Johan memandang area pemakaman yang lengang pagi itu. Hanya ada satu orang laki-laki tua yang tengah menyapu di sana. Mahika masih menunggu sang suami untuk melangkahkan kaki memasuki gapura makam. Ini pertama kalinya Johan ziarah ke makam Melia. Mahika juga belum tahu makam wanita itu yang sebelah mana."Kita bisa bertanya pada bapak juru kunci itu, Mas," kata Mahika seraya menatap bapak tua yang serius menyapu."Di sini ada ratusan makam, apa mungkin bapak itu tahu yang kita cari?" Johan ragu."Semoga saja tahu. Kalau pun nggak tahu, beliau bisa bantuin kita nyari."Johan mengangguk pelan. Mahika menautkan tangan kanan ke lengan suaminya, sedangkan tangan kirinya memegang keranjang kecil berisi bunga mawar merah dan putih yang ia beli di perjalanan tadi. Johan membawa buket bunga di tangan kanannya. Mereka berjalan masuk gapura makam dan menghampiri juru kunci. "Assalamu'alaikum, Pak.""Wa'alaikumsalam." Bapak yang rambutnya penuh uban itu berbalik arah. Memandang Johan dan Mahika
Beberapa malam kemarin dihabiskan dalam perbincangan. Membahas banyak hal untuk langkah ke depan. Dan pagi ini, di apartemen yang sepi, di kamar berseprai biru, keduanya menghabiskan waktu dalam kebersamaan. Tidak khawatir ada yang mengganggu, karena Ubed dan si mbak akan langsung pulang ke rumah Utynya. Bahkan suara berisik mereka tidak akan ada yang mendengarnya. Lelah mendaki, mereka berbaring bersebalahan. Saling menoleh dan tersenyum bahagia. "Aku nggak tahu harus berkata apa untuk mengucapkan terima kasih padamu." Johan berbaring miring dengan siku tangan sebagai tumpuannya. "Nggak nyangka setelah apa yang terjadi, aku bisa menikmati hidup berkeluarga. Punya istri dan anak."Mahika tersenyum. "Kita memang ditakdirkan berjodoh. Meski harus melewati banyak peristiwa, sebelum kita dipertemukan lagi."Johan mengecup kening istrinya. "Padahal waktu kuliah dulu, kita mana pernah berpikir kalau pada akhirnya akan menikah. Kamu cinta banget sama Yuda.""Dan kamu begitu memuja Melia, k
Malam itu mereka makan hanya bertiga. Daniel, Sarah, dan Fatimah. Sebab Shela belum mengantarkan Chika dan Marcel pulang ke rumah. Biasanya di antar sekitar jam sembilan malam. Setelah anak-anak selesai diajak makan malam oleh mamanya."Fatim, teman barunya baik-baik semua, 'kan? Nggak ada yang nakal?" tanya Daniel pada gadis kecil yang masih sibuk menghabiskan nasi berlaukan bandeng presto."Iya, Pa. Mereka baik. Tapi ada satu anak yang nakal. Dia suka nakut-nakutin Fatimah.""Nakutin bagaimana?""Katanya gigi Fatimah nggak bisa tumbuh lagi." Gadis kecil itu meringis, menunjukkan satu gigi yang baru lepas beberapa hari yang lalu. Daniel tersenyum. "Bisa. Fatimah, nggak usah percaya kata temanmu itu. Nanti tumbuh lagi giginya Fatimah. Yang penting rajin gosok gigi agar giginya sehat.""Ya, Pa. Selesai makan, Fatimah mau langsung gosok gigi.""Nanti saja kalau sudah mau tidur. Kan masih ada roti cokelat yang belum Fatimah makan.""Eh, iya." Gadis kecil itu terkekeh.Sarah yang baru se
Daniel duduk bersebelahan dengan Sarah, di bangku tunggu untuk pasien, klinik bersalin Sahabat Bunda. Tempat di mana dokter Yunita juga praktek di sana. Dokter langganan Mahika, juga Marisa.Sarah berdebar-debar, karena setelah sekian lama tidak pernah ke dokter kandungan, kali ini baru datang lagi untuk memeriksakan kehamilan. Padahal dulu dia dan Adnan entah berapa kali konsultasi untuk program hamil. Sampai hampir menyerah, kemudian ada kejutan dengan hamil Fatimah kala itu. Tapi ternyata, sebelum hamil suaminya telah berselingkuh di belakangnya.Meskipun berusaha untuk dilupakan, tapi nyerinya terkadang masih bisa dirasakan. Alhamdulillah sekarang dia memiliki suami yang luar biasa seperti Daniel.Seorang suster memanggil namanya. Sarah dan Daniel bersamaan bangkit dari duduk dan masuk ruang pemeriksaan.Dengan ramah dokter itu menyapa pasien barunya. Kemudian langsung melakukan pemeriksaan. Suster di sana membantu menyiapkan untuk tes urine dan USG. Sebab hasil tes tadi pagi tert
Berat berat berat, pilihan yang sulit. Apa harus legowo karena tuntutan pekerjaan atau mengikuti kata hati karena dalam beberapa waktu ini, pikiran Marisa sudah kalang kabut karena cemburu tidak jelas?Aksara memerhatikan istrinya yang masih diam. "Mungkin Mas di sana paling lama dua bulan. Bagaimana, Sayang?"Ketar ketir juga Aksara menunggu jawaban sang istri. Kalau ada pilihan, dia tidak ingin meninggalkan istrinya dan tetap bekerja di Gresik saja. Setiap hari bisa pulang bertemu istri dan anak. Namun Aksara sendiri tidak bisa membantah, untuk resign juga belum waktunya karena usaha yang dirintis bersama sang kakak masih dalam tahap pembenahan sana sini. Bahkan belum resmi dimulai.Marisa membalas tatapan suaminya. "Kita tidur dulu, Mas. Besok pagi aku kasih jawaban."Lah, ini balas dendam namanya. Aksara ingat saat Marisa minta persetujuan untuk menjadi sekretaris bosnya. Sekarang giliran dia yang digantung pula. Kalau dulu ia tak sengaja tidur karena kecapekan, tapi kali ini Mari
Marisa membuka mata ketika merasakan sentuhan lembut di lengannya. Suaminya sudah tampak segar selesai mandi. "Jam berapa, Mas?" tanyanya lirih sambil meraih jam weker di nakas.Jam 04.20 menit. "Loh, tadi malam aku pasang alarm jam setengah empat. Apa tadi nggak bunyi?""Bunyi, tapi Sayang nggak dengar.""Kenapa aku nggak dibangunin? Aku mau masak lebih awal.""Nggak perlu masak. Mas bisa beli nanti. Kamu kelihatan capek banget gitu." Aksara membantu istrinya untuk duduk. Marisa beringsut turun dengan tangan menahan selimut di dadanya hingga masuk kamar mandi.Sarapan pagi itu jauh dari ekspektasi semalam. Tidak ada ikan bakar, ayam krispi, dan sambel matah. Yang ada nasi berlaukan telur mata sapi, sambel bawang, dan sayur sawi di rebus. Mana yang bisa cepat saja karena Aksara harus berangkat lebih awal."Kalau Mas buru-buru, nggak usah nungguin aku. Nanti aku berangkat kerja naik motor saja," kata Marisa sambil berganti pakaian di kamar."Enggak. Mas tunggu kamu di kamarnya Kenzi."
Angin berembus kencang pagi itu. Musim kemarau sepertinya datang lebih cepat dari perkiraan. Suasana sudah terasa berbeda. Udara Surabaya mulai kering dan makin gerah.Marisa mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Semenjak Aksara ada pekerjaan di Jember, tiap hari Marisa berangkat kerja mengendarai motor sendiri daripada naik taksi online.Aksara sebenarnya melarang, tapi Marisa lebih nyaman bawa kendaraan sendiri. Sepulang kerja bisa mampir untuk berbelanja kebutuhan rumah. Terkadang beli lauk untuk makan malamnya dengan Mbak Dwi atau membelikan jajan untuk Kenzi.Pagi ini Marisa berubah seceria mungkin, setelah hampir seminggu tanpa suami. Dan semalam dibuat kesal karena Aksara tidak jadi pulang. Tapi tak mengapa, ia akan menikmati momen ini dengan melakukan beberapa hal. Tadi pagi ia kepikiran untuk mengajak Ari pergi ke salon atau ke tukang urut langganan mereka untuk menservis badan yang udah lama tidak dimanjakan."Kamu nggak ada rencana mau nyusul ke sana kalau suamimu b
Ponsel di sling bag Marisa bergetar. Saat dilihat ternyata panggilan dari suaminya. Sejenak Marisa hanya menatap benda pipih yang berpendar. Kalau di angkat, pasti Aksara akan mendengar suara yang asing. Padahal dia tidak ingin ketahuan kalau hendak menyusul ke Jember. Dengan cepat, Marisa mengetik pesan untuk suaminya. Kalau tidak segera dijawab, biasanya Aksara akan menelpon Mbak Dwi berkali-kali.[Telepon nanti saja, Mas. Aku repot ngurus cucian. Setelah ini mau ngajak Kenzi juga ke taman bermain.] Send.[Oke, Sayang. Mas mau berangkat ke kantor dulu.] Balas Aksara.Marisa hanya memberikan emot jempol untuk balasannya. Semoga Aksara tidak akan kepo menelepon lagi, karena ia dan Kenzi harus menempuh perjalanan selama 3,5-4 jam untuk sampai ke Jember.Tadinya Marisa was-was kalau Kenzi rewel kalau kelamaan di dalam kereta api. Tapi nyatanya anak itu sangat anteng. Kalau capek bermain, dia minta biskuit, minum susu, atau bercanda dengan pria yang duduk di depan mereka. Kemudian tidur