Apa kabar?""Baik, Mas. Mari masuk." Aksara mengajak duduk laki-laki itu di gazebo yang ada di halaman rumah mamanya. Wajah pria yang asing bagi Marisa itu tampak sendu."Oh ya, kenalin. Ini Marisa istriku, yang kecil itu anakku dan yang besar anak Mas Johan." Aksara berkata sambil memandang Marisa dan anak-anak yang duduk tidak jauh dari gazebo. "Kabar Mas Adnan bagaimana? Udah lama kita nggak ketemu. Ada enam tahunan, 'kan?"Adnan mengangguk. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa malu dan gelisah. Terlebih beberapa warga yang lewat memandang ke arahnya. Reaksi kaget dan penasaran ditunjukkan oleh tatapan mereka. Bahkan ada yang sempat berhenti untuk memastikan, apakah yang dilihatnya itu benar Adnan yang pernah tinggal di lingkungan mereka?"Kabarku baik, Sa. Oh ya, Bu Arum mana?" Adnan memandang ke arah pintu rumah."Mama masih ke pasar sama istrinya Mas Johan. Mas Adnan, sekarang tinggal di mana?""Aku di Palembang, Sa."Hening. Laki-laki itu menunduk. Ada kepedihan yang dalam,
"Kamu tahu, Ris. Rasanya aku pengen ngakak mendengar penjelasan laki-laki tadi. Masa iya, enam tahun nggak ada kesempatan sekali saja untuk nengokin anaknya. Jangankan nengokin, telepon saja enggak. Kalau dia nggak tahu nomer Sarah, karena Sarah ganti nomer. Masa iya tidak ada satupun kontak lain yang bisa dihubungi. Kan nggak semua orang yang ia kenal di sini ganti nomer. Lucu dan nggak masuk akal tahu. Dia di sini sepuluh tahun lho, pasti nyimpen salah satu nomer ponsel tetangga." Mahika bicara ketika Marisa duduk bersamanya di teras samping sambil mengawasi anak-anak yang bermain, sore itu.Mahika memandang langit sore yang biru jernih. Menerawang ke atas sana. Tidak ada mendung yang menutupi angkasa. Jujur, ia pernah berada di posisi Adnan. Manusia paling tidak tahu diri."Mbak pernah menjadi Adnan. Malah lebih parah lagi karena aku seorang perempuan yang melahirkan anakku sendiri. Tapi lima tahun aku nggak pernah mencari keberadaan anak yang kulahirkan. Aku pernah sekejam itu, Ri
Ketika menatap lurus, langsung bersitatap dengan Mahika. Wanita dengan mata berkaca-kaca itu lekas menghampiri dan memeluknya erat. Mereka berpelukan dengan tangis bahagia.Beberapa saat kemudian, Johan menghampiri sang adik dan memeluknya. Baru menyalami dan memeluk pengacaranya."Selamat, Jo. Kamu akan mengawali hidup baru lagi. Tetap semangat. Ada istri, anak, dan keluarga yang menunggumu bebas hari ini." "Terima kasih, Pak Eko. Terima kasih banyak." Johan menepuk bahu orang yang sangat berjasa dalam hidupnya."Sama-sama. Kita langsung ke Rumah Makan Ikan Bakar wong Solo. Aku yang akan mentraktir. Aksa, nanti langsung ajak ke sana semuanya, ya!""Iya, Pak."Pak Eko melangkah cepat ke arah mobilnya, begitu juga dengan Aksara, Mahika, dan Johan."Bapak," panggil Ubed girang dan berbinar-binar setelah Johan membuka pintu mobil. Bocah itu langsung bangkit memeluk Johan dengan wajah berbinar-binar. Sebuah kejutan bagi bocah laki-laki itu karena diam-diam sangat merindukan bapaknya. Bah
"Assalamu'alaikum." Ucapan salam laki-laki di depan pintu memecah keseruan mereka."Wa'alaikumsalam."Semua yang ada di ruangan menoleh pada sumber suara. Seorang laki-laki memakai hem warna cokelat gelap berdiri di ambang pintu.Tidak hanya orang di dalam rumah yang tahu siapa Adnan saja yang terkejut, tapi laki-laki itu sendiri juga kaget. Sudah terlanjur basah, walaupun wajah terasa tebal karena malu, dia tetap menyambut uluran tangan Aksara yang pertama kali menyapanya.Johan yang kaget memandang ke arah Sarah. Namun wanita itu terlihat tenang. Tadi Bu Arum sudah sempat cerita ke Sarah mengenai Andan yang datang mencari dirinya dan Fatimah. Perasaannya sudah tawar, bahkan sudah lama. Hanya tiga tahun saja dia meratapi kenapa Adnan tidak mengunjungi Fatimah. Selebihnya dia sudah mati rasa. Tidak pernah berharap sang mantan akan ingat tanggungjawabnya. Saat keluarga Adnan juga tidak peduli, Sarah tak lagi meratapi atau mempermasalahkan. Apalagi sekarang, kehadiran Adnan sudah tak be
Daniel yang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, diam-diam mendengarkan. Ia bisa merasakan sakitnya Sarah sekaligus tahu apa yang dirasakan Adnan. Sebab dia juga seorang ayah yang sangat mencintai anak-anaknya. Namun dia bukan Adnan yang mengabaikan darah dagingnya sendiri."Bunda, aku mau ngambil mainan yang ada di mobil." Fatimah bicara pada Sarah."Sini, Sayang. Papa ambilkan," kata Daniel yang mendengar permintaan putri tirinya.Gadis kecil langsung berlari menghampiri Daniel ke halaman. Digendong oleh Daniel dan diajak ke mobilnya yang terparkir di halaman depan.Adnan memperhatikan hingga mereka hilang di balik tembok rumah. Dia melihat sendiri bagaimana laki-laki itu menyayangi Fatimah. Selama ini dia menjadi ayah yang baik untuk kedua anak dengan istri barunya. Tapi menjadi ayah yang tidak bertanggungjawab pada bocah perempuan yang ditinggalkannya enam tahun lalu. Dada Adnan terasa teremas-remas. "Di mana Fatimah sekolah? Aku masih beberapa hari tingga
Johan memandang area pemakaman yang lengang pagi itu. Hanya ada satu orang laki-laki tua yang tengah menyapu di sana. Mahika masih menunggu sang suami untuk melangkahkan kaki memasuki gapura makam. Ini pertama kalinya Johan ziarah ke makam Melia. Mahika juga belum tahu makam wanita itu yang sebelah mana."Kita bisa bertanya pada bapak juru kunci itu, Mas," kata Mahika seraya menatap bapak tua yang serius menyapu."Di sini ada ratusan makam, apa mungkin bapak itu tahu yang kita cari?" Johan ragu."Semoga saja tahu. Kalau pun nggak tahu, beliau bisa bantuin kita nyari."Johan mengangguk pelan. Mahika menautkan tangan kanan ke lengan suaminya, sedangkan tangan kirinya memegang keranjang kecil berisi bunga mawar merah dan putih yang ia beli di perjalanan tadi. Johan membawa buket bunga di tangan kanannya. Mereka berjalan masuk gapura makam dan menghampiri juru kunci. "Assalamu'alaikum, Pak.""Wa'alaikumsalam." Bapak yang rambutnya penuh uban itu berbalik arah. Memandang Johan dan Mahika
Beberapa malam kemarin dihabiskan dalam perbincangan. Membahas banyak hal untuk langkah ke depan. Dan pagi ini, di apartemen yang sepi, di kamar berseprai biru, keduanya menghabiskan waktu dalam kebersamaan. Tidak khawatir ada yang mengganggu, karena Ubed dan si mbak akan langsung pulang ke rumah Utynya. Bahkan suara berisik mereka tidak akan ada yang mendengarnya. Lelah mendaki, mereka berbaring bersebalahan. Saling menoleh dan tersenyum bahagia. "Aku nggak tahu harus berkata apa untuk mengucapkan terima kasih padamu." Johan berbaring miring dengan siku tangan sebagai tumpuannya. "Nggak nyangka setelah apa yang terjadi, aku bisa menikmati hidup berkeluarga. Punya istri dan anak."Mahika tersenyum. "Kita memang ditakdirkan berjodoh. Meski harus melewati banyak peristiwa, sebelum kita dipertemukan lagi."Johan mengecup kening istrinya. "Padahal waktu kuliah dulu, kita mana pernah berpikir kalau pada akhirnya akan menikah. Kamu cinta banget sama Yuda.""Dan kamu begitu memuja Melia, k
Malam itu mereka makan hanya bertiga. Daniel, Sarah, dan Fatimah. Sebab Shela belum mengantarkan Chika dan Marcel pulang ke rumah. Biasanya di antar sekitar jam sembilan malam. Setelah anak-anak selesai diajak makan malam oleh mamanya."Fatim, teman barunya baik-baik semua, 'kan? Nggak ada yang nakal?" tanya Daniel pada gadis kecil yang masih sibuk menghabiskan nasi berlaukan bandeng presto."Iya, Pa. Mereka baik. Tapi ada satu anak yang nakal. Dia suka nakut-nakutin Fatimah.""Nakutin bagaimana?""Katanya gigi Fatimah nggak bisa tumbuh lagi." Gadis kecil itu meringis, menunjukkan satu gigi yang baru lepas beberapa hari yang lalu. Daniel tersenyum. "Bisa. Fatimah, nggak usah percaya kata temanmu itu. Nanti tumbuh lagi giginya Fatimah. Yang penting rajin gosok gigi agar giginya sehat.""Ya, Pa. Selesai makan, Fatimah mau langsung gosok gigi.""Nanti saja kalau sudah mau tidur. Kan masih ada roti cokelat yang belum Fatimah makan.""Eh, iya." Gadis kecil itu terkekeh.Sarah yang baru se