Daniel tertawa sebagai ungkapan rasa tak percaya. Banyak kaum perempuan menemani pasangannya di sana, tapi hanya duduk sambil scroll layar ponsel. Mengawasi suami supaya tidak melirik perempuan-perempuan penggila fitness yang seksi."Posesif juga kamu, Ris? Apa yang kamu khawatirkan? Mendapatkan istri seperti kamu, rasanya nggak mungkin Aksara macem-macem.""Godaan di mana-mana, Pak. Bahkan di tempat yang tak terduga sekali pun." Marisa ingat ketika Aksara futsal bersama rekan-rekannya hari itu. Yang bersorak kegirangan bukan pasangan mereka, tapi para cewek cantik yang duduk di tribun."Oh ya, hari Rabu depan saya ngambil cuti sehari. Ada urusan keluarga, Pak.""Oke, yang penting kamu sudah mem-follow up pekerjaan yang dilimpahkan Tari ke kamu. Soalnya banyak banget yang harus kita selesaikan untuk akhir tahun ini.""Siap, Pak Daniel. Kalau gitu saya keluar dulu."Daniel mengangguk. Marisa melangkah keluar ruangan.Di meja kerjanya, Ari telah menunggu. Memeluk sahabatnya sambil mengu
"Kamu dijemput sama suamimu ke sini atau kalian janjian di rumah sakit?" tanya Ari pada Marisa yang berkemas-kemas jam dua siang itu. Marisa sudah izin akan pulang lebih cepat karena ingin membesuk Pak Kyai.Sebenarnya tak enak hati, baru juga sehari bekerja dalam posisi barunya, sekarang harus minta pulang lebih awal. Padahal banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan."Mas Aksa akan menjemputku ke sini. Dia sekarang baru keluar dari kantornya.""Hati-hati, Ris. Ustazah itu belum nikah, 'kan?"Marisa menggeleng."Bukan aku nakutin kamu. Cuman ngingetin. Semoga nanti nggak ada drama di hadapan abahnya yang sakit, dia ingin dinikahi suamimu."Deg.Meski ia pun sempat kepikiran sekonyol itu, tapi Marisa tersenyum menanggapi ucapan sahabatnya. "Nggaklah, Ar. Mereka orang-orang bijaksana dan sangat memahami agama. Aku yakin nggak akan ada drama seperti itu.""Aku hanya menyampaikan kekhawatiranku, Ris. Bismillah aja, semoga semua baik-baik saja."Marisa tersenyum getir seraya mengangguk. A
Marisa sering mendoakan agar Hafsah mendapatkan jodoh yang saleh. Jauh lebih baik dari sosok Aksara. Agar luka hatinya bisa terobati dan Marisa tak lagi dihinggapi rasa bersalah. Memang siapa yang bisa menolak perasaan cinta yang merasuki hati. Namun setiap insan diberikan kekuatan untuk mengendalikan. Diberikan naluri untuk memilah mana yang tepat dan mana yang tidak. Mana yang pantas dan mana yang terlarang.Setelah beberapa lama dalam situasi yang serba canggung bagi Marisa, akhirnya Aksara mengajak pamitan. Hafsah mengantarkan hingga ke depan pintu, kemudian kembali masuk dan menutup pintu rapat-rapat."Kita mampir masjid untuk sholat maghrib dulu, sudah azan ini. Setelah itu baru kita pulang," kata Aksara saat mereka melangkah di lorong rumah sakit.Marisa menjawab dengan anggukan kepala.Aksara memilih masjid dekat rumah sakit daripada salat di mushola rumah sakit. Khawatir saja siapa tahu Hafsah juga salat di sana. Laki-laki itu menyadari, meski hampir tiga tahun berlalu, nyata
Jam tujuh pagi anak-anak belum ada yang terbangun. Masih lelap di bawah selimut tebal masing-masing. Sarah kembali menutup pintu perlahan."Masih pada tidur, Bu. Mereka sempat bercanda setelah salat subuh tadi. Kemudian tidur lagi," kata Mbak Narsih yang tengah membawakan dua gelas teh panas untuk Daniel dan Sarah."Makasih ya, Mbak.""Njih."Sarah membawa masuk nampan kecil berisi dua gelas teh dan roti bakar. Diletakkannya di meja samping ranjang. Daniel pun masih berbaring nyaman di sana."Anak-anak sudah bangun, Bun?""Belum."Bunda, Sarah lebih nyaman dengan panggilan itu daripada dipanggil Sayang. "Nanti di dengar anak-anak, Mas. Cukup panggil bunda saja."Hawa dingin membuat mereka malas hendak keluar. Padahal kemarin telah merencanakan untuk jalan-jalan ke Jatim Park 2. Berangkat lebih awal supaya bisa bermain dengan puas.Sambil menunggu mereka bangun, kesempatan untuk Daniel dan Sarah menikmati waktu berdua. Tidak boleh kalah dengan pasangan muda, Aksara dan Marisa. Walaupun
Apa kabar?""Baik, Mas. Mari masuk." Aksara mengajak duduk laki-laki itu di gazebo yang ada di halaman rumah mamanya. Wajah pria yang asing bagi Marisa itu tampak sendu."Oh ya, kenalin. Ini Marisa istriku, yang kecil itu anakku dan yang besar anak Mas Johan." Aksara berkata sambil memandang Marisa dan anak-anak yang duduk tidak jauh dari gazebo. "Kabar Mas Adnan bagaimana? Udah lama kita nggak ketemu. Ada enam tahunan, 'kan?"Adnan mengangguk. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa malu dan gelisah. Terlebih beberapa warga yang lewat memandang ke arahnya. Reaksi kaget dan penasaran ditunjukkan oleh tatapan mereka. Bahkan ada yang sempat berhenti untuk memastikan, apakah yang dilihatnya itu benar Adnan yang pernah tinggal di lingkungan mereka?"Kabarku baik, Sa. Oh ya, Bu Arum mana?" Adnan memandang ke arah pintu rumah."Mama masih ke pasar sama istrinya Mas Johan. Mas Adnan, sekarang tinggal di mana?""Aku di Palembang, Sa."Hening. Laki-laki itu menunduk. Ada kepedihan yang dalam,
"Kamu tahu, Ris. Rasanya aku pengen ngakak mendengar penjelasan laki-laki tadi. Masa iya, enam tahun nggak ada kesempatan sekali saja untuk nengokin anaknya. Jangankan nengokin, telepon saja enggak. Kalau dia nggak tahu nomer Sarah, karena Sarah ganti nomer. Masa iya tidak ada satupun kontak lain yang bisa dihubungi. Kan nggak semua orang yang ia kenal di sini ganti nomer. Lucu dan nggak masuk akal tahu. Dia di sini sepuluh tahun lho, pasti nyimpen salah satu nomer ponsel tetangga." Mahika bicara ketika Marisa duduk bersamanya di teras samping sambil mengawasi anak-anak yang bermain, sore itu.Mahika memandang langit sore yang biru jernih. Menerawang ke atas sana. Tidak ada mendung yang menutupi angkasa. Jujur, ia pernah berada di posisi Adnan. Manusia paling tidak tahu diri."Mbak pernah menjadi Adnan. Malah lebih parah lagi karena aku seorang perempuan yang melahirkan anakku sendiri. Tapi lima tahun aku nggak pernah mencari keberadaan anak yang kulahirkan. Aku pernah sekejam itu, Ri
Ketika menatap lurus, langsung bersitatap dengan Mahika. Wanita dengan mata berkaca-kaca itu lekas menghampiri dan memeluknya erat. Mereka berpelukan dengan tangis bahagia.Beberapa saat kemudian, Johan menghampiri sang adik dan memeluknya. Baru menyalami dan memeluk pengacaranya."Selamat, Jo. Kamu akan mengawali hidup baru lagi. Tetap semangat. Ada istri, anak, dan keluarga yang menunggumu bebas hari ini." "Terima kasih, Pak Eko. Terima kasih banyak." Johan menepuk bahu orang yang sangat berjasa dalam hidupnya."Sama-sama. Kita langsung ke Rumah Makan Ikan Bakar wong Solo. Aku yang akan mentraktir. Aksa, nanti langsung ajak ke sana semuanya, ya!""Iya, Pak."Pak Eko melangkah cepat ke arah mobilnya, begitu juga dengan Aksara, Mahika, dan Johan."Bapak," panggil Ubed girang dan berbinar-binar setelah Johan membuka pintu mobil. Bocah itu langsung bangkit memeluk Johan dengan wajah berbinar-binar. Sebuah kejutan bagi bocah laki-laki itu karena diam-diam sangat merindukan bapaknya. Bah
"Assalamu'alaikum." Ucapan salam laki-laki di depan pintu memecah keseruan mereka."Wa'alaikumsalam."Semua yang ada di ruangan menoleh pada sumber suara. Seorang laki-laki memakai hem warna cokelat gelap berdiri di ambang pintu.Tidak hanya orang di dalam rumah yang tahu siapa Adnan saja yang terkejut, tapi laki-laki itu sendiri juga kaget. Sudah terlanjur basah, walaupun wajah terasa tebal karena malu, dia tetap menyambut uluran tangan Aksara yang pertama kali menyapanya.Johan yang kaget memandang ke arah Sarah. Namun wanita itu terlihat tenang. Tadi Bu Arum sudah sempat cerita ke Sarah mengenai Andan yang datang mencari dirinya dan Fatimah. Perasaannya sudah tawar, bahkan sudah lama. Hanya tiga tahun saja dia meratapi kenapa Adnan tidak mengunjungi Fatimah. Selebihnya dia sudah mati rasa. Tidak pernah berharap sang mantan akan ingat tanggungjawabnya. Saat keluarga Adnan juga tidak peduli, Sarah tak lagi meratapi atau mempermasalahkan. Apalagi sekarang, kehadiran Adnan sudah tak be