Marisa membuka mata ketika merasakan sentuhan lembut di lengannya. Suaminya sudah tampak segar selesai mandi. "Jam berapa, Mas?" tanyanya lirih sambil meraih jam weker di nakas.Jam 04.20 menit. "Loh, tadi malam aku pasang alarm jam setengah empat. Apa tadi nggak bunyi?""Bunyi, tapi Sayang nggak dengar.""Kenapa aku nggak dibangunin? Aku mau masak lebih awal.""Nggak perlu masak. Mas bisa beli nanti. Kamu kelihatan capek banget gitu." Aksara membantu istrinya untuk duduk. Marisa beringsut turun dengan tangan menahan selimut di dadanya hingga masuk kamar mandi.Sarapan pagi itu jauh dari ekspektasi semalam. Tidak ada ikan bakar, ayam krispi, dan sambel matah. Yang ada nasi berlaukan telur mata sapi, sambel bawang, dan sayur sawi di rebus. Mana yang bisa cepat saja karena Aksara harus berangkat lebih awal."Kalau Mas buru-buru, nggak usah nungguin aku. Nanti aku berangkat kerja naik motor saja," kata Marisa sambil berganti pakaian di kamar."Enggak. Mas tunggu kamu di kamarnya Kenzi."
Angin berembus kencang pagi itu. Musim kemarau sepertinya datang lebih cepat dari perkiraan. Suasana sudah terasa berbeda. Udara Surabaya mulai kering dan makin gerah.Marisa mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Semenjak Aksara ada pekerjaan di Jember, tiap hari Marisa berangkat kerja mengendarai motor sendiri daripada naik taksi online.Aksara sebenarnya melarang, tapi Marisa lebih nyaman bawa kendaraan sendiri. Sepulang kerja bisa mampir untuk berbelanja kebutuhan rumah. Terkadang beli lauk untuk makan malamnya dengan Mbak Dwi atau membelikan jajan untuk Kenzi.Pagi ini Marisa berubah seceria mungkin, setelah hampir seminggu tanpa suami. Dan semalam dibuat kesal karena Aksara tidak jadi pulang. Tapi tak mengapa, ia akan menikmati momen ini dengan melakukan beberapa hal. Tadi pagi ia kepikiran untuk mengajak Ari pergi ke salon atau ke tukang urut langganan mereka untuk menservis badan yang udah lama tidak dimanjakan."Kamu nggak ada rencana mau nyusul ke sana kalau suamimu b
Ponsel di sling bag Marisa bergetar. Saat dilihat ternyata panggilan dari suaminya. Sejenak Marisa hanya menatap benda pipih yang berpendar. Kalau di angkat, pasti Aksara akan mendengar suara yang asing. Padahal dia tidak ingin ketahuan kalau hendak menyusul ke Jember. Dengan cepat, Marisa mengetik pesan untuk suaminya. Kalau tidak segera dijawab, biasanya Aksara akan menelpon Mbak Dwi berkali-kali.[Telepon nanti saja, Mas. Aku repot ngurus cucian. Setelah ini mau ngajak Kenzi juga ke taman bermain.] Send.[Oke, Sayang. Mas mau berangkat ke kantor dulu.] Balas Aksara.Marisa hanya memberikan emot jempol untuk balasannya. Semoga Aksara tidak akan kepo menelepon lagi, karena ia dan Kenzi harus menempuh perjalanan selama 3,5-4 jam untuk sampai ke Jember.Tadinya Marisa was-was kalau Kenzi rewel kalau kelamaan di dalam kereta api. Tapi nyatanya anak itu sangat anteng. Kalau capek bermain, dia minta biskuit, minum susu, atau bercanda dengan pria yang duduk di depan mereka. Kemudian tidur
Cuaca tidak seterik tadi, karena matahari mulai tergelincir ke langit sebelah barat. Angin musim pancaroba berembus sepoi menjatuhkan dedaunan kering. Agak adem dibandingkan saat Marisa dan Kenzi baru sampai tadi.Wanita yang menyambut Marisa sangat baik dan ramah. Mengajaknya makan siang dengan membawa turun bakul nasi, sepiring lauk berisi tempe dan ikan goreng. Juga semangkuk sup. Kenzi bisa ikut makan karena paling suka sup yang ada kentang dan wortelnya."Saya jadi ngrepotin, Mbak.""Enggak. Siapa bilang ngrepotin. Panggil saja saya Mbak Yati. Pak Aksa tuh baik sama kami. Padahal juga jarang ketemu. Baru seminggu ini saja menetap di sini."Selesai di suapi, Kenzi diajak bermain oleh Fadil, anak lelakinya Mbak Yati yang sudah kelas 6 SD. Mereka main mobil-mobilan di teras. Dua bocah beda umur itu cepat sekali akrab.Marisa membantu Mbak Yati menyimpan kembali nasi dan lauk di atas meja yang menyatu dengan meja dapur dan kompor. Kosan yang serba guna. Kamar tidur sekaligus dapur un
Marisa mengambil cermin kecil dari pouch make up-nya. Kemudian tersenyum saat melihat wajahnya di pantulan cermin. "Hmm, mau perjalanan jauh harus tampil cantik, dong. Harus kelihatan segar. Lagian cuman aku tebalin dikit dari biasanya. Biar nggak perlu meng-upgrade riasan lagi.""Astaghfirullah. Kamu kan pergi tanpa suami.""Tapi aku bawa anak, kan? Siapa juga yang mau ngisengin emak-emak bawa bocah," bantah Marisa."Selama Mas nggak di rumah, kamu juga dandan seperti ini kalau pergi kerja?"Melihat suaminya terpancing, Marisa justru ingin menggodanya. Wanita itu tersenyum lebar, tanpa memberikan jawaban. "Kenzi, kita mandi dulu, yuk!""Biar mas rebuskan air dulu untuk mandi Kenzi. Di sini nggak ada water heater." Aksara mendudukkan Kenzi di kasur, lalu bangkit dan mengisi panci ukuran sedang dengan air lalu merebusnya di kompor single yang ada di pojok kamar.Marisa memperhatikan ruangan kamar. Ada televisi layar datar yang menempel di dinding, kulkas mini yang berada di sebelah dis
Aksara mengeluarkan ponsel dengan buru-buru dari saku celananya. Perasaan seketika tidak karuan. Otomatis ia membayangkan Marisa yang mengurus Kenzi sendirian dalam perjalanan. Dalam kondisi hamil muda pula, pasti kerepotan. Walaupun kemarin bilang baik-baik saja.Dua kali panggilannya tidak dijawab. Aksara mulai gelisah. Dua panggilan lagi sia-sia. Dengan cepat ia mengetik pesan. Telepon saja tidak direspon apalagi pesan. Aksara kembali menelpon, tapi juga percuma. Laki-laki itu berdecak lirih. Geram campur cemas. Kenapa Marisa tidak bicara langsung saja padanya, jadi dia bisa memaksa agar menunggu dirinya selesai meeting lantas mengantarkan mereka pulang.Apa sesungguhnya walaupun diam, tapi Marisa marah? Aksara merasa serba salah. Hendak cerita di telepon takut Marisa malah salah paham. Setelah tahu sendiri, pasti pikirannya pun menduga yang bukan-bukan.Aksara mengusap wajah dengan telapak tangan. Perasaannya kian bersalah, ingat semalam menyentuh istrinya dengan sedikit kasar. H
Aksara yang tengah duduk menyimak penjelasan dari surveyor dan tim meeting pagi itu tidak bisa tenang. Terlebih susah untuk konsentrasi, padahal dia yang memimpin rapat. Membayangkan Marisa yang naik kereta bersama Kenzi. Satu jam sudah mereka di perjalanan.Berulang kali ia melirik pada benda pipih yang tergeletak di sebelah laptopnya. Tak ada pendar yang menandakan pesan atau teleponnya dibalas. Diraihnya benda itu untuk dibuka. Terlihat sang istri terakhir online jam enam tadi. Apa ponselnya kehabisan baterai. Tapi tidak mungkin, kemarin sore ia melihat Marisa mengecas ponselnya.Aksara melihat senarai daftar pembahasan meeting pagi itu. Masih banyak yang harus dibahas. Mau jam berapa itu nanti selesai."Pak Yudi, saya ke belakang sebentar!" pamitnya pada laki-laki setengah baya yang duduk di sebelahnya.Tak biasanya Aksara meninggalkan meeting disaat acara belum selesai. Dia sangat profesional. Namun pagi ini pikirannya memang berantakan. Terlebih jika ingat apa yang dilakukannya
"Ris, kamu kenapa to, Nduk?" tanya Bu Rahmi duduk di sebelah Marisa. Wajahnya menunjukkan gurat kekhawatiran saat melihat putri sulungnya datang sambil membawa ransel besar dan stroller Kenzi. Pikiran seorang ibu sudah ke mana-mana. Tentunya memikirkan kemungkinan yang paling ditakutkan seorang ibu. Kekacauan dalam rumah tangga anaknya.Marisa yang kecapekan bersandar di punggung sofa tersenyum pada ibunya. "Ibu, pasti mikirnya yang aneh-aneh 'kan? Aku nggak minggat dari rumah, Bu. Aku tadi baru pulang dari Jember. Kemarin aku dan Kenzi nyusul Mas Aksara ke sana, karena dia nggak bisa pulang. Banyak kerjaan. Tadi Kenzi rewel pengen balik lagi ikut ayahnya, makanya aku ajak ke sini. Biar bermain sama Najwa.""Woalah, Ris. Kamu bikin hati ibu rontok tadi." Wanita itu menghela napas lega. "Aku mau tiduran sebentar, Bu. Capek banget. Nanti kalau Kenzi minta susu, suruh Ulfa bikinin. Susunya ada di tas ini." Marisa menepuk tas kecil tempat susunya Kenzi yang ada sofa."Iya, nanti biar ibu