"Mau ngapain lagi sih tuh orang minta ketemu Aya, terus lo izinin?" cerocos Tito dengan nada jengkel. Dafa yang duduk di jok penumpang hanya diam mencoba berpikir. "Woy! kampret. Gue ngomong sama lo!' bentak Tito yang kesal karena diabaikan oleh sahabatnya itu. "Apaan sih. Berisi lo!" sungut Dafa yang tak kalah kesal. "Lah. Kok ngegas, gue nanya lo kacangin.""CK, gue lagi mikir. Gimana caranya Aya ketemu dia? kondisinya aja belum berubah," ucap Dafa nads rendah. "Lo jangan pesimis gini dong, harus semangat. Gue yakin Aya cepat bangun dan sehat lagi, bayi lo juga pasti kuat.""Amin," balas Dafa menunduk. Membuang napas kasar Dafa menyandarkan kepalanya dijok mobil. "Tapi gimana caranya? bawa Aya ketemu Rama." gumam Dafa menaruh ujung jarinya di bibir. "Nah itu dia yang gue pikirin juga dari tadi," ujar Tito setengah jengkel. "Tauah, yang penting sekarang kesehatan Aya. Gue nggak bisa tenang kalau belum lihat Aya buka matanya." Tito hanya mengangguk lalu mempercepat kendaraannya
"Tito." mendengar namanya disebut, membuat pria itu menoleh senyuman diwajah tampannya perlahan memudar. Diganti dengan raut wajah datar, dan marah. "Apa kabar?" sapa seorang perempuan. Tito melengos mengabaikan perempuan itu, ia berjalan cepat kearah Syifa. "Tito, dengerin penjelasan aku dulu. Kumohon aku bisa jelasin semuanya," kata perempuan itu mengikutinya dari belakang. Meraih tangan Syifa, ia ingin membawa gadis itu pergi. "Syifa maaf makan es krimnya lain kali aja, sekarang kita pergi." meskipun dalam keadaan bingung, terlebih perempuan itu terus memohon pada kekasihnya, membuatnya bertanya-tanya. Meskipun dalam keadaan kesal, Tito tetap membukakan pintu melindungi kepala Syifa agar tidak terbentur, melihat bagaimana perhatian Tito kepada gadis itu, membuat raut wajah perempuan tadi begitu sedih, air matanya semakin deras mengalir. "Tito, maafin aku." gumam perempuan itu menangis pilu memandang kepergian pria itu. Didalam mobil, Syifa sesekali melirik Tito, terlihat jela
Hanya ada berdua diruangan itu, membuat Aya gugup, bukan karena apa-apa. Dafa sedari tadi hanya diam memandang kearahnya dengan senyum manis. "Mas, jangan lihatin aku terus," tergur Aya. Dafa semakin melebarkan senyumannya, ia meraih tangan Aya lalu dicium begitu lembut dan lama. "Memang kenapa?" kata Dafa memiringkan kepalanya dengan tangan Aya berada disisi pipinya. "Aku gugup Mas," aku Aya tanpa ragu. Pria itu tergelak sedikit mencubit pipi sang istri. "Aku lagi senang sayang, akhirnya doa aku, supaya kamu cepat sadar dan anak kita baik-baik aja. Didengar sama Allah, aku sangat berharap anak kita bisa bertahan."Aya ikut tersenyum, mengucapkan syukur dalam hatinya. Mengingat kejadian itu hanya membuat jantungnya berdetak cukup kencang, dia ingat saat mata mereka bertemu, ditambah senyum yang diberikan oleh pria, seketika tubuhnya meremang. Bagaimana bisa, orang itu ada disana, dan bagaimana bisa pria itu tau dia tinggal dimana. Padahal ia sudah berharap ketika pindah dia tak
"Daf, gue mau nikahin adik lo." Dafa hampir saja menyemburkan kopi yang sedang ia minum. "Hah?" beo Dafa dengan wajah cengo. "Gue mau nikahin adik lo!" ulang Tito lebih tegas. "Kok tiba-tiba, Jangan-jangan lo_""Ehh_ nggak. Gue nggak ngapain-ngapain adek lo." ralat Tito menggeleng kuat saat tau kemana arah pikiran Dafa. "Terus kenapa lo tiba-tiba ngomong gitu?" ucap Dafa tak santai. Menghela napas berat, Tito menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia binggung harus bicara mulai dari mana. "Woy! di tanyain malah bengong. Maksud lo apa mau nikahin adik gue cepat banget gini, lo tau kan dia masih kuliah," menatap intens Dafa terus meminta penjelasan. "Iya gue tau, tapi gue mau secepatnya aja miliki adik lo." kerutan dikening Dafa kian dalam. "Lo beneran nggak macam-macam sama adik gue kan? kenapa lo mau buru-buru nikahin dia, biarin Syifa fokus sama pendidikannya dulu." menghela napas sejenak Dafa menepuk pundak Tito. "Kalau kalian jodoh, kapan pun kalian nikah pasti juga akan nik
"Nggak apa-apa Mas, cuma bosen nunggu kamu, katanya bentar, kan aku kangen." alibi Aya. Dafa tersenyum manis, matanya pun berkedip beberapa kali tak menyangka kalau Aya bisa mengatakan hal seperti itu. "Ciyee_" godanya lalu memeluk kepala sang istri, membantu wanita itu menyembunyikan wajahnya karena malu. Sedangkan empat pasang mata yang hanya memperhatikan, tersenyum meskipun keduanya tak tau apa arti gerakan tangan Aya tadi. "Kalau gini, aku mau belajar bahasa isyarat ah," kata Syifa tiba-tiba. Semua menoleh kearah gadis itu. "Kenapa memang?" saut Tito yang berdiri tak jauh dari posisi gadis itu berdiri. "Biar paham, dan ngerti Mba Aya ngomong apa. Lagian supaya Mba Aya nggak repot-repot lagi kalau ngobrol sama aku," jawabnya. "Benar, Mas setuju. Biar Mba Aya nggak terlalu tergantungan sama ponsel," menoleh pada istrinya Dafa menepuk puncak kepala sang istri. Melirik jam ditangan kirinya Dafa menegakkan tubuhnya menoleh ke Tito disebelahnya. "To, tolong anter adik gue pulan
Sudah semakin sehat, Aya terus terusan merengek minta pulang kepada suaminya, Dafa sendiri tadinya kasih ingin Aya menginap dirumah sakit sampai kondisi sang istri membaik. Namun karena terus memaksa sampai hampir menangis, akhirnya Dafa memberi izin dan mereka pun hari ini kembali kerumah. "Awas, pelan-pelan." melindungi kepala Ayana agar tidak terbentur pinggiran mobilnya, setelah itu merangkul Aya menuju rumah yang sudah disambut Mbo Darmi. "Assalamu'alaikum," salam Dafa tepat saat ia sudah berdiri dihadapan Mbo Darmi."Wa'alaikumsalam, Selamat datang kembali dirumah Mba Aya." kata Mbo Darmi tersenyum senang. "Mba, saya mau minta maaf. Atas kejadian tempo hari Mba Aya masuk rumah sakit." tertuduk lesu, Mbo Darmi merasa bersalah. "Kalau Mas Dafa mau pecat saya, silahkan Mas. Saya tidak apa-apa, Saya memang salah." sambungnya lagi semakin menundukkan kepalanya. "Mbo jangan gitu, saya nggak nyalahin mbo. Dan saya juga nggak akan mecat Mbo." mendongak Mbo Darmi menatap majikannya
Menarik napas panjang lalu dibuangnya secara pelan, pria itu mulai mengeluarkan suaranya. "Syifa, Maafin Mas."Syifa bergeming, tak ada sautan gadis itu sepertinya masih marah pada Tito. "Fa_" panggil Tito lirih, mencoba meraih tangan gadis itu namun Syifa lebih dulu merubah posisinya. "Mas mau ngapain lagi kesini?" tanya Syifa dengan suara dalam. "Mas mau minta maaf, Mas ngaku salah kemarin. Kamu tau kan, Mas itu orangnya gampang marah." melas Tito penuh mohon. "Jangan disini Mas, malu dilihat orang." sewot Syifa lalu berjalan lebih dulu ke mobil pria itu. Dalam hati Tito bersorak kesenangan lalu berlari menyusul Syifa, lalu membukakan pintu untuk gadisnya. Hati Tito sedang berbunga-bunga, senyum manis yang kian menambah ketampanannya diperlihatkan hari ini, sebab seseorang yang sudah dia rindukan akhirnya sudah mau bertemu dan duduk disampingnya. Meskipun gadis itu masih diam dengan raut wajah kesal, paling tidak dia sudah bisa mengurangi rasa rindunya. "Kita ngobrol sambil
"Hah!" teriak Syifa. "Masa sih Mas," bertanya lagi dengan tatapan seolah tak percaya. "Beneranlah. Masa Mas bohong sih," yakin Dafa membuat Tito kian pasrah. "Ya ampun, Ck kasian ya Mang ucup, kelamaan bujang jadi suka galau." kata Syifa pelan. Kening Tito bertaut menatap kakak adik di hadapannya ini. "Tunggu-tunggu, kalian ceritain siapa sih?" menegakkan tubuhnya kembali, ia merasa bingung dengan pembahasan antara Dafa dan Syifa. "Itu loh, Mas. Mang ucup satpam komplek, dia lagi galau soalnya, sudah beberapa hari ini kucing kesayangannya nggak pulang, padahal kucing itu teman Mang Ucup. Sekarang nggak pulang berasa hidup sendiri, setiap malam telepon Mas Dafa curhat soal kucingnya." jelas Syifa begitu detail menceritakan apa yang Dafa ceritakan tadi. Mendengus pada Dafa, Tito bisa bernapas lega. Antara kesal dan berterima kasih pada sahabatnya itu. Ia pikir Dafa benar-benar ingin memberitahu tentang dirinya yang suka menelpon hanya untuk curhat. "Untung aja." gumam Tito mengu