Devon melihat dengan mata kepalanya saat seseorang yang dia ingat sebagai ayah kandung, yang dulu meninggalkannya begitu saja saat dirinya masih sangat membutuhkan sosok dan perlindungan dari sang ayah, terjatuh dan menggelepar kesakitan bagaikan ikan tanpa air. Dia tak bisa berbuat apapun, kekuatannya menghilang tiba-tiba. "Ayah, bertahanlah!" serunya.
Anka perlahan terdiam, terbujur kaku di lantai. Kulitnya mengeriput begitu saja. Seakan ada kekuatan yang menghisap cairan tubuhnya. Devon tak pernah melihat hal semacam itu sebelumnya. Tak sengaja, ekor matanya menangkap cincin yang melingkar di jari manis Devon. Mata ular di cincin itu mengeluarkan sinar putih, makin lama makin terang. Sinar itu kemudian membentuk gelombang dan memancar keluar. Pancaran gelombang itu merambat menyelimuti seluruh tubuh Devon, merasuk ke seluruh pori-pori tubuhnya.
Devon merasakan kekuatannya mulai kembali. Rantai besi yang melilit pergelangan tangannya, mampu ia patahkan dengan mudah. Setelah semua yang membelenggu dirinya terlepas, dia segera melompat turun menghampiri sang ayah. Tubuh kurus mengering itu hendak ia angkat untuk ia letakkan di pangkuannya. Tak ada lagi rasa benci dan dendam pada Anka, yang ada hanyalah keinginan untuk menyelamatkan sang ayah.
Namun niat itu terpatahkan saat tubuh Anka Hadar berubah menjadi debu dan berterbangan di udara, sesaat setelah Devon menyentuhnya. Debu itu bergerak ke atas, berubah padat dan membentuk kristal-kristal putih. Kristal-kristal yang semakin banyak itu terus naik memasuki ventilasi udara yang terdapat pada plafon, hingga menutupi salurannya.
Bunyi alarm begitu kencang memekakkan telinga akibat tertutupnya saluran ventilasi. Devon menutup telinganya rapat-rapat. Dia tak suka bunyi itu, membuat kepalanya serasa pecah. Tanpa Devon sadari, gelombang listrik muncul dari permukaan kulitnya, membentuk percikan-percikan kecil yang semakin lama semakin membesar.
Satu percikan besar yang terjadi di atas permukaan kulit punggungnya yang sedari awal memang tak tertutupi kain, memantik reaksi di sekitarnya. Seakan-akan semua arus listrik tersedot ke dalam gelombang yang Devon pancarkan sehingga memadamkan semuanya. Lampu-lampu, mesin pemanas ruangan dan terutama alarm. Benda bulat itu tak lagi melengking.
Beberapa detik dalam kegelapan, pintu ruangan besi itu kemudian terbuka lebar. Beberapa pria bersetelan hitam memasuki ruangan dengan tergesa-gesa dan menghampiri Devon. Satu orang terlihat memegang sebuah tongkat kecil mirip antena, mengangkatnya ke atas dan mengembalikan cahaya seperti semula.
Satu orang pria lainnya yang memiliki wajah sangat mirip dengan seseorang yang Devon bunuh di apartemennya, berjalan perlahan mendekati tubuh Devon yang sedang meringkuk. Pemuda bermata hijau itu menoleh ke arah derap kaki yang menghampiri dirinya. Pria itu berjongkok tepat di hadapan Devon. Dia berusaha menyejajarkan wajahnya hingga keduanya saling berdekatan, tatapan mereka bertemu. Devon pun terbelalak melihatnya, "Ka-kau? Bukankah aku sudah membunuhmu?"
Pria itu hanya menanggapi dengan seringai. "Yang Mulia," sahut pria itu. "Anda bisa memanggil saya Shepherd," sambungnya.
Devon menggeleng kuat. Bibirnya terlihat menggumamkan sesuatu. "Kau sudah mati, aku sudah membunuhmu! Kau sudah mati!" ujarnya berkali-kali.
"Yang Mulia," Shepherd menyentuh bahu Devon lembut untuk menenangkannya. "Tidak apa-apa, Yang Mulia. Semua akan baik-baik saja," tangan Shepherd beralih dari bahu menuju puncak kepala Devon lalu mengusapnya perlahan, persis seperti seorang ayah yang sedang membujuk anaknya.
"Bagaimana bisa?" Devon sangat penasaran. Ditatapnya pria itu lekat.
Shepherd tersenyum, "Kita adalah makhluk-makhluk terpilih. Kita sudah melewati seleksi alam yang ketat. Kita berhasil selamat dari kematian planet asal kita dan berpindah ke bumi. Kita adalah keturunan ras Hadar, Yang Mulia. Anda adalah pemimpinnya!"
"Bagaimana kau bisa hidup lagi?" Devon masih mengulang pertanyaan yang sama.
"Karena yang kau bunuh hanyalah kloning. Dia klonku," jawab Shepherd.
"Kalian mengklon diri kalian sendiri? Bukankah itu ilegal sesuai kesepakatan seluruh ordo?" cecar Devon.
"Jumlah generasi pertama yang berhasil memasuki bumi hanya sedikit. Kebanyakan dari kami meninggal di luar angkasa, saat perjalanan melintasi galaksi. Ada pula yang meledak saat memasuki atmosfer. Oleh karena itu, kami memperbanyak keturunan murni dengan menikahi sesama ras. Namun itu tak menunjukkan perubahan signifikan. Kami masih menjadi minoritas, sehingga kloning adalah langkah tercepat."
"Aku tidak mau menjadi bagian dari manusia-manusia licik macam kalian. Ibuku manusia asli penduduk bumi!" Devon memundurkan langkahnya, percikan listrik di telapak tangannya kembali timbul.
"Tapi, tidak dengan ayahmu, Yang Mulia," Shepherd memajukan badannya pelan dan hati-hati. Sementara Shepherd lainnya siaga berdiri di belakang.
"Anka Hadar adalah keturunan pertama dari pemimpin ras kami di planet asal. Dia yang terkuat. Tapi berkali-kali kami mengklon tubuhnya, selalu saja gagal. Kloning baru itu selalu mati, tidak bisa berkembang. Terakhir, kami mengklon subyek Xa102, kami tambahkan separuh energi dari tubuh Anka, baru lah klon itu bisa bertahan. Kami menjadikan klon itu sebagai Kaisar Agung yang kau kenal. Sementara Anka, kami menghapus sebagian memorinya sehingga dia tidak bisa mengingat bahwa tubuhnya sudah berhasil kami gandakan," tutur Shepherd panjang lebar.
"Memori Tuan Anka kembali ketika gagal menjalankan misinya untuk mempengaruhi pikiran Tuan Sirius, ketua Ordo Fallen Eagles," timpal Shepherd yang lain.
"Dia merasa dikhianati saat tahu bahwa sosok Kaisar Agung hanyalah klon dari dirinya. Tuan Anka menjadi lebih memihak kepada para manusia daripada kami, saudara satu ras. Satu langkah lagi dan Tuan Anka sudah akan bergabung dengan organisasi pemberontak. Sampai titik terakhirnya, Tuan Anka tidak mau membuka rahasia organisasi pemberontak. Dia membiarkan kami bertanya-tanya dan mencari tahu segalanya sendiri," lanjutnya.
"Ayahku bilang, dia menyuruh kalian untuk menjemput ibuku dan aku. Dia akan membawa kami ke suatu tempat yang aman, tapi kalian malah membunuh ibuku.." sahut Devon.
"Maafkan kami, tapi semuanya berada di luar kendali, Yang Mulia. Para tetua juga tidak semuanya satu suara dan sepakat dengan perilaku Tuan Anka. Akan tetapi mereka sepakat dalam satu hal, yaitu anda! Anda adalah sesuatu yang berbeda," sorot Shepherd berbinar-binar. "Anda adalah mahakarya semesta, hasil penyatuan genetika silang dari keturunan penguasa ras Hadar dengan ras manusia," desisnya.
"Ibuku hanyalah manusia biasa," ujar Devon lemah.
"Menurut anda memang begitu, namun bagi kami, manusia biasa adalah kunci kekuatan melawan seleksi alam."
"Anda adalah berlian, Yang Mulia. Anda adalah kunci spesies kita untuk bertahan."
"Bergabunglah bersama kami."
"Jadilah pemimpin kami. Bimbing kami."
"Para tetua sudah membutuhkan pengganti."
Kata-kata para Shepherd saling bersahutan, mereka berjalan pelan mengerubungi tubuh Devon. Semuanya terngiang di telinga dan menancap di kepala. Awalnya Devon hanya memejamkan mata rapat-rapat sambil mencengkeram rambutnya. Lama-kelamaan kalimat Shepherd merasuk ke dalam jiwanya, menjelma sebagai sebuah kebenaran.
"Yang Mulia, anggukkan kepalamu. Maka anda akan jadi penguasa bumi yang baru.."
Semilir angin berhembus menerpa rambut pirangnya, memaksa ia agar segera terjaga. Devon memicingkan mata dan mengerjap. Posisi tubuhnya tertelungkup, hanya mengenakan celana katun berwarna putih dan bertelanjang dada. Dia terbangun, mengangkat badannya dan melihat dirinya berada di atas ranjang mewah yang sering ia lihat di saluran televisi kabel berbayar di apartemen kumuhnya. Sebuah smart bed futuristik yang didominasi warna silver yang selama ini hanya bisa ia idam-idamkan sembari memelototi layar televisi. Ranjang yang bisa mendeteksi detak jantung, tekanan darah dan tingkat kecemasan pemakainya. Terdapat banyak tombol di sisi kiri dan kanan ranjang dan sebuah layar hologram di atas kepala ranjang. Devon mencoba memencet sebuah tombol berwarna biru. Sebuah video muncul di layar hologram, menunjukkan apartemen kumuhnya, yang biasa ia tinggali bersama sang ibu. Dia memajukan badannya, ingin melihat lebih jelas. Ada gambar ibunya di situ, tersenyum manis ke arah Devon
Devon berjalan gagah dengan baju kebesarannya, meskipun menurutnya baju yang dipakainya kini sangat ketinggalan jaman dan sama sekali bukan tipenya. Serba hitam, warna yang dibencinya, mengingatkannya akan kegelapan, hening dan kesepian.Dalam langkahnya yang pelan dan teratur memasuki Main Hall, ruangan luas yang didominasi oleh tembok perak dan besi, lantainya terbuat dari berlian murni, tahan gempa dan tahan getaran, sorot matanya tertuju pada para Tetua yang mengikuti tiap geraknya. Tersungging senyum sinis dari bibir Devon. Sebentar lagi, dia akan mendekati para Tetua dan membuat perhitungan dengan mereka. Lengan Devon terayun ringan. Dia sama sekali tak mau bersikap formal.Tanpa ia sadari, cincin bermata ular yang melingkar di jarinya sejak seorang Shepherd memakaikan padanya di hari ibunya terbunuh itu mengeluarkan secercah sinar putih.Para Shepherd kemudian mengarahkan Devon menuju kursi singgasana berwarna hitam metalik yang sudah disiapkan untuk peno
Beberapa kali Devon menguap mengikuti prosesi penobatan dirinya yang terlalu memakan waktu. Para Shepherd mengelilingi singgasananya sembari merapalkan mantra. Sementara para Tetua mengangkat tangannya ke udara sambil bergandengan. Lantai Ruang Utama yang berwarna kristal, tiba-tiba berubah gelap. Atap gedung terbuka perlahan memperlihatkan langit pagi yang cerah tanpa awan. Adalah suatu keajaiban di wilayah kutub untuk melihat langit berwarna biru. Biasanya, hanya ada awan dan kabut disertai semburat aurora."Alam menyambutmu, Devon," ujar salah seorang Tetua.Devon yang sedari tadi duduk diam seraya memegang pedang, hanya tersenyum sinis menanggapi."Setelah ini, kau bisa menuju Atlanta. Kau bisa segera menempati istana Black Emperors yang beberapa waktu ini tak berpenghuni," lanjut seorang Tetua.Devon termangu sesaat. Ditatapnya pedang yang kini berwarna keperakan. Wajah tampannya memantul di sana. Entah bisikan dari mana, Devon mengangkat pedan
Atlanta Pusat peradaban dunia kini. Orion peninggalan Anka Hadar, berhasil didaratkan dengan mulus oleh Devon. Berbekal tuntunan yang ia dapat dari rekaman petunjuk Anka yang disimpan di cincin bermata ular itu, Devon berhasil mempelajari seluk beluk Orion dengan cepat. Ketika kakinya menjejak landasan aero car di atap gedung Epsilon (gedung pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan organisasi Black Emperors), ratusan Guardians atau prajurit khusus pelindung Kaisar, telah berbaris rapi membentuk garis lurus di sisi kiri dan kanan hamparan material tiga dimensi berwarna biru laut yang berfungsi sebagai karpet merah untuk penyambutan Devon. Devon berjalan dengan gagah, blazer panjang berwarna keemasannya berkibar diterpa angin. Tak lupa pedang Nebulanya terselip di pinggang. Di ujung karpet, seorang wanita cantik berpakaian formal menunggunya. Dia nampak memegang sebuah ipad transparan. Dengan senyum mengembang, wanita itu menyapa tatkala Devon s
Dada Devon bergemuruh. Terlalu banyak fakta baru membuat dia bimbang. Entah mana yang harus dia percaya."Saya adalah paman anda, Yang Mulia. Saya, Robertson Hadar," seringai pria itu.Robertson kemudian meraih telapak tangan Devon dan membelainya lembut. Devon menjadi sedikit risih dibuatnya."Bentuk fisik anda begitu sempurna. Kekuatan yang anda kuasai adalah mengendalikan gelombang elektromagnetik yang berlimpah dari dalam diri anda. Selain itu, anda juga dapat memunculkan gelombang listrik dari seluruh permukaan kulit," tutur Robertson sambil masih menggenggam kuat telapak Devon."Valishka, cenderung memiliki kekuatan pengendali pikiran," gumam Robertson. "Hanya itu kemampuan yang dia miliki.""Mari saya antar Yang Mulia menuju singgasana," ujar Valishka tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan. Dia sepertinya tidak begitu suka dengan topik yang dibahas oleh Robertson.Devon mengangguk lalu membalikkan badan. Sementara Robertson menunduk penuh
Para Guardians makin terpojok. Laser-laser yang mereka tembakkan, tak satu pun yang mampu menembus pertahanan lawan. Sementara kendaraan berat itu makin merangsek masuk ke singgasana yang terbuka lebar. Dua orang Guardians roboh. Baju zirah mereka tak mampu menahan senjata jenis baru yang ditembakkan musuh. Senjata itu bahkan mampu melubangi besi pelindung yang terbuat dari titanium khusus. Mau tak mau, Devon maju. Meskipun dia belum mengenali dengan pasti musuhnya, namun dia tidak bisa berdiam diri melihat pengawal-pengawalnya berjatuhan. "Yang Mulia, saya bisa menangani ini," larang Valishka seraya mencekal lengan Devon. Warna bola matanya berangsur normal ke warna semula. "Bukannya kau berada di pihak mereka?" tuduh Devon sinis. "Sama sekali tidak, Yang Mulia! Saya hanya mempengaruhi pemikiran mereka agar menghentikan aksinya. Hanya itu kekuatan yang saya miliki," terang Valishka di antara desingan senjata. "Siapa mereka sebenarnya? Kenapa mereka s
"Robertson, ayah kalian?" Devon mengulang pertanyaannya seakan tak percaya."Dia adik dari Anka Hadar, ayahmu," sahut pria berambut cepak."Dan kalian ingin membunuhku," sinis Devon."Kami terpaksa melakukannya! Kalau kami tidak membunuhmu, merekalah yang akan membunuh kami," tandas Troy."Siapa mereka?" Tanya Devon menuntut jawab."Mereka adalah kelompok paling misterius dari Dark Shadows. Ayahku, Robertson Hadar, menjadi salah satu anggotanya. Dia selalu cemburu pada ayahmu yang memiliki kekuatan paling besar di antara keturunan pemimpin bangsawan Hadar," jawab Troy setengah berbisik."Sshh, dia sedang dalam perjalanan kemari," potong Valishka.Kedua pria asing itu terkesiap, lalu saling memandang, kemudian mengangguk. Pria berambut cepak itu segera mengeluarkan talinya yang bersinar kemerahan. Dia melecutkan tali itu, hingga bergerak ke dinding singgasana yang terbuka, lalu menjuntai ke bawah . Troy menautkan lengannya
Devon melepas segala atributnya, mulai dari blazer panjang hingga pedang Nebula yang selalu terselip di pinggang setelah dia gunakan tadi. "Mara!" Seru Devon. "Yang Mulia," jawab Mara, kecerdasan buatan yang berfungsi untuk membantu kenyamanan Devon di ruang istirahatnya. "Dimana aku harus menyimpan benda berhargaku ini?" Devon mengangkat pedangnya. Beberapa saat kemudian, sesuatu di bawah ranjang bergerak. Sebuah kotak besi muncul dari dalam lantai yang terbuka. Kotak besi yang mulanya kecil, kemudian bergerak memanjang sesuai ukuran pedang. Devon meletakkan pedangnya di situ dengan hati-hati. Kotak besi itu tertutup kembali dan bergerak masuk ke dalam lantai hingga lantai itu menutup sempurna. "Hanya anda yang mampu membuka dan menutup kotak besi melalui deteksi gelombang suara anda, Yang Mulia," jelas Mara. Devon menghembuskan napasnya lega, lalu berbaring di atas ranjang, bertelanjang dada. Sedari kecil, dia terbiasa tidur tanpa memakai ba