BAGIAN 70
POV RISTI
Sementara Mas Bayu dibawa oleh pihak kepolisian menuju sel tahanan, aku diajak Papa untuk makan sambil beristirahat sejenak di sebuah restoran masakan khas Jawa. Papa juga mengajak serta tiga orang anak buahnya yang lain. Ada Mas Dedi, Mas Andang, dan Om Budiman. Mereka bertiga makan di meja lain. Meja paling belakang dekat aquarium besar berisi seekor ikan arwana berwarna merah keperakan.
Aku dan Papa memilih meja tengah. Duduk saling berhadap-hadapan. Beliau memesan semangkuk rawon dan sepiring nasi putih panas plus es the manis. Sedangkan aku makan hidangan nasi pecel lengkap dengan peyek teri dan teh manis panas.
Kami berdua makan dengan lahapnya. Papa menawariku untuk menambah. Tak ku
BAGIAN 71POV RISTI “Menurutmu begitu?” tanya Papa sambil menatapku dalam-dalam. Aku mengangguk. Akal sehatku seketika bekerja maksimal. Bayangkan saja. Mas Bayu sudah merasakan tekanan yang dalam selama berpuluh tahun. Bercerai karena diguna-guna, lalu depresi, dan kemudian jatuh cinta dengan orang yang salah sebab ilmu hitam juga. Lalu, tiba-tiba cintanya dikhianati oleh perempuan yang paling dia dambakan. Meskipun rencananya kepadaku sangat jahat dan tak manusiawi, kusadari betul bahwa semua bisa terjadi sebab di bawah kendali ilmu sihir yang mengerikan. Di sini, Mas Bayu hanya pion yang digerakkan sesuka hati si pemain. Perih getir yang dia rasakan menumpuk terlalu lama, tanpa pernah dia sadari sebenarnya.
BAGIAN 72POV RISTIDua bulan kemudian …. “Mas, ini akte cerai kita.” Aku mengulurkan sebuah map berwarna kuning ke arah Mas Bayu lewat celah jeruji pembatas. Pria yang duduk di hadapanku dengan muka datar itu menerima berkas berisi akte cerai untuk si tergugat. Ya, aku telah menggugat cerai Mas Bayu tepat seminggu setelah kejadian pembunuhan Lia. Papa yang mendukungku secara penuh. Kedua orangtua yang kini tinggal bersamaku di rumah milik Mas Bayu pun juga ikut memberikan suppot terbesarnya agar aku berpisah dari pria yang didiagnosa menderita ganggaun bipolar tersebut. “Makasih,” ucapnya. Mas Bayu yang kini berkepala plontos dengan tubuh agak kurusan itu menatap nanar ke arah map yang dia pegang erat-erat. Tatapannya benar
BAGIAN 73POV RISTI “Mas, maafin aku lama,” kataku sungkan seraya duduk ke kursi penumpang. Kututup pintu mobil Mas Savero hati-hati. “Eh, kamu udah datang?” Pria yang mengenakan kemeja lengan panjang biru itu buru-buru melepaskan earphone nirkabelnya. Kulihat Mas Savero gegas mematikan musik di ponsel, lalu melemparkan pandang ke arahku. “Iya. Maaf ya bikin lama nunggu,” ucapku lagi. “Santai. Nggak apa-apa. Gimana kondisi Bayu?” Mas Savero yang memotong rambutnya menjadi model french crop
BAGIAN 74POV ANWAR “Lia sayang, lapar ya, Nak? Mau nenen ya, Sayang? Sebentar ya, Nak. Mama bikinkan Lia susu dulu. Hihi!” Kutatap sendu sosok wanita dengan rambut panjang sebahu yang kusut masai itu tengah duduk di sudut ruangan sambil menggendong boneka. Boneka berbentuk bayi dengan rambut botak itu tak pernah dia lepaskan barang sedetik pun. Dia peluk. Dia cium. Seolah-olah dirinya kembali memiliki bayi kecil lagi. “Begitulah kondisinya, Pak Anwar. Sangat memprihatinkan.” Psikiater di sebelahku berucap. Kami berdua yang baru saja tiba lima menit lalu di depan ruang isolasi RSJ Telaga Biru, sama-sama memperhatik
BAGIAN 75POV SAVERO Tok tok tok! Aku mengetuk pintu ruangan direktur sebanyak tiga kali. Setelah mendengar seruan untuk masuk, barulah aku memberanikan diri untuk membuka kenop. Ya, Ayah telah memanggilku. Pria itu menelepon ke saluran IGD. Menyuruhku menghadap ke ruangannya untuk membicarakan sesuatu. Aku benci bila dia memanggilku. Awas saja kalau yang akan dia bahas adalah masalah pribadi. “Selamat siang,” ucapku menyapa Ayah. Pria yang mengenakan seragam putih dengan atribut dan lencana di bahunya tersebut mendongak. Dia me
BAGIAN 76POV SAVERO “Titi, itu siapa?” tanyaku pada Risti ketika dia datang lagi seusai mengantar teman prianya. “Teman sekolahku dulu, Mas. Sama-sama perantau. Dia pesan kue ulang tahun.” “Sudah punya pacar dia?” Aku menginterogasi Risti. Perempuan itu mendadak kaget saat kutanyai demikian. “Nggak tahu, ya. Aku nggak tanya, tuh,” sahutnya acuh tak acuh. Perempuan yang menata rambutnya menjadi ikal gantung dan mewarnainya dengan warna cokelat hazle tersebut duduk di kursi kasir miliknya. Dia menatap bawaanku yang kuletakkan di atas meja. 
BAGIAN 77POV RISTI “Ris, kenapa sikapmu begitu, Nduk, pada nak Savero?” Ibu tiba-tiba masuk ke kamarku. Beliau naik ke atas ranjang, kemudian mulai mendekati aku yang duduk meringkuk sambil memeluk lutut. Aku membisu. Melamun dengan tatapan kosong dan hati yang beku. Terasa begitu terhina tatkala membaca pesan dari dokter Harie, ayahnya Mas Sav, semalam. [Tolong jauhi anak saya. Sadarilah kalau kalian itu tidak sederajat dan tidak serasi sama sekali.] Begitu isi pesan teks yang dia kirim melalui WhatsApp. Aku marah. Murka. Merasa terkoyak harga diriku. 
BAGIAN 78POV BAYU Sel tahanan kini telah menjadi tempat ternyamanku. Bergabung dengan kawan-kawan tahanan yang kasusnya masih terus bergulir di persidangan, ternyata tak seburuk bayanganku semula. Ada sembilan orang kawanku yang sama-sama mendiami sel nomor 13. Kami bersepuluh mendiami ruangan 4 x 4 meter yang sebenarnya tak begitu luas, tetapi cukuplah untuk sekadar melepas penat. Kegiatan di sini cukup terorganisir. Kami bangun pagi-pagi untuk ibadah sesuai kepercayaan masing-masing. Dilanjutkan olahraga, kemudian bersih-bersih lapangan maupun sel tahanan. Usai keringat terkuras, barulah kami diberikan sarapan. Menunya sederhana saja. Hanya nasi putih, sayur, dan sepotong tempe. Siang nanti menunya juga masih serupa dengan jumlah lauk yang terkadang tak cukup untuk seluruh tahanan. Aku sama sekali tak ma