wisa itu dalam bahasa indonesia artinya bisa
Empu Jagat Trengginas memandang ke arah danau yang tidak jauh dari air terjun. Kedua tangan terentang, mantra dia lantunkan, tiba-tiba bumi berguncang seperti gempa. Empu Jagat Trengginas bergeming guncangan dahsyat tersebut tidak membuatnya beralih tempat, dia mengentakkan kaki kanan ke tanah di dekat danau.Blar! Blar! Pyash! Byur! Tras! Tanah seperti terbelah, air danau masuk ke dalam belahan tanah tersebut. kemudian Empu Jagat Trengginas kembali mengentakkan kakinya beberapa kali, tanah yang telah kering itu seperti naik membentuk bukit kecil. Kedua tangan menyatu ke depan, terlihat sebuah cahaya biru menyembul di tengah. Empu Jagat melempar ke arah danau kering. Blar! Cahaya biru tersebut menjadi percikan api biru. “Uhuk!” Empu Jagat Trengginas kembali, muntah darah, kali ini lebih banyak, tubuhnya lemas, dia tersungkur ke tanah. “Celaka, tenagaku sudah terkuras habis!” Lelaki tua tersebut mengatur napas yang putus-putus. Bersamaan dengan itu, tanah kembali
Kerajaan Baskara Masa lalu memang akan membuat seseorang tetap mengingat. Bukan berarti tidak dapat berjalan maju, hanya saja sebagai lonceng akan sebuah sebab akibat sebuah perjuangan. Begitu pun Khandra tidak mungkin dia melupakan begitu saja masa lalu. Usai pertempuran sengit antara guru dan kakak seperjuangan, Khandra tidak lagi bersua Empu Jagat Trengginas, entah ke mana lelaki tua itu pergi. 'Guru,' bisik Khandra ketika tidak sadar mengingat wajah tua berjanggut putih. Cuaca siang itu terasa panas, Khandra mengusap peluh yang membasahi kening. Dia memejamkan mata menghilangkan segala ingatan yang mampir. Dia menoleh ke arah tanah lapang tempatnya berlatih pedang. Beberapa anak buahnya terkapar tanpa daya, kelelahan. Sama seperti dirinya, napas kembang kempis. Tangannya meraih kendi yang berada di atas meja kayu. Dia meneguk airnya beberapa kali. "Senapati Khandra," panggil seorang wanita, suara terdengar mendayu-dayu bak alunan kidung indah.
Suara langkah kaki kuda terdengar di jalan setapak. Nampak dua orang pemuda memacu kuda masing-masing melewati alun-alun kota, Khandra menoleh ke arah tengah. Di mana kepala Kanjeng Ibu yang mulai membusuk dibiarkan begitu saja oleh para penjaga. Khandra menarik tali membuat kuda berhenti, disusul kemudian Kayana. “Biadab sekali mereka!” umpat Kayana. “Jaga bicaramu, banyak lalat hinggap di sekitar!” Khandra mengingatkan sang sahabat seraya menoleh kanan-kiri. “Entah sampai kapan kepala Kanjeng Ibu akan tergantung seperti itu,” lirih Khandra. Keduanya saling pandang lalu mengangguk, mereka kembali memacu kuda ke arah sebuah kedai. “Mbok, ada ruangan kosong? Kami berdua ingin minum arak sampai mabuk.” Kayana tersenyum ketika Mbok Berek si pemilik kedai menghampiri. Mbok Berek membalas senyum, “Ada, mari ikut saya ke bilik ujung, tidak apa kan, bilik lain sudah terisi,” kata Mbok Berek. Mereka kemudian berjalan masuk, beberapa pengunjung yang tengah ma
Mengikuti Rengganis Jarak Rengganis begitu dekat dengan Khandra, lelaki tersebut masih dengan telaten mengarahkan Rengganis mengayunkan tongkat kayu. Ketika Khandra mengajarkan gerakan lebih rumit. Wanita tersebut terhuyung, dengan cepat Khandra menarik tubuh Rengganis. Pedang kayu jatuh ke tanah, tubuh Rengganis bergetar, dia terkekeh dengan napas tersengal. “Aku lelah, Khandra, astaga tidak aku sangka jika belajar berpedang sangat sulit,” ungkapnya menghela naps panjang. “Permaisuri tidak apa?” tanya Khandra, jantung lelaki tersebut berdentum saat tubuh Rengganis bergelayut dalam pelukannya. “Iya,” jawab Rengganis bangkit menegakkan tubuh. “Khandra, bisakah kau menemaniku jalan-jalan. Aku bosan,” ucap Rengganis. “Tentu, monggo Permaisuri,” kata Khandra dengan satu tangan mempersilakan. Rengganis berjalan mendahului, rambut panjang diikat ke belakang menjadi satu menari seiring langkah kaki nan gemulai wanita ayu itu. Rengganis kemudian menuj
Khandra melihat sekeliling, tempat tidak asing, tempat yang biasa dia lewati juga tempat di mana dia membakar jasad Gendeng Sukmo, kakak seperguruannya. Lelaki tersebut mendongakkan kepala, samar terlihat jelas kobaran api dalam ingatan. Kobaran api yang disiapkan dirinya sendiri untuk membakar jasad Nyi Gendeng Sukmo. Masih teringat jelas awal pertama Khandra melihat Gendeng Sukmo, wanita anggun nan ayu itu sangat membuat terpesona. Khandra masih amat muda ketika Empu Jagat Terengginas membawanya pergi dari Padepokan Elang Putih. Pedepokan ilmu bela diri yang terkenal di seantero nusantara. Padepokan yang menghasilkan murid-murid terbaik. Namun, tempat tersebut memiliki banyak misteri. Pemilik dari tempat tersebut selalu menyembunyikan wajah dengan cadar. Hanya orang-orang tertentu saja yang diperkenankan berjumpa dengannya. Juga untuk masuk ke dalam padepokan akan dilakukan ujian ketat. Empu Jagat Trengginas mengangkat Khandra sebagai murid lantaran melihat ketangkas
Mendiang Raja Arkha pernah menyambangi tanah seberang, mengunjungi Kerajaan Bamantara, guna bersua Raja Arutala dan Ratu Sekar Ayu. Menurut cerita turun temurun dari nenek moyang. Satu-satunya kerajaan paling damai di mana raja hanya menikah dengan satu wanita lalu menjadikan sebagai Ratu Kerajaan Bamantara. Kerajaan netral tidak memiliki musuh lantaran Kerajaan sendiri pun berjaya dan mampu mencukupi kehidupan rakyat dengan sumber daya alamnya. Hal tersebut yang membuat Raja Arkha memiliki niat baik untuk menikahkan putri semata wayangnya bernama Rengganis. Selain sebagai pernikahan politik untuk mempererat hubungan kedua kerajaan, Raja Arkha juga berharap agar Pangeran Abra, pangeran ke-2 kerajaan tersebut akan senantiasa menjaga putri semata wayangnya. Menjadikan Rengganis istri dan ratu satu-satunya. "Mendengar reputasi baik dari Kerajaan Bamantara aku tidak ragu untuk menyerahkan putriku satu-satunya untuk menikah dengan Pangeran Abra. Jadilah pasangan yang saling mencint
Ketika Abra menjalani malam panas penuh gairah dengan Madhavi. Sangat berbanding terbalik dengan Rengganis si pemilik sah Kerajaan Baskara terlihat sederhana dalam balutan pakaian warna putih dengan celana warna sama, kemudian di bagian perut diikat kain kecil warna hitam. Tanpa aksesoris dan pakaian mewah, Rengganis nampak seperti pendekar wanita, dia menjalani awal baru di tempat yang tidak seharusnya ditempati. Rengganis menatap kobaran api unggun yang dinyalakan Khandra. Saat ini, dia masih dikelilingi para ksatria menikmati langit malam bertabur bintang. “Waktu itu aku mengadakan jamuan untuk menyambut kehamilan Selir Madhavi. Meski sakit hati sekali pun lantaran wanita itu meraih cinta dari suamiku. Namun, tidak pernah ada niat di hati untuk melukai. Awalnya kami tidak apa-apa menikmati hidangan, menyesap teh di cangkir, entah bagaimana giliran Selir Madhavi yang meminum teh buatan dayangku, dia langsung tersungkur pingsan, tubuh bagian bawah mengeluarkan darah bany
Khandra mengerutkan kening, dia dan Kayana saling pandang dalam kegelapan ketika suara tidak asing tersebut terdengar. Keduanya melangkah keluar antara terkejut juga merasa aman. "Mang Damar," sapa Khandra keluar dari tempat persembunyian. "Aku kira siapa tadi." Kayana bernapas lega. Terdengar suara tawa Mang Damar dan tiga orang lainnya. "Siapa lagi yang malam-malam menyusup ke hutan, huh," kekeh Mang Damar. "Ayo segera kembali, anak buahku melihat Ki Kastara keluar dari Istana berjalan mengelilingi desa. Aku yakin dia akan ke kedai juga," ungkapnya. "Kita harus bergegas, mari!" ajak Khandra. Mereka mempercepat langkah kaki, tidak peduli semak belukar mereka terjang. Bertepatan dengan Ki Kastara masuk ke dalam. Mang Damar memberikan nampan berisi kendi tempat arak juga mangkuk batok kelapa. Khandra dan Kayana gegas masuk dalam bilik membawanya. Anak buah Khandra berdiri. Mereka berempat bergerak cepat mengganti pakaian ada per