot tebal. "Siapa kalian? Kenapa bisa masuk rumah kami seenaknya?" seru Devon yang sudah memasang wajah galak.
Pria itu kemudian berdiri mendekati Devon dan Violet, berusaha menyalami keduanya diiringi seringai di bibirnya. "Perkenalkan, aku adalah Shepherd. Sesuai dengan namaku, aku ini penggembala. Aku menggembala petinggi dan bangsawan Ordo Dark Shadows," tutur pria itu.
"Maaf, mungkin anda salah alamat. Di sini adalah wilayah kekuasaan Golden Swan," Devon menghalau pria itu agar tak terlalu dekat dengan dirinya dan Violet.
"Shepherd tak pernah salah mengendus bau. Memang benar anda yang saya cari, Tuan Devon Hadar."
"Untuk apa kau mencari anakku? Apa dia berhutang sesuatu?" tanya Violet curiga.
"Tidak, Nyonya! Kami kemari untuk menjemputnya atas permintaan Tuan Anka Hadar," jawab pria itu sambil menatap aneh pada Violet.
"Untuk apa dia hendak mengambil anakku? Aku menolak! Bilang padanya, dia tidak berhak atas anaknya sejak dia meninggalkan kami lima belas tahun yang tahun yang lalu!" pekik Violet.
"Sayangnya, ini bukan penawaran, Nyonya! Kami akan tetap membawa Tuan Devon meskipun anda berdua tak menyetujui.
"Jangan memancing emosiku, orang aneh! Mungkin aku terlihat ramah, tapi aku tak segan-segan menghajarmu jika terus menggangguku!" Devon maju selangkah dan mendorong tubuh pria itu. Dua orang lainnya yang berdiri mematung, akhirnya bereaksi. Mereka mengeluarkan senjata laser ke arah Devon dan Violet.
"Bijaklah, Tuan Devon! Menurutlah atau sinar laser ini akan melubangi kepala ibu anda."
Devon meradang. Dia sudah berniat menghambur ke arah pria itu, bermaksud memberinya pelajaran. Namun sebelum keinginannya terlaksana, bunyi desing senjata laser nyaring terdengar disertai suara berdebum kencang. Ibunya roboh tepat di sampingnya. Tak berapa lama, darah mengucur dari kepala Violet, semakin banyak.. Semakin banyak.
Devon melihat ibunya rebah, tak bernyawa. Darah mengucur deras, sedangkan ia hanya terpaku, tak berbuat apa-apa. Segala yang terjadi terlalu cepat, membuatnya membeku, hilang akal. "Ibu?" hanya itu yang sanggup ia ucapkan.Segala bayangan kejadian dan waktu yang sudah ia lalui bersama ibunya, terlintas di kepala. Saat ia harus mengais tong sampah sambil menunggu ibunya pulang kerja. Saat tubuh kecilnya ikut membantu ibunya mengangkat puluhan paket yang lebih berat dari tubuhnya untuk diantarkan pada para pelanggan. Saat tawa lepas ibunya tatkala mendapatkan gaji yang seketika habis untuk membeli bahan makanan selama sebulan."Ibu?"Akal sehat Devon perlahan kembali. Dia berjongkok, mengangkat jasad ibunya. Dia letakkan di pangkuannya. Tak kehilangan asa, dia mencari-cari denyut nadi sang ibu, berharap ada sedikit tanda kehidupan di sana. Namun, nihil. Ibunya sudah tiada. Hanya raga, tanpa jiwa.Segenap amarah tersedot masuk ke dalam dada
Devon memicingkan matanya. Lampu terang itu berada tepat di atasnya. Dia menoleh ke samping kanan dan menyadari bahwa dia kini tergeletak di sebuah ranjang besi. Tangannya terikat oleh rantai yang ditautkan di sisi ranjang. Devon berusaha menarik rantai itu agar terburai, namun gagal. Kekuatannya seakan menghilang. Tubuhnya melemah. Entah apa yang terjadi dengan dirinya. "De..von," rintihan suara itu terdengar lirih. Pemuda itu memiringkan kepalanya ke kanan. Dilihatnya seorang pria yang sudah tak asing lagi. Mata hijau dan wajah yang begitu mirip dengannya. "A-ayah?" bisiknya. Pria tua itu berbaring dengan posisi tak jauh beda dari Devon. Ranjangnya bersisian dengan ranjang Devon. Hanya saja tangan pria itu tak terikat. "Pembunuh," ucap Devon pelan. "Kau pembunuh!" "A-pa maksudmu?" Anka Hadar tak mengerti. "Kau bunuh ibuku! Kau suruh para Shepherd itu untuk membunuh ibuku!" Devon mulai terisak. Kegagahan dan kegarangannya menguap begitu saja. Mata Anka membola. Dia menggeleng-
Devon melihat dengan mata kepalanya saat seseorang yang dia ingat sebagai ayah kandung, yang dulu meninggalkannya begitu saja saat dirinya masih sangat membutuhkan sosok dan perlindungan dari sang ayah, terjatuh dan menggelepar kesakitan bagaikan ikan tanpa air. Dia tak bisa berbuat apapun, kekuatannya menghilang tiba-tiba. "Ayah, bertahanlah!" serunya.Anka perlahan terdiam, terbujur kaku di lantai. Kulitnya mengeriput begitu saja. Seakan ada kekuatan yang menghisap cairan tubuhnya. Devon tak pernah melihat hal semacam itu sebelumnya. Tak sengaja, ekor matanya menangkap cincin yang melingkar di jari manis Devon. Mata ular di cincin itu mengeluarkan sinar putih, makin lama makin terang. Sinar itu kemudian membentuk gelombang dan memancar keluar. Pancaran gelombang itu merambat menyelimuti seluruh tubuh Devon, merasuk ke seluruh pori-pori tubuhnya.Devon merasakan kekuatannya mulai kembali. Rantai besi yang melilit pergelangan tangannya, mampu ia patahkan dengan mudah.
Semilir angin berhembus menerpa rambut pirangnya, memaksa ia agar segera terjaga. Devon memicingkan mata dan mengerjap. Posisi tubuhnya tertelungkup, hanya mengenakan celana katun berwarna putih dan bertelanjang dada. Dia terbangun, mengangkat badannya dan melihat dirinya berada di atas ranjang mewah yang sering ia lihat di saluran televisi kabel berbayar di apartemen kumuhnya. Sebuah smart bed futuristik yang didominasi warna silver yang selama ini hanya bisa ia idam-idamkan sembari memelototi layar televisi. Ranjang yang bisa mendeteksi detak jantung, tekanan darah dan tingkat kecemasan pemakainya. Terdapat banyak tombol di sisi kiri dan kanan ranjang dan sebuah layar hologram di atas kepala ranjang. Devon mencoba memencet sebuah tombol berwarna biru. Sebuah video muncul di layar hologram, menunjukkan apartemen kumuhnya, yang biasa ia tinggali bersama sang ibu. Dia memajukan badannya, ingin melihat lebih jelas. Ada gambar ibunya di situ, tersenyum manis ke arah Devon
Devon berjalan gagah dengan baju kebesarannya, meskipun menurutnya baju yang dipakainya kini sangat ketinggalan jaman dan sama sekali bukan tipenya. Serba hitam, warna yang dibencinya, mengingatkannya akan kegelapan, hening dan kesepian.Dalam langkahnya yang pelan dan teratur memasuki Main Hall, ruangan luas yang didominasi oleh tembok perak dan besi, lantainya terbuat dari berlian murni, tahan gempa dan tahan getaran, sorot matanya tertuju pada para Tetua yang mengikuti tiap geraknya. Tersungging senyum sinis dari bibir Devon. Sebentar lagi, dia akan mendekati para Tetua dan membuat perhitungan dengan mereka. Lengan Devon terayun ringan. Dia sama sekali tak mau bersikap formal.Tanpa ia sadari, cincin bermata ular yang melingkar di jarinya sejak seorang Shepherd memakaikan padanya di hari ibunya terbunuh itu mengeluarkan secercah sinar putih.Para Shepherd kemudian mengarahkan Devon menuju kursi singgasana berwarna hitam metalik yang sudah disiapkan untuk peno
Beberapa kali Devon menguap mengikuti prosesi penobatan dirinya yang terlalu memakan waktu. Para Shepherd mengelilingi singgasananya sembari merapalkan mantra. Sementara para Tetua mengangkat tangannya ke udara sambil bergandengan. Lantai Ruang Utama yang berwarna kristal, tiba-tiba berubah gelap. Atap gedung terbuka perlahan memperlihatkan langit pagi yang cerah tanpa awan. Adalah suatu keajaiban di wilayah kutub untuk melihat langit berwarna biru. Biasanya, hanya ada awan dan kabut disertai semburat aurora."Alam menyambutmu, Devon," ujar salah seorang Tetua.Devon yang sedari tadi duduk diam seraya memegang pedang, hanya tersenyum sinis menanggapi."Setelah ini, kau bisa menuju Atlanta. Kau bisa segera menempati istana Black Emperors yang beberapa waktu ini tak berpenghuni," lanjut seorang Tetua.Devon termangu sesaat. Ditatapnya pedang yang kini berwarna keperakan. Wajah tampannya memantul di sana. Entah bisikan dari mana, Devon mengangkat pedan
Atlanta Pusat peradaban dunia kini. Orion peninggalan Anka Hadar, berhasil didaratkan dengan mulus oleh Devon. Berbekal tuntunan yang ia dapat dari rekaman petunjuk Anka yang disimpan di cincin bermata ular itu, Devon berhasil mempelajari seluk beluk Orion dengan cepat. Ketika kakinya menjejak landasan aero car di atap gedung Epsilon (gedung pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan organisasi Black Emperors), ratusan Guardians atau prajurit khusus pelindung Kaisar, telah berbaris rapi membentuk garis lurus di sisi kiri dan kanan hamparan material tiga dimensi berwarna biru laut yang berfungsi sebagai karpet merah untuk penyambutan Devon. Devon berjalan dengan gagah, blazer panjang berwarna keemasannya berkibar diterpa angin. Tak lupa pedang Nebulanya terselip di pinggang. Di ujung karpet, seorang wanita cantik berpakaian formal menunggunya. Dia nampak memegang sebuah ipad transparan. Dengan senyum mengembang, wanita itu menyapa tatkala Devon s
Dada Devon bergemuruh. Terlalu banyak fakta baru membuat dia bimbang. Entah mana yang harus dia percaya."Saya adalah paman anda, Yang Mulia. Saya, Robertson Hadar," seringai pria itu.Robertson kemudian meraih telapak tangan Devon dan membelainya lembut. Devon menjadi sedikit risih dibuatnya."Bentuk fisik anda begitu sempurna. Kekuatan yang anda kuasai adalah mengendalikan gelombang elektromagnetik yang berlimpah dari dalam diri anda. Selain itu, anda juga dapat memunculkan gelombang listrik dari seluruh permukaan kulit," tutur Robertson sambil masih menggenggam kuat telapak Devon."Valishka, cenderung memiliki kekuatan pengendali pikiran," gumam Robertson. "Hanya itu kemampuan yang dia miliki.""Mari saya antar Yang Mulia menuju singgasana," ujar Valishka tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan. Dia sepertinya tidak begitu suka dengan topik yang dibahas oleh Robertson.Devon mengangguk lalu membalikkan badan. Sementara Robertson menunduk penuh