BAGIAN 28
POV AUTHOR
PERNIKAHAN PETAKA II
“T-tapi, T-tuan ….” Suara Ina tercekat. Bulir air matanya hampir-hampir jatuh membasahi pipi.
“Tapi kenapa?” Anwar bertanya sambil memicingkan mata. Lelaki matang itu lalu bangkit dari duduknya. Langkahnya semakin mendekat ke arah si pengasuh. Tanpa bisa Ina tolak, dua tangan berbulu milik pria berkulit gelap itu lalu hinggap di kedua bahu kurusnya.
“Kamu tidak mau sama aku? Karena aku tua?” tanya Anwar dengan perasaan yang sedikit tersinggung.
Ina menangis.
BAGIAN 29POV ANWARSESAL “Kurang ajar memang perempuan itu! Semakin tua bukannya semakin sadar diri. Selalu saja bertingkah yang tidak-tidak. Emosi aku!” Aku mengomel sepanjang perjalanan dari kamar ke ruang kerjaku yang letaknya hanya bersebelahan saja. Rasa kesal tiba-tiba saja semakin bertumpuk di ujung kepala. Kalau ingat dengan kebodohanku yang puluhan tahun lalu tersihir akan kecantikan Ina, rasanya menyesal luar biasa. Tolol sekali aku yang dulu. Bisa-bisanya mau menikahi perempuan tersebut hanya karena melihat casing luarnya saja. Kupikir, sikap menenangkannya itu awet sampai tua. Eh, lama kelamaan, sifat aslinya keluar juga. Kurang ajar! Aku membuka pintu ruang kerjaku dengan kasar dan membantingnya kencang-kencang. Sekarang, beban pikiranku jadi bertambah lagi. Tak hanya memiki
BAGIAN 30POV RISTI “Kamu orangnya terlalu panikan. Dengan menunjukkan sikap yang begitu, akan membuat orang-orang semakin yakin bahwa kamu memiliki gangguan mental,” ucapan dokter Savero terdengar lirih sekaligus dingin. Embusan napasnya yang terasa hangat di pipiku, sontak membuatku semakin gemetar. Kuberanikan diri untuk membuka mata. Kulihat, sebelah tangannya tengan membekap mulutku, lalu yang sebelahnya lagi memegang pipiku. Jadi, yang lembab dan sejuk itu adalah telapaknya? Aku mengangguk pelan dengan mata yang berkaca. Lelaki itu lalu melepaskan tangannya dari bibir dan pipiku. Dia kembali duduk dan menatapku dengan datar. Sementara aku, masih ketakutan luar biasa. “Jadi, kamu benar-
BAGIAN 31POV ANWARGILA “Apa? Ulangi kata-katamu! Kupingku tidak salah dengar?!” tanyaku ngotot. Hampir copot rasanya kedua bola matku saking melotot. Apa anaknya si Ina sudah gila? “Bercanda. Aku hanya bergurau. Kenapa Papa terlalu serius?” Jawaban Lia membuatku meradang. Apa dia pikir, lucu bercanda seperti itu? “Lucu bercandamu?” Aku masih juga belum bisa menghilangkan kesal. Bagiku, sekecil apa pun kesalahan Lia, akan menjadi sebuah bara yang mudah meledak dalam waktu singkat. Entah mengapa. Mungkin, sebab sejak dia lahir, aku tak merasakan sedikit pun ikatan cinta antara bapak pada anaknya. Bagiku semua hambar bila tentangnya. Sekuat apa pun aku berusaha untuk
BAGIAN 32POV RISTI “Bagaimana? Kamu tidak jadi ingin kubantu keluar dari sini?” tanya dokter Savero dengan suaranya yang berubah angkuh lagi. Cepat aku menggelengkan kepala. Perlahan kubuka mata dan kutatap dirinya yang sedang duduk sambil menatapku dingin. Aku pun langsung berkata, “Tidak. Aku tetap ingin keluar dari sini.” Dokter itu tersenyum. Dia lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Lekas dia menempelkan ponsel tersebut ke telinga dan berujar, “Mbak Nia, dinas nggak?” Suara dokter Savero berubah manis kembali. Aku heran bukan main dibuatnya. Dokter ini mudah sekali b
BAGIAN 33POV RISTIMENCEKAM “Harus berapa kali kukatakan bahwa aku tidak ragu?” tanyaku dengan nada yang agak jengkel. “Begitu? Tapi matamu tidak bisa berbohong padaku.” Dokter Savero menjawab dengan agak tajam. Pria itu lalu menyendoki nasi dan bersama sedikit sayur oseng. Dia lalu menyodorkan ke depan mulutku. “Jangan sok tahu menilai mataku, Dokter. Mataku memang begini. Bohong atau tidak, memang seperti ini,” sahutku benar-benar malas. Dokter itu meringis. Dia terli
BAGIAN 34POV ANWAR Berulang kali Risti kuhubungi, hasilnya tetap saja. Nihil! Kecemasanku kini semakin meningkat. Entah mengapa, rasa curigaku kepada Lia dan Ina kini bertambah-tambah. Adakah sesuatu yang sedang mereka rancang di belakang? Namun, apa itu? Mereka ingin melengserkan Risti dari kehidupan Bayu? “Tidak bisa kubiarkan!” desisku geram seraya meremas ponsel di genggaman. Debaran di dada beriringan dengan rasa naik pitam yang kini mendesak di kepala. Semakin kusadari, bahwa Ina ternyata bukanlah wanita baik-baik seperti dugaanku puluhan tahun lalu. Di balik sikap lembut dan baiknya, perempuan itu menyimp
BAGIAN 35 “Ugh ….” Bibirku refleks mengerang. Kedua mata ini akhirnya bisa juga kupaksakan untuk membuka perlahan. Entah sudah berapa lama aku terlelap tidur. Yang pasti, kepalaku terasa sangat berat. Aku makin kaget saat mataku kini membuka sempurna. Keadaan sekitarku gelap. Hanya ada pendar-pendar cahaya di atas langit-langit sana. Berasal dari kilau stiker glow in the dark yang ditempel secara menyebar. Stiker itu berbentuk bintang-bintang dan bulan sabit. Aku rasanya seperti berada di ruang angkasa. Aku terkesiap. Panik luar biasa. Di mana ini? Belum sempat pertanyaan di kepalaku terjawab, telinga ini tiba-tiba saja menangkap suara dengkuran yang nyaring dari sisi kanan. Tengkukku langsung merinding hebat.
BAGIAN 36POV ANWAR Lekas kuletakkan kembali piring berisi nasi beserta lauk pauknya ke atas meja. Gegas aku bangkit dari kursi, lalu berjalan cepat menuju ruang kerjaku kembali. Tidak bisa dibiarkan, pikirku. Ini adalah kesempatan terakhir. Masa-masa di mana aku harus bertindak tegas. Mengambil sebuah keputusan tepat, meskipun mungkin kelihatannya sangat kejam sekaligus terburu-buru. Seorang penjahat, apalagi pembunuh tidak boleh diberikan kesempatan, meski hanya sekali. Mereka pantas buat mendapatkan ganjaran. Okelah jika sasarannya aku. Namun, coba kalau orang lain yang lugu dan polos? Nasi opor berisi sianida itu pasti sudah membuat si korban mati seketika pada suapan pertama. Bedebah memang Rustina! Perempuan itu, ter