BAGIAN 84
POV RISTI
MENUJU ENDING
“U-udahlah, Mas. Nggak usah bahas yang—”
“Ti … aku serius. Aku hanya pengen tahu dari mulut kamu, Ti. Apakah kamu akan tetap bertahan denganku saat kamu tahu keburukan dari masa laluku, atau kamu malah meninggalkanku nantinya. Aku mohon jawab pertanyaanku.” Mas Sav meminta dari seberang sana. Suaranya masih saja sengau sebab tangis yang menyeru. Aku pun ikut menangis di sini. Perih hatiku mendengarkan guguannya yang pilu. Padahal, aku tak tahu maksud pembicaraan Mas Sav dan sebenarnya aku juga tak ingin tahu secara gambalng apa yang sebenarnya menjadi masalah lelaki ini. Aku hanya … takut menerima kenyataan.
Kutarik napas sedalam mungkin. Kuusap perlahan air mata dan kusingkirkan segala ragu di dada. Tak ada manus
POV RISTISetahun berlalu …. “Saya terima nikahnya Sartika Nastitis binti Ridwan Syaifudin dengan mas kawin seperangkat alat salat dan sebentuk cincin emas dua gram, dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Aku menatap dengan mata berkaca ke arah sepasang insan yang baru saja melakukan akad nikah di dalam ruangan mushala lapas Pondok Aren. Tangan Mas Sav yang duduk di sebelah pun tiba-tiba hinggap dan meremas lembut jemariku. “Alhamdulillah, mereka akhirnya menyusul kita, Sayang,” bisik Mas Sav. Aku menoleh ke arah suam
BAGIAN 86 POV AUTHOR OBAT UNTUK INA Hampir dua tahun pasca kematian Lia “Mbakyu … Mas Wito ….” Ina memanggil kakaknya, Rusmina. Hampir dua tahun dia mendekam di dalam RSJ. Bergabung bersama pasien-pasien gangguan jiwa lainnya dalam keadaan hampa. Siang ini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ina merasakan ada yang lain dengan tubuh dan jiwanya. Ina serasa telah dilahirkan kembali. Dia bahkan bisa mengingat jelas tentang sosok di hadapannya. “Ina!” Rusmina yang telah bolak-balik hampir setiap bulan untuk mengirimkan air berisi jampi-jampi sebagai obat mental sang adik itu pun penuh semangat. Dilihatnya Ina telah berbicara dengan normal. Apalagi pandangan di kedua mata perempuan itu. Lebih bersinar dari biasanya. “Mbakyu,” lirih Ina lagi. Perempuan yang semakin kurus dan berkulit pucat itu perlahan turun dari ranjangnya. Dia berpijak di atas ubin dengan telanjang kaki. Mendatangi sang kakak yang kini bangkit dari kursinya.
BAGIAN 87POV AUTHORMEMOHON Dengan penuh canggung di hati dan perasaan takut ditolak, Suwito beserta sang istri—Rusmina, membawa adik mereka menuju kediaman mewah Anwar yang kini tak lagi sepi. Anwar sudah tidak lagi mendudak. Tidak lagi bersedih maupun berduka cita. Dia telah menjadi sosok paling berbahagia di muka bumi ini pasca pernikahannya dengan Nami terlaksana enam bulan yang lalu. Suwito dan Rusmina bukannya tak tahu jika sang mantan ipar menikah kembali. Begitu juga dengan Ina. Dia memang dulunya gila. Jiwanya terganggu. Namun, kehadiran Anwar bersama Nami yang cantik alami dan menawan itu telah membuat Ina sadar jika mantan suaminya telah menemukan tambatan hati baru. Bagaimana Ina tak semakin terguncang saat itu? Dia kecewa berat. Depresinya semakin menggila. Untung saja, Suwito dan
BAGIAN 88POV AUTHORIKHLAS “Iya, Bos. Dia datang bersama kakak dan iparnya.” Anwar langsung bangkit dari sofa. Istrinya yang bernama Nami dan telah memutuskan resign sebagai seorang PNS itu buru-buru mendekat sambil membawakan nampan dengan secangkir the di atasnya. Nami kaget mendengar jeritan sang suami yang cukup keras tersebut. “Mas, ada apa?” tanya Nami sambil mempercepat langkah. Wanita berkulit putih dengan tubuh langsing dan perawakan yang cukup tinggi itu segera menaruh cangkir di atas meja. Dia ikut berdiri dan menatap Anwar dengan penuh tanda tanya besar. Tampak oleh Nami wajah suaminya
BAGIAN 89POV NAMI Terang, aku sangat kaget mendengar ucapan Mas Anwar barusan. Nama Ina sontak membuat napasku tercekat sesaat. Ada apa gerangan dengan perempuan gila itu? Bukankah … dia masih mendekam di RSJ sekarang? “Kenapa Ina, Mas?” tanyaku dengan perasaan was-was. Aku bukannya merasa cemburu pada perempuan tak waras itu. Hanya saja, batinku tak bisa lega setiap mendengar namanya digaungkan. Kami memang tak mengenal baik, tapi dari cerita suamiku dan orang terdekatnya saja, aku sudah bisa memutuskan bahwa aku tak akan menyukai Ina. “Dia … sudah sembuh dari sakitnya. Dia baru saja keluar dari RSJ pagi
BAGIAN 90POV NAMI “Maaf, Nyonya. Kedatanganku benar-benar bukan untuk mengganggu rumah tangga kalian. Hanya saja … kami tidak tahu harus ke mana lagi di kota ini. Hanya Tuan Anwarlah satu-satunya yang saya kenal dekat di sini.” Ina terlihat menunduk. Sementara tangannya masih terjulur ke arahku. Aku yang semula sempat membeku, langsung menjabat tangannya. Tangan itu terasa sejuk dan berkeringat. Ketika kusalami, Ina sontak mendongak dan memperhatikan wajahku dengan kaca-kaca di bola matanya. Tentu aku tak tega melihat Ina seperti itu. Bagaimanapun dia ini tetaplah manusia. Lihat saja sandal yang dia kenakan. Hanya sepasang sandal jepit biasa yang sering kugunakan untuk pergi ke kamar mandi
BAGIAN 91POV NAMI “Ah, udahlah, Rah. Kita lihat saja nanti. Toh, aku ini bukan orang bodoh yang mudah ditipu. Insyaallah, si Ina itu kalau macam-macam bakal segera ketahuan sama aku.” Aku menguatkan diri. Bersikukuh pada pendirian bahwa aku ini bukan wanita yang asal percaya saja sama orang. Apalagi mantan pelaku kriminal dan penyintan gangguan jiwa. Bukankah gelagat aneh dari Ina nantinya bakal mudah buat terendus? “Ya, sudah kalau gitu, Nyah. Semoga itu orangnya emang udah tobat,” ucap Rahima mengalah. “Amin. Ya, udah. Ayo bantu aku ke depan.” Aku langsung mengangkat nampan. Mengajak Rahima gegas mengantarkan minuman dan camilan ke depan. Pembantuku itu menurut. Tanpa ba
BAGIAN 92POV NAMI “Nami, tolong panggilkan dokter Indra ke sini. Sekalian Rahima suruh beli bubur ayam di warungnya Kardi. Oh, ya. Sepertinya stok buah di kulkas perlu ditambah. Ina perlu makanan bergizi selama pemulihan sakit ini.” Mas Anwar berkata kepadaku di ambang pintu kamar tamu yang letaknya bersebelahan dengan kamar milik Rahima yang tak jauh kberadaannya dari ruang tengah. Aku menghela napas. Berusaha untuk tetap tersenyum meskipun sebenarnya hatiku mulai rikuh. Mas Anwar, seakan menspesialkan Ina. Namun, sudahlah. Aku harus mengalah. Toh, suamiku adalah milik sahku. Ina hanyalah mantan. Mungkin itu mindset yang harus kupertahankan di dalam pikiran.