POV AUTHOR
MASA LALU INA
“Rustina! Oi, Rustina!” Munarwan, alias Wawan, seorang lelaki pemabuk sekaligus preman pasar itu berteriak histeris pada istrinya. Rustina, atau kerap disapa Ina, tergopoh-gopoh berlari dari teras rumah menuju dapur kontrakannya. Rumah kecil itu memang mudah sekali merambatkan suara. Jangankan suara jerit. Sendok jatuh pun bisa terdengar sampai tetangga samping kiri dan kanan.
“Iya, Mas.” Ina terengah-engah. Tubuhnya memang kurang sehat saat itu. Dia terlambat bulan sudah hampir dua bulan lamanya. Kerap pusing serta mual dan banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan. Impitan ekonomi membuat dirinya tak bisa memeriksakan diri ke dokter maupun bidan. Ingin berobat gratis ke puskesmas pun dia tak bisa, sebab bukan orang asli sini serta tak memiliki KTP. Sial memang nasibnya.
&nbs
POV AUTHORPERJUMPAAN “Bu Tami, Ina mohonlah, Bu. Mohon sangat, kasih Ina kerjaan.” Ina memeluk erat tubuh Tami, wanita 40 tahun pemilik rumah makan khas Tegal tempat di mana Ina berjumpa dengan Wawan pertama kali. Di warung yang berada di tepi jalan dekat dengan pasar induk, lokasi Wawan sering melakukan pemalakan kepada pedagang setempat, Ina datang serta memohon agar sang mantan majikan bisa memberinya pekerjaan sementara. Tami yang merasa takut warungnya bakal disatroni Wawan apabila mempekerjakan Ina kembali, langsung membikin alasan. “Aduh, In. Warung lagi sepi. Pegawai juga sudah pas. Maaf, ya. Ibu belum bisa bantu,” ucap Tami berbohong. Padahal, akhir-akhir ini warungnya tengah ramai pembeli. Kebetulan, satu orang karyawannya baru pulang ke kampung halaman. Otomatis Tami kewalahan menghadapi membeludaknya pelanggan. Namu
“Kenapa kamu tertawa begitu? Ada yang lucu memangnya?” desisku tak suka dengan tatapan menantang ke arah Lia. Aku meringsek maju, tetapi Mas Bayu mencoba untuk mencegat. Tanganku dia tahan agar langkah ini tak dapat semakin berayun. “Tentu aku tertawa! Karena kamu gila, Mbak! Penuh halusinasi. Mas Bayu, sudahlah. Bawa saja istrimu ke RSJ, biar dia dapat penanganan khusus!” ucap Lia penuh keangkuhan. Kutatap Mas Bayu tajam. Mataku melotot besar. Kutepis tangannya yang terus saja mencengkeram. Aku pun lalu meneruskan memutar rekaman suara yang sempat ku-pause tadi. Biar suamiku dengar bahwa yang halu itu adiknya, bukan aku! “Kamu dengar, Mas?! Kamu dengar apa kata Mama kalian?” Aku berteriak sekencang-kencangnya. Merasa puas sebab bukti yang kuutarakan kini didengar juga oleh Mas Bayu
POV AUTHORJATUH CINTA Plak! Kepala Ina tiba-tiba digeplak dari belakang. Baru saja dia hendak menghadap tuan besarnya yang lima belas menit lalu tiba dari perjalanan bisnis. Perempuan itu mengaduh, tapi dia sembunyikan emosinya rapat-rapat. Ina menoleh ke belakang. Sosok nakal Bayu yang memukul. Bocah 11 tahun berbadan gempal dengan pipi tembam itu tengah memegang pedang-pedangan plastik. Barang itulah yang dia gunakan untuk memukul si pembantu baru. “Bayu, jangan kurang ajar seperti itu!” pekik Anwar yang baru saja berulang tahun ke-42 bulan lalu. Pria yang menduda satu setengah tahun belakangan tersebut akibat sang istri meninggal dunia sebab kanker payudara, memang kerap dibuat geram oleh tingkah putra semata wayangnya. Kalau tak ingat perjuangan mendapatkan anak harus dengan berobat selama
POV BAYU “Gimana? Kamu pasti nggak mampu, kan?” Lia menatapku dengan tangis air mata sendunya. Gurat luka tersibak jelas di wajah sedih itu. Aku tak kuasa menahan linang. Permintaan istri sekaligus adik sambungku sangat berat. “Satu-satu,” sahutku seraya ikut berbaring di sampingnya seraya menempelkan wajah di pipinya. “Nggak! Aku maunya kamu melakukan dengan cepat! Kalau nggak, baiknya kita cerai!” Lia berontak. Tangan rampingnya sibuk memukuli dadaku yang kemejanya telah koyak sebab tarikan Risti. Aku semakin gamang kala melihat marahnya Lia. Tak betah. Istriku yang selama ini jauh dan hanya bisa kubayangkan dalam mimpi di setiap harinya, pasti sangat merindukan kebahagiaan yang hakiki. Sebag
POV BAYU “Kenapa harus cek napza?!” Aku bertanya dengan nada gusar. Maju mendekati sang dokter demi meminta kejelasan. Dokter itu malah mendelik. Menatap penuh selidik. Sialan. Dia mau jadi detektif? Belagu sekali! “Kenapa?” tanyanya agak mendesis. “Ya, saya suaminya! Saya berhak tahu, kenapa Dokter sampai harus mengambil sampel darah segala. Istri saya bersih. Bukan pemakai obat-obatan terlarang.” Aku menjelaskan dengan berapi-api. Geram sekali dengan lelaki ini pikirku. “Saya tidak menuduhnya memakai obat-obatan terla
POV BAYU “Mbak Tika kalau bercanda paling bisa,” sahutku dengan nada grogi. “Aku tidak bercanda, Mas Bayu. Aku serius.” Bicara Mbak Tika penuh penekanan. Membuat depresiku serasa ingin kambuh. Tidak! Tak akan aku bisa menerima perasaan Mbak Tika. Bagiku dia hanyalah teman curhat. Psikolog profesional yang mampu memberikan konseling terbaik, bahkan menurutku lebih baik dari psikiater yang pernah kutemui di rumah sakit jiwa di kota kelahiranku. “Hehe, Mbak Tika, yang tadi tolong, ya.” Kucoba buat mengalihkan pembicaraan agar tak terus menerus membahas mengenai hal menjijikan tadi. “Iya, Mas. Aku pasti akan
POV RISTI “Kamu akan dirawat di sini, Sayang. Jadi, jangan terlalu merepotkan nakes di sini, ya.” Mas Bayu berucap dengan suaranya yang setengah berbisik. Tatapan mata pria maskulin bertubuh atletis itu membuatku merasa semakin terancam. Hancur lebur hatiku. Belum habis syokku saat terbangun dan tiba-tiba melihat tubuh ini sudah tergeletak di atas tempat tidur rumah sakit, jiwaku kembali dihancurkan lagi dengan suara dokter tinggi tadi yang tampaknya akan membawaku ke ruang rawat inap. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Aku tidak gila! Ini hanya akal-akalan Mas Bayu saja. Pasti ada yang sedang dia rencanakan dan aku belum tahu apa itu sebenarnya. Aku melelehkan air mata. Berontak pun sudah percuma. Kedua tangan dan k
BAGIAN 24POV LIA “Mama! Kenapa Mama bodoh sekali, sih? Bisa-bisanya Mama menjawab pertanyaan si Risti sembarangan! Astaga!” Aku memekik kesal. Menelepon Mama beberapa saat setelah Mas Bayu pergi membawa seonggok daging hidup tak berguna itu menuju RSJ. “Lia sayang, maafkan Mama, Nak.” Suara Mama yang serak-parau seperti orang habis menangis itu membuatku malah bertambah jengkel. Apa-apaan Mama? Mau bersandiwara supaya aku tidak tega memarahinya? Jelas-jelas, karena ulah konyol Mama, hampir saja aku dipermalukan oleh madu tololku tersebut. “Alah! Maaf-maaf! Mama udah bikin aku celaka! Bisa-bisanya Mama ngejawab hal yang ga sinkron. Aku kan, sebelum ke sini udah bilang kalau jamu itu buatan Mam