Part 10"Bu Madina kritis, Dok," jawab Dokter Fani penuh sesal dan sangat iba. "Saya ikut bersedih dan juga turut berduka atas apa yang telah terjadi pada Bu Madina. Anda yang sabar, ya, Dok. Kita doakan agar Bu Madina bisa secepatnya melewati masa kritisnya." "Maafkan Mas, Sayang. Semuanya salah Mas," ucap Malik seraya terisak. Pria itu terlihat sangat hancur."Kami akan memindahkan Bu Madina ke ruangan perawatan. Silakan kalau Dokter Malik ingin melihat dan menggendong putra Dokter terlebih dahulu. Bayi itu sangat tampan seperti Anda, Dok, tapi Allah lebih menyayangi putra Anda, Dok.""Iya, Dok. Terima kasih, Dokter Fani.""Satu lagi, Dok. Akibat benturan kuat saat Bu Madina terjatuh, rahim istri Anda mengalami luka dan kemungkinan akan membutuhkan waktu agak sedikit lama untuk memulihkannya. Jika Bu Madina ingin hamil kembali, minimal harus menunggu waktu selama satu tahunan setelah pasca pemulihan. Karena risiko keguguran di kehamilan Bu Madina berikutnya akan lebih besar dari ke
Part 11Sebelum pergi ke rumah Malik, Jihan memutuskan singgah terlebih dahulu di pemakaman di mana putra dari pria yang sangat dicintainya dikebumikan."Kamu yang tenang di sana, ya, Baby. Tante janji sama kamu, Baby Yazid, setelah ini hanya akan ada senyum bahagia menghiasi wajah tampan ayahmu. Itu janji Tante sama kamu, Baby," ucap Jihan seraya menaburkan kelopak bunga mawar di atas pusara almarhum Muhammad Yazid Ilmany, sesekali dia menghapus cairan bening di sudut matanya. "Tante pergi dulu, ya, Baby. Kapan-kapan Tante akan datang ke sini lagi." Dua puluh menit kemudian, Jihan sudah tiba di rumah Madina. Rumah yang tampak asri, dengan halaman cukup luas dan dilengkapi sebuah taman yang dihiasi berbagai jenis bunga-bunga indah. "Maaf, Ibu sedang cari siapa di sini?" tanya ramah satpam yang berjaga di depan gerbang rumah Madina."Ini benar rumahnya Dokter Malik, kan, Pak?" tanya balik wanita yang pagi ini mengenakan abaya hitam senada dengan pasmina yang menutupi kepalanya."Bena
Part 12"Wa ‘alaikumus-salam. Mbak?" tanya Madina dengan suara lemah. Dia merasa pernah melihat sosok wanita cantik yang sedang berdiri dengan gaya anggun di hadapannya."Saya, Jihan, Mbak. Lebih tepatnya Dokter Jihan, dokter spesialis bedah sama seperti suami Mbak, Mas Malik," jawab Jihan penuh percaya diri. "Saya ikut bersedih atas musibah yang Mbak Madina alami. Mbak yang sabar, ya. Cepat sembuh, Mbak. Semoga nanti Allah kembali memberikan kepercayaan lagi pada Mbak Madina dan juga Mas Malik, menitipkan amanah dari-Nya di dalam rahi—"Dengan cepat Bu Aisyah memotong ucapan wanita muda yang dahulu pernah menjadi tunangan putra tercintanya. Bahkan Bu Aisyah sudah menganggap wanita itu dan menyayangi Jihan seperti selayaknya putri kandungnya sendiri. Namun, dengan tega Jihan memutuskan ikatan pertunangannya dengan sang putra. "Jihan. Yuuk! Lebih baik, kita keluar dulu dari sini. Ada banyak pertanyaan yang mau Umi tanyakan kepada kamu. Kita berikan ruang privasi untuk mereka berdua. B
Part 13"Umii!" Dengan cepat Jihan menangkap tubuh Bu Aisyah ke dalam pelukan."Uminya Malik, kamu kenapa, Sayang?" tanya Pak Ibrahim cemas sembari menenangkan Lydia yang tiba-tiba saja menangis dalam gendongannya."Lho, Nak Jihan? Jadi, tadi kamu yang sedang berlutut di depan uminya Malik?""Iya, Abi," sahut Jihan seraya mendaratkan bokong di kursi yang letaknya tepat di depan ruang perawatan Madina, lalu dengan hati-hati wanita itu membaringkan tubuh Bu Aisyah dan membawa kepala ibunya Malik berbaring di atas pangkuannya. "Sebaiknya, kita panggil dokter saja, Nak Jihan. Abi takut uminya Malik kenapa-napa," ucap Pak Ibrahim panik ketika menatap wajah pucat sang istri."Abi enggak usah khawatir, Bi. Di sini sudah ada saya, Bi. Saya juga seorang dokter, sama seperti Mas Malik. Umi Aisyah baik-baik saja, beliau cuman pingsan biasa. Mungkin beliau syok saat melihat suster dan juga Dokter Fani berlari ke dalam ruang perawatan Mbak Madina. Jadi, Abi enggak usah khawatir atau pun cemas," t
Part 14Tok-tok-tok!!“Non, Non Jihan kenapa? Buka pintunya, Non. Ini Mbok bawakan makan siang untuk Non Jihan, pasti Non belum makan, kan, Nduk?” Di luar kamar, dengan sabar Mbok Yati berulang kali mengetuk-ngetuk pintu kamar Jihan.“Iya, sebentar, Mbok,” sahut Jihan seraya menghela napas panjang, lalu bangun dari pembaringan dan melangkah ke arah pintu. Setelah membuka pintu, Jihan kembali menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.“Ini makanannya, Mbok taro di atas meja kerja kamu, ya, Nduk. Dimakan sekarang aja, Nduk, mumpung lauknya masih hangat, baru matang, lho, Nduk. Mbok sengaja masak lauk kesukaan Non Jihan yaitu ayam kecap pedas,” ujar Mbok Yati lembut dengan menampilkan senyum teduh di bibir sambil menatap Jihan yang tampak sedang tidak dalam keadaan baik.“Saya enggak lapar, Mbok. Saya lagi enggak kepengin apa-apa,” sahut wanita berlesung pipi itu dengan nada malas kepada wanita paruh baya yang sudah menjaga dan membesarkan dirinya.“Harus dipaksain, Nduk. Kalau enggak begit
Part 15"Assalamualaikum ....""Wa ‘alaikumus-salam, Mas." Baru saja Madina akan meraih tangan sang suami, tetapi Malik menolaknya terlebih dulu."Mas belum cuci tangan, Dek. Kan, Mas baru pulang dari perjalanan jauh, takutnya ada kuman yang menempel di sini dan Mas enggak mau kalau kuman itu sampai menempel ke kamu, Sayang. Cukup Mas saja yang suka menempeli kamu, Dek," goda Malik seraya menatap wajah cantik sang istri yang tampak sedang tersipu malu."Tunggu sebentar, Dek. Mas mau cuci tangan dulu.""Iya, Mas," sahut Madina dengan wajah yang tampak masih dihiasi oleh rona kemerahan.Lima menit kemudian, Malik menghampiri sang istri. "Nah, kalau sekarang, tangan Mas sudah bersih, Dek. Kamu bisa memeganginya dan menciumi sepuas kamu, Sayang."Madina langsung meraih tangan sang suami untuk dicium. "Masyaallah, salehahnya istri Mas. Beruntung Mas memilikimu, Sayang." Malik memberi kecupan sayang di kening sang istri, lalu membawa tubuh Madina ke dalam pelukannya. "Mas sangat merindukan
Part 16“Dokter Malik, bagaimana keadaan Bu Madina, Dok?” tanya Dokter Fani yang baru saja keluar dari ruang kerjanya. Kebetulan, dia berpapasan dengan Malik di lorong rumah sakit.Malik yang terlihat kelelahan karena seharian ini banyak pasien yang ditangani, hanya bisa menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan dari wanita yang lumayan akrab dengan istrinya. “Alhamdulillah sehat, Dok. Tapi, dia masih menyimpan trauma bila menyangkut tentang kehamilan. Padahal saya sudah meyakinkan dia, kalau seandainya nanti memang tidak akan pernah ada anak di antara kami, saya tetap akan setia mendampinginya sampai kami menua bersama. Toh, kami sudah mempunyai Akbar dan Lydia. Saya sudah menganggap anak-anak sambung saya seperti anak kandung saya sendiri, tapi Madina tetap kekeh dengan pendiriannya,” sahut Malik seraya menghela napas panjang. “Semenjak meninggalnya putra pertama kami dan tiga kali mengalami keguguran, sekarang sifat istri saya sudah banyak berubah, Dok.”“Sabar, Dokter Ma
Part 17“Maaf, Mas,” ujar Madina merasa bersalah kala mendengar suaminya meringis kesakitan. “Aku cuman mau mengucapkan selamat kepada Mas, kalau kita sebentar lagi akan ... mempunyai anak.""Syukur alhamdulillah. Akhirnya, Allah mengabulkan keinginan dan harapan kamu, Dek," sahut Malik terdengar biasa saja, tidak seperti sang istri yang terlihat sangat bahagia. Madina mengurai pelukan dari tubuh tegap sang suami, lalu dia menatap kecewa pada pria yang sangat dicintainya. "Mas, sepertinya kamu enggak bahagia mendengar kabar baik ini. Kenapa, Mas?"Malik tampak menarik napas dalam, lalu mengembuskan secara perlahan. Kemudian, dia membingkai lembut wajah ayu sang istri dan memberi kecupan sayang di kening wanitanya. "Mas bahagia, Sayang. Tapi, Mas akan jauh lebih bahagia kalau anak kita lahir dari rahim kamu, Dek.""Tapi, yang aku lihat malah sebaliknya. Tidak ada raut bahagia terpancar di wajah tampanmu ini, Mas, atas anugerah berkah dari-Nya yang menghadirkan calon anak kita yang se