"Mas....mas, mas Darwin" Ketika tanganku tidak bisa menggapai apa yang ingin kungapai, seketika mata ini mulai terbelalak. Entah kemana perginya mas Darwin. Tidak biasanya dia pergi tanpa pamit lebih dulu. Melihat jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Rasa kantuk terus memberatkan mata ini meski berulang kali berusaha membuka lebar. Setelah sekian lama akhirnya aku bisa tidur pulas tanpa ada gangguan suara denyit ranjang sebelah. Mungkin ibu Marni sedang keluar rumah atau menginap di rumah temannya. Aku tidak perduli mau dia ada atau tiada bagiku sama saja. Sudah lama aku muak dengan keberadaan beliau, bukan tanpa sebab. Pertama gara gara beliau nyawa ayah tidak tertolong, semua karena beliau bersikeras tidak mau membawa ayah ke rumah sakit dengan alasan kami tidak mempunyai cukup uang. Sedangkan pada saat itu ibu Marni punya simpanan perhiasan dari almarhumah ibu kandungku, tapi beliau tidak mau menjualnya dan malah memakainya. Yang kedua setelah kepergian ayah, beliau jadi wanita murahan. Banyak warga menggunjing perilaku ibu Marni yang kerap ketanggap basah di antar jemput beberapa pria parubaya. Sebagai seorang janda seharusnya beliau bisa menjaga diri dengan tidak keluyuran setiap hari. Banyak isu mulai bermunculan tentang pekerjaan beliau sebagai pelakor dan pekerja komersial. Aku di buat malu olehnya, ketika aku harus berhadapan langsung dengan warga sekitar. Entah harus bagaimana mengatasi sifat buruk ibu Marni itu. Padahal setiap bulan aku selalu memberinya uang untuk sekedar membalas jasanya selama ini. Dua juta dalam satu bulan terbilang cukup untuk dia hidup seorang diri. lagi pula seluruh kebutuhan rumah dan berbagai tagihan aku dan mas Darwin yang membayarnya. Jadi kalau di pikir uang ibu Marni masih utuh tidak terpotong sedikit pun.
"Mas Darwin kamu di mana....?" Tanpa tunggu lama aku pun mulai turun dari ranjang mencari keberadaan mas Darwin. "Akkkkhhh....." dengusan panjang mengusik telinga. "Stttt....pelankan suara ibu nanti kalau Rika bangun bagaimana?" Lirih Darwin sembari menghentikan gerakan tubuh. Mereka berdua saling menatap dengan puluh membasahi wajah. Butiran keringat sebesar biji jagung membasahi tubuh mereka sampai terlihat mengkilap seperti di lumuri minyak. "Dia tidak akan dengar, kamu tenang saja...." Marni mulai meraba bagian dada kemudian mencium bibir Darwin. Mereka sudah tidak punya rasa canggung sama sekali. Di mana pun tempat jika mereka ingin pasti langsung tancap gas. Darwin tidak bisa menolak kenikmatan yang Marni berikan padanya. Seorang pria jauh lebih suka jika wanitanya menawarkan diri lebih dulu, rayuan dan gaya wanita liar membuat sensasi int1m para pria meningkat drastis. "Darwin........" Marni mulai tidak bisa mengontrol diri ketika Darwin mempercepat laju tubuhnya. "Suara apa itu....?" Tanpa ragu aku pun mulai melangkahkan kaki mencari sumber suara. Dari kejauhan suara itu berasal dari dapur "Mas, apa kamu di sana...." Menyalakan lampu depan sembari mencoba melihat suara apa gerangan. Seketika suara lenguhan panjang tadi berubah hening seketika. Suara seperti gemericik air mulai terdengar. "Ibu ngapain tengah malam di dapur?"Tanyaku sembari menatap punggung ibu Marni. Marni sangat gugup takut jika perbuatan mereka tertangkap basah "Aku harus tenang. Jangan sampai terlihat gugup di depannya" Lirihnya sembari mengusap peluh. Berbalik badan "Eh kamu Rika, itu tadi ibu haus mau ambil minum. Kamu sendiri kenapa bangun tengah malam begini, memang kamu tidak ngantuk besok harus berangkat kerja lagi kan?" "Apa tadi ibu mendengar suara? Dari kamar aku mendengar ada suara dari arah sini..." Melihat sekeliling hanya ada ibu Marni saja. Beruntung Darwin sigap bersembunyi ketika melihat lampu ruang tengah menyala. Sudah di pastikan kalau sang istri terbangun. Beliau tersenyum sembari mengangkat gelas padaku "Itu tadi suara ibu hampir menjatuhkan gelas soalnya lantainya licin. Tuh lihat tadi airnya tumpah jadi licin deh lantainya...." Jawab ibu Marni. Jujur aku merasa curiga pada tingkah beliau. Ada sesuatu yang di sembunyikan dariku. "Oh ya sudah kalau begitu aku pikir ada apa. Emmmm....kalau boleh tanya apakah ibu tau di mana mas Darwin" Melihat sekeliling berharap mas Darwin muncul. Ibu Marni menggeleng kepala "Mana ibu tau bukankah tadi kalian tidur bareng? Ke kamar mandi mungkin" Ada gelagat tidak mengenakan dari wajah beliau. "Tadi Rika sudah cari di kamar mandi tapi tidak ada ....." Jawabku terus terang. Beliau menenggak segelas air mineral "Kalau begitu mana ibu tau. Paling dia cari angin ke luar kali...." "Entahlah buk, kalau begitu Rika masuk dulu mau coba telepon mas Darwin" Ku langkahkan kaki menuju kamar. Menepuk pundak Darwin "Ih kamu sih tidak pelan-pelan ibu jadi kelepasan tadi. Udah sana cepat balik kamar nanti Rika bisa curiga sama kita...." Ucap Marni sedikit berbisik. Darwin bersembunyi di bawah meja dapur tepat di samping Marni berdiri sekarang "Astaga, padahal aku belum sampai lho buk" Marni juga merasa belum mencapai puncaknya tapi sudah harus berakhir "Sama ibu juga begitu tapi kita harus waspada takutnya Rika curiga sama kita. Lebih baik kamu cepat masuk kamar jangan buat istrimu berpikir macam-macam" Cup... Dengan lancang Darwin mencium kening Marni sembari meremas bagian sensitive "Besok akan kubuat ibu lemas di atas ranjang" "Ih nakal deh kamu" mencubit hidung Darwin. Darwin pun segera merapihkan rambut serta baju yang di kenakan. Bersiap merangkai kata supaya tidak timbul rasa curiga "Sayang, kamu belum tidur?" "Kemana saja kamu, mas? Aku mencarimu kemana mana" Melihat keringat di dahi mas Darwin otak kotorku mulai bergerilya. Di tengah malam begini suamiku keluar tanpa sepengetahuanku di tambah lagi suara pekik ibu Marni barusan membuatku merasa takut. Meski status mereka menantu dan mertua tapi ikatan itu hanya sebatas saja, karena ibu Marni hanya ibu angkatku. Sewaktu waktu dia bisa menjadi musuh dalam selimut. Ku tatap netra mas Darwin. Kenapa mas Darwin berkeringat seperti itu di malam hari? Apakah terjadi sesuatu padanya atau hanya perasaanku saja yang terlalu berlebihan. Mas Darwin duduk di sampingku sembari melingkarkan tangan "Pasti kamu cemas ya mencariku, maaf sayang tadi mas keluar sebentar cari..." Tangan kirinya meraih sesuatu dari saku celana "Tara....cari ini khusus biar malam ini tahan lama" Sebuah alat kontrasepsi pria. "Jadi mas sampai keringetan begitu cuma mau beli ini saja...." Mas Darwin tersenyum lalu perlahan ia mendorong tubuhku sampai kami terbaring di atas ranjang. "Apakah kamu tidak keberatan menghabiskan malam bersamaku, sayang" Mas Darwin begitu pandai membuatku tersipu. Sambil tersipu aku anggukkan kepala. Perlahan mas Darwin mulai membuka pakaianku "Begitu indah ciptaan tuhan ini" Rayunya sembari melancarkan aksi. "Sialan, dia malah main sama Rika" Kesal Marni. Sejak tadi Marni berada di depan pintu sembari mengintip aktivitas di dalam kamar. Dari celah kecil pada pintu kamar membuat Marni melihat jelas pemandangan di dalamnya. "Kalau dia bisa menuntaskan dengan Rika maka aku pun juga bisa" Segera kembali ke kamar lalu menghubungi Dono. Tak berapa lama Dono pun datang. Mereka langsung berpacu dalam kenikmatan. Denyit ranjang Marni kembali terdengar kencang. "Aku sangat mencintaimu, Marni" Baru beberapa menit saja Dono sudah KO. Dia tergeletak di samping Marni. "Ih kok cuma sebentar sih..."Protes Marni. Dono berusaha membuka mata namun tidak bisa. Beberapa waktu lalu Dono dan kawan kawan sedang pesta miras jadi kepalanya masih keliyengan. "Aku capek mau tidur dulu ya, sayang" Dengan suara orang mabuk pada umumnya. Dengan wajah cemberut Marni membelakangi Dono "Dasar pak tua baru lima menit saja sudah tepar....""Marni.........keluar kamu....Marni" Pagi hari selah seorang warga berteriak kencang di depan rumah. Ada gerangan apa sehingga membuat mereka berbondong-bondong datang ke rumah kami dengan cara tidak sopan. "Sayang, kenapa di luar ribut sekali?" Mas Darwin yang baru saja selesai mandi langsung menghampiriku."Entahlah, mas. Ayo kita lihat....." Seketika kami keluar kamar. Mengintip dari celah jendela ruang tamu "Mas, kenapa di luar ada banyak orang (Kami saling melempar pandang) kira-kira ada apa, ya?" Dari balik tirai jendela kami melihat sekumpulan warga berdiri sambil mengacungkan tongkat yang terbuat dari kayu. Mereka nampak begitu anarkis dengan terus berteriak memanggil nama Ibu Marni. Kebanyakan kaum ibu terus meneriaki nama ibu Marni. Entah kesalahan seperti apa yang telah beliau perbuat sampai para warga berkumpul depan rumah dengan menampilkan wajah kesal.Mas Darwin ikut mengintip "Lebih baik kita jangan keluar dulu tunggu sampai mereka pulang""Marni....keluar kamu jang
"Jadi kamu juga mau mengusir ibumu dari rumah ini? Apa kamu tidak mau menjelaskan pada mereka bahwa ibu akan tetap tinggal di rumah ini sesuai pesan terakhir bapakmu? Apa kamu lupa, atau kamu memang ingin ibu keluar dari rumah ini, iya begitu?" ibu Marni menatapku penuh emosi. Matanya seolah tidak terima atas tuntutan warga sekitar. Sejak sidang pagi tadi aku hanya terdiam tanpa bicara sedikit pun padanya. Sungguh, aku pun tidak menyangka begitu tega ibu tiriku merebut suami orang, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Selama ini benar isu di luar sana bahwa ibu tiriku bukan wanita baik-baik. Sudah banyak orang memberitahu padaku akan tabiat buruk bu Marni, tapi sama sekali tidak ku hiraukan. Cinta kasih ku pada beliau begutu tulus dan besar sehingga mataku di buatnya buta, telinga serasa tuli, dan hati seakan mati rasa. Jujur aku begitu bodoh sampai tidak mengenali siapa ibu tiriku sebenarnya. "Seharusnya kamu membela ibu bukan malah diam sepertin patung, ingat ya tanpa aku mungkin k
Tok, tok...."Masuk...." seorang pria berkaca mata melihat seseorang membuka pintu. Menurunkan kaca mata seraya berkata "Pak Darwin? ada hal penting apa sepagi ini menghadap saya?" Dengan wajah di buat seolah merintih kesakitan "Sebelumnya saya minta maaf pak, sepertinya saya tidak dapat mengjar hari ini karena tiba-tiba saja badan terasa tidak enak. Kalau bapak berkenan saya mau minta ijin pulang lebih awal soalnya kepala saya migran, pak." Berharap bapak kepala sekolah percaya dengan aktingnya. Meski bukan hal baru baginya tetapi ijin kepala sekolah sangat di butuhkan.Melepas kaca mata sembari memicingkan mata "Saya lihat akhir-akhir ini pak Darwin kerap minta ijin dengan alasan sakit, apakah itu suatu kebetulan atau ada unsur kesengajaan?" Beberapa hari ini memang Darwin kerap minya ijin dengan alasan sakit. Sekali dua kali tidak menimbulkan kecurigaan, untuk selebihnya timbul rasa curiga.Memijat kepala "Saya tidak berbohong, memang saya pusing, pak. Tapi jika bapak tidak member
Sebulan kemudian...Marni mulai kerap bertemu dengan Darwin di tempat umum. Kali ini Marni meminta Darwin untuk menemaninya belanja di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di tengah kota. Mereka nampak tidak segan memamerkan kedekatan yang terjalin setelah beberapa bulan berpeluh bersama. Entah sihir dan jampi-jampi seperti apa sehingga membuat Darwin begitu bern4fsu pada Marni. Hampir setiap pertemuan pasti akan mereka gunakan peluang dengan sebaik mungkin. Hasrat menggebu memupuk puluhan dosa. Tidak hanya sekali bercInta namun bisa satu, dua hingga, tiga kali dalam sekali pertemuan. Tergantung mood masing-masing. Terkadang badan lelah menjadi faktor utama ej4kulas1 dini. Belum lagi ketika harus memenuhi kewajiban atas istri tentu Darwin butuh banyak waktu memulihkan tenaga. Sepanjang jalan mereka lalui bersama saling bercanda sampai menjurus hal sensitif. Mereka nampak begitu senang. Sering kali membahas adegan ranjang model seperti apa lagi yang akan mereka perankan nantinya, sunggu
"Mas....kamu habis belanja, ya? Sebanyak itu?" Baru saja mas Darwin masuk rumah mataku mulai tertuju pada beberapa paper bag di tangannya. Tidak biasanya suamiku itu belanja sendirian. Bahkan jarang sekali dia mau belanja barang sebanyak itu. Ku letakkan sebuah majalah yang baru tadi aku beli di jalan ketika perjalanan pulang, lalu menghampirinya. Melihat wajah mas Darwin sepertinya dia sedang banyak pikiran.Meletakkan paper bag sembari menghempaskan tubuh "Sebentar lagi adalah hari guru, jadi mas berniat beli kemeja baru untuk di kenakan pas peringatan hari guru nanti. Kamu tau sendiri kan semua muridku begitu totalitas memperingati hari besar guru, jadi mau tidak mau harus tampil sempurna." Ucap Darwin berdalih dari kenyataan."Tapi kok tumben tidak mengajak ku?" Menarik nafas berat "Bukannya kamu selalu sibuk setiap hari? mana ada waktu menemani suami belanja," Mendengar ucapan mas Darwin, aku pun jadi merasa bersalah. Memang ku akui akhir-akhir ini banyak sekali tugas kantor me
"Ini lipstik dan parfum milik siapa, mas?" Ku tatap mata suamiku ketika dia baru saja keluar dari kamar mandi. Tangannya masih memegang handuk setelah keramas. Gerindil air masih membasah sebagain wajah. Hati terasa gusar, bagaimana kalau memang kecurigaanku benar? mungkinkah suamiku ada main dengan ibu tiriku? apakah mungkin suamiku tega menyakiti hati ku? dan masih banyak lagi pertanyaan di dalam hati ini. Darwin melihat lipstik dan parfum milik Marni terbawa olehnya, raut wajah gugup terlihat jelas "Oh itu, jelas untuk kamu, sayang. kalau bukan untukmu lalu untuk siapa lagi...." Dengan santai mas Darwin menjawabku. Namun, dari cara bagaimana reaksinya ada hal anahe di matanya."Untukku? Apa kamu yakin, mas?" Berusaha mengulik kebenaran dari balik matanya. Seketika melihat reaksi mas Darwin yang langsung membuang muka dengan menggaruk kepala jelas dia sedang berbohong. Empat tahun sudah kami menjalin cinta, jadi sekecil apa pun reaksi Mas Darwin dalam mengekspresikan mimik wajah da
Hari ini adalah hari libur. Aku sengaja bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan dan beberes rumah. Tak berapa lama kemudian aku mendengar suara ibu Marni di luar, sepertinya beliau sedang bicara dengan seseorang. Tanpa tunggu lama ku ayunkan kaki menghampiri sumber suara. Mau apa lagi beliau datang mungkinkah masih ingin membuat keributan lagi? sungguh tidak mengerti ada seorang wanita bermuka tebal sepertinya."Ibu...." Ucapku membuat ibu Marni dan mas Darwin menoleh. Tatapanku tertuju pada tangan mas Darwin yang memegang pergelangan tangan ibu tiriku. Seketika Mas Darwin melepaskan tangan beliau lalu berjalan menghampiriku "Begini sayang tadi ibu Marni maksa mau ketemu kamu, terus aku memberi pengertian untuk tidak datang kesini karena warga masih sangat membencinya. Tadi mas hanya ingin ibu kembali pulang, sebelum warga mulai berdatangan kemari...." Ucap Mas Darwin setengah gugup.Ibu Marni menghampiri kami sembari melempar senyum "Benar kata anak mantuku. Memang ibu salah kalau
"Mau kemana bu Marni?" Seorang pengendara motor tiba-tiba saja berhenti tepan di hadapan Marni, ia lalu menggoda Marni yang tengah berdiri di tepi jalan, menunggu ojek online. Pria bertato itu tidak lain adalah Ridho. Dengan menatap Marni dari ujung kepal hingga ujung kaki, siulan si pria jalanan mulai terdengar tish. Pakaian ketat melekat di badan sintal Marni membuat setiap mata melongo. Bodi Marni jauh lebih bagus di banding wanita seusianya "Bolehlah aku mengantar kamu, sayang" bisik Ridho menawarkan diri. Gelagat kurang baik jelas terlihat dari sorot matanya."Baby...." Kembali ia menggoda seraya mencoel dagu Marni.Marni hanya diam seolah tidak melihat Ridho. Perilaku Ridho membuatnya kesal karena Ridho telah membobol dari depan dan belak4ng sampai ia merasa trauma dengannya. Melihatnya saja tubuh sudah gemetaran apa lagi harus melakukan lagi dan lagi. Lain dengan Darwin yang menawarkan kenikmatan sewajarnya juga tidak neko-neko. Ridho adalah pemuda brandalan suka dengan hal men