Suara Maya yang menggelegar mengundang atensi para pengunjung yang ada di dalam showroom tersebut. Haris kelabakan saat melihat kakaknya membuat keributan di tempatnya.
"Mbak Maya, jangan bikin ribut disini, Mbak!" tegur Haris yang merasa tak enak dengan para pengunjung.Maya menyentak tangan Haris yang berusaha menenangkannya. Ia menatap Haris dan Salma bergantian. Salma sendiri masih terdiam. Bingung harus menanggapi Maya seperti apa."Kamu mau bela dia, Ris? Kamu mau bela orang yang mau manfaatin mama?""Gak ada yang mau belas siapapun, Mbak. Aku cuma gak mau Mbak Maya dilihatin banyak orang kaya gini. Malu, mbak!"Maya baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Setelahnya, ia menatap bengis ke arah Salma."Kamu, ayo ikut aku masuk ke ruangan Haris. Ada yang ingin aku bicarakan!" tukas Maya seraya meninggalkan Salma dan Haris yang masih mematung di tempat."Maya?" Maya menghentikan langkahnya saat Rega yang memang mengenaSalma memutuskan untuk pulang dan menunda menjual mobilnya. Suasana hatinya sedang tak baik. Rega yang merasa khawatir akhirnya memaksa Salma untuk ikut bersama mobilnya. Ia menyuruh sopir pribadi sang mama untuk mengambil mobil Salma dan mengantarnya ke rumah Salma."Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Rega lagi saat melihat Salma tengah memijat pelipisnya."Gak apa-apa, Mas," jawab Salma datar. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.Tak sampai seperempat jam, mobil Rega sudah memasuki area pekarangan rumah Salma. Salma buru-buru membuka pintu. Begitu pula dengan Rega yang buru-buru keluar karena ingin membukakan pintu untuk Salma."Salma!" pekik Rega saat Salma nyaris ambruk ketika turun dari mobil.Kesadarannya masih ada dan Rega hanya memapahnya menuju ke dalam rumah. Rega mendudukkan Salma pada sofa panjang di ruang tamunya."Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan dulu di mobil.Salma hanya mengangguk. Kepalanya tiba-tiba p
Aku terbangun dengan pening yang luar biasa. Entah, aku tertidur dari jam berapa. Seingatku, selesai makan malam tadi aku langsung ke kamar dan tak ku ingat lagi aktivitas apa yang ku lakukan.Ku lirik jam dinding yang terpasang pada tembok sisi kiriku, masih jam satu tengah malam rupanya. Tanganku meraba samping kananku, tak ku rasakan apapun disana. Benar saja, saat kepala ini menoleh, memang tidak ada mas Amar yang selalu tidur di sebelahku itu.Kaki jenjang ku menyentuh lantai keramik, mencari-cari dimana sandal tidur yang pasti selalu ku taruh di bawah ranjang. Setelah menemukannya, aku beranjak pergi ke dapur. Kerongkonganku terasa sangat kering, air minum yang selalu tersedia di dalam kamar ternyata sudah habis.KrieeetKrieeetKrieeetSeperti tak asing dengan bunyi itu. Mirip seperti bunyi saat aku dan mas Amar sedang bertempur di malam hari. Tapi, suara dari mana itu? Tidak mungkin dari rumh tetangga yang berja
"Assalamualaikum, Bu, Salma pulang.""Waalaikumsalam," jawab ibu yang masih belum kelihatan wujudnya. Sepertinya ibu sedang ada di belakang."Salma, kok, kesini gak bilang-bilang dulu."Tanpa menjawab ucapannya, aku langsung menubruk tubuh ibu. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan wanita paruh baya itu. Tangan ibu terasa membelai punggungku."Kamu pulang-pulang, kok, nangis? Mana lagi si Amar? Ayu juga gak ikut?"Mendengar nama mereka, tangisku semakin pecah. Cukup lama aku menangis, mungkin sekitar lima belas menit hingga kakiku rasanya pegal dan mungkin ibu juga merasakan hal yang sama. Ia memapahku untuk duduk di atas sofa."Cerita dulu, kamu itu kenapa? Datang-datang nangis, Ibu, kan nggak ngerti .""Bu, Ayu dan mas Amar, Bu,"Aku masih belum bisa melanjutkan kalimatku. Rasanya entah kenapa semakin bertambah sakit. Di depan mas Amar aku bisa mengendalikan diri agar tidak menangis. Tapi disini, aku
"Aku gak mau tahu ya, Mas. Kalau Mbak Salma beneran hamil, kamu harua tetep nikahin aku dan jangan sampai perhatian kamu ke aku berkurang."Tespek dalam genggaman ku remas hingga sedikit lecek karena tespek yang bidan Siska berikan padaku tadi tipe tespek yang kecil dan bukan tespek digital dengan bahan yang kuat.Ayu benar-benar keterlaluan. Sudah seberapa jauh hubungan mereka hingga sepertinya Ayu sangat lengket pada suamiku. Kedua manusia itu terdiam saat aku kembali dari kamar mandi dan memberikan hasil tes itu kepada bidan Siska."Ini, Bu. Garis dua," ucapku datar. Entah kenapa, aku tidak merasa bahagia sama sekali. Mungkin sedikit, ya, sangat sedikit hingga tak bisa ku gambarkan dalam wajahku.Padahal, momen ini adalah yang paling ku nanti selama lima tahun pernihakan dengan mas Amar. Tapi, kenyataan pahit itu membuat kabar bahagia ini kehilangan rasa. Hambar dan aki cenderung tak menyambutnya dengan rasa suka."Alhamdulillah,
Salma sampai di rumah setelah menyetir mobil sendirian dengan menahan pusing di kepala. Untung saja jalanan kampung cukup lenggang dan ia bisa sampai di rumah dengan selama."Lho, Salma, kok sendirian? Mana Ayu dan Amar?"Bukannya bertanya tentang keadaan Salma yang baru saja pingsan, bu Asih justru mencari keberadaan sang anak bungsu. Hal itu tentu membuat Salma merasa kesal."Aku suruh jalan kaki," jawab Salma seraya berjalan menuju kamarnya. Ia ingin segera beristirahat di kasurnya.Namun, langkah Salma terhenti saat bu Asih menahan lengannya. Wajah wanita tua itu tampak mengerut tidak suka."Kamu tega biarin adik kamu yang lagi hamil jalan kaki? Dimana hati nuranimu, Salma?""Ibu tanya hati nurani Salma? Lalu, dimana hatu nurani Ibu dan Ayus sampai kalian bisa mengkhianati Salma seperti ini?"PLAKTangan bu Asih berhasil mendarat dengab sempurna di pipi Salma. Tamparan yang cukup keras hingga kepalanya menol
KlaimTak lama setelah itu, Ayu juga keluar dari kamar dengan mengenakan handuk yang membungkus rambutnya. Benar dugaan Salma, adik dan suaminya pasti semalam melakukan hubungan gelap itu lagi."Dasar, manusia-manusia tidak tahu malu," ucap Salma yang terdengar oleh rungu Ayu. Ayu yang merasa disindir pun tak terima."Apa maksudnya Mbak Salma ngomong kaya gitu?""Apa lagi? Kan, memang faktanya begitu. Mas Amar itu masih sah menjadi suamiku dan belum sah menjadi suami kamu. Tapi, kalian sudah melakukan hubungan suami-istri sesuka hati kalian. Apa kamu merasa dosa kamu itu gak ada, jadi kamu ngebet ngumpulin dosa dengan melakukan zina?"Ayu mendelik mendengar kalimat panjang Salma. Ia berniat menghampiri Salma untuk memberi pelajaran pada wanita itu. Tapi, Amar dengan sigap menahan tubuh Ayu."Sudahlah, Yu. Kan, memang itu faktanya. Kita belum nikah, tapi, kamu memang suka ngegoda, sih."Ama
Nama Mely dipanggil lebih dulu untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan, meninggalkan Salma yang masih terngiang-ngiang dengan ucapan Mely barusan."Aku sering gak sengaja denger, teman-teman kantor itu pada bilang kalau Amar itu penyayang istri karena sering kasih kejutan istri, sering beliin barang ini itu. Sering pula di ajak liburan. Enak banget tahu gak, sih, jadi kamu, Sal."Salma bahlan lupa, kapan terakhir kali suaminya itu memberinya hadiah. Jangankan hadiah, nafkah untuk kebutuhan keluarga saja Amar hampir tidak pernah memberikan.Salma jadi mengingat-ingat kejadian yang memang ia rasa janggal selama ini.Katanya hanya staf biasa, tapi Amar kerap kali ijin pada Salma untuk ikut perjalanan bisnis ke luar kota. Di saat itu pula, Ayu selalu ijin untuk menginap di rumah temannya. Tentu saja, istri yang teman-teman kantor Amar itu kira Salma, padahal sebenarnya, Atu lah yang tengah menikmati hasil kesuksesan Amar."Selamat ya, Bu Salma
Bibir Ayu terus saja mengerucut selama perjalanan. Debu dan asap kendaraan tentu dengan bebas berembus dan mengenai kulit mulus Ayu yang sudah dirawat sejak ia punya uang jajan yang banyak dari Salma sekaligus Amar."Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Besok Mas harua pake mobil nganternya. Kalau gini, kan, nanti sampe kampus make-up aku berantakan. Rambut juga jadi bau asap, pokoknya aku gak mau!" ucap Ayu dengan sedikit berteriak karena di jalanan tentu saja bising. Itu pun belum tentu Amar bisa mendengarkan suaranya."Hah?!"Betul, kan. Panjang lebar Ayu mengoceh, tapi rupanya tak ada satu pun kata yang bisa didengar dengan baik oleh Amar. Selain karena suara bising, teling lelaki itu juga tertutup helf fullface."Hah heh hah heh. Kaya tukang keong kamu, Mas.""Terong? Kamu ngidam makan terong?""Tahu, ah!" Ayu total merajuk.Sampai di kampus pun, Ayu masih menekuk wajahnya dengan bibir mengerucut. Jika biasanya i