Aksara yang tengah duduk menyimak penjelasan dari surveyor dan tim meeting pagi itu tidak bisa tenang. Terlebih susah untuk konsentrasi, padahal dia yang memimpin rapat. Membayangkan Marisa yang naik kereta bersama Kenzi. Satu jam sudah mereka di perjalanan.Berulang kali ia melirik pada benda pipih yang tergeletak di sebelah laptopnya. Tak ada pendar yang menandakan pesan atau teleponnya dibalas. Diraihnya benda itu untuk dibuka. Terlihat sang istri terakhir online jam enam tadi. Apa ponselnya kehabisan baterai. Tapi tidak mungkin, kemarin sore ia melihat Marisa mengecas ponselnya.Aksara melihat senarai daftar pembahasan meeting pagi itu. Masih banyak yang harus dibahas. Mau jam berapa itu nanti selesai."Pak Yudi, saya ke belakang sebentar!" pamitnya pada laki-laki setengah baya yang duduk di sebelahnya.Tak biasanya Aksara meninggalkan meeting disaat acara belum selesai. Dia sangat profesional. Namun pagi ini pikirannya memang berantakan. Terlebih jika ingat apa yang dilakukannya
"Ris, kamu kenapa to, Nduk?" tanya Bu Rahmi duduk di sebelah Marisa. Wajahnya menunjukkan gurat kekhawatiran saat melihat putri sulungnya datang sambil membawa ransel besar dan stroller Kenzi. Pikiran seorang ibu sudah ke mana-mana. Tentunya memikirkan kemungkinan yang paling ditakutkan seorang ibu. Kekacauan dalam rumah tangga anaknya.Marisa yang kecapekan bersandar di punggung sofa tersenyum pada ibunya. "Ibu, pasti mikirnya yang aneh-aneh 'kan? Aku nggak minggat dari rumah, Bu. Aku tadi baru pulang dari Jember. Kemarin aku dan Kenzi nyusul Mas Aksara ke sana, karena dia nggak bisa pulang. Banyak kerjaan. Tadi Kenzi rewel pengen balik lagi ikut ayahnya, makanya aku ajak ke sini. Biar bermain sama Najwa.""Woalah, Ris. Kamu bikin hati ibu rontok tadi." Wanita itu menghela napas lega. "Aku mau tiduran sebentar, Bu. Capek banget. Nanti kalau Kenzi minta susu, suruh Ulfa bikinin. Susunya ada di tas ini." Marisa menepuk tas kecil tempat susunya Kenzi yang ada sofa."Iya, nanti biar ibu
"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mbak Risa di situ, Ul.""Ya, Mas. Mbak Risa lagi makan ini.""Gimana kondisinya?""Nggak apa-apa tuh, baik saja. Dia lagi makan, Kenzi main sama Najwa dan Ziyan sambil disuapi ibu. Memangnya kenapa, Mas?" pancing Ulfa."Bisa minta tolong, nanti anterin Risa sama Kenzi pulang ke rumah." "Iya, nanti aku anterin naik motor, Mas." Ulfa nyengir, sengaja memang bicara seperti itu."Jangan naik motor. Kakakmu lagi hamil itu."Reflek Ulfa langsung memandang sang kakak. "Iya, nanti kami naik taksi.""Makasih, Ulfa. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Ulfa merapat pada kakaknya yang tengah menyuap nasi. "Mbak Risa, hamil lagi?"Marisa mengangguk. "Jangan bilang ke ibu dulu. Aku belum cek ke dokter.""Okelah," jawab Ulfa yang tetap duduk di sana menunggui sang kakak yang masih makan. Dia harus diam seperti yang diminta sang kakak."Assalamu'alaikum." Suara salam sontak membuat mereka menoleh ke luar."Wa'alaikumsalam." Ulfa bangkit dari duduknya untuk mel
"Demam istri Bapak sangat tinggi. Hingga membuat Bu Marisa tak sadarkan diri tadi. Suhu tubuhnya mencapai 40°C. Makanya waktu pendarahan yang seharusnya mengalami kram perut, tapi istri Anda sampai tak merasakannya karena setengah tidak sadar. Pendarahannya juga lumayan. Tapi kami sudah mencoba memberikan obat, semoga bisa menyelamatkan janinnya. Usia kehamilannya juga baru lima minggu dan ini memang usia rawan. Kecapekan, stres berlebihan bisa menyebabkan pendarahan bahkan keguguran." Dokter kandungan memberikan penjelasan kepada Aksara setelah selesai melakukan pertolongan pertama pada Marisa.Aksara tidak tahu harus menjawab apa, selain meminta supaya memberikan perawatan yang terbaik untuk istrinya. Hanya rasa cemas yang memenuhi dadanya."Kalau pendarahannya berhenti, InsyaAllah janinnya selamat. Kami akan melakukan pemeriksaan lagi nanti. Kalau memang tidak bisa dipertahankan, kami harus melakukan tindakan kuretase."Aksara mengangguk pasrah. Setelah dokter pergi, dia masuk ke r
Ketika tengah berbincang-bincang, pintu diketuk dari luar, lalu masuk dokter dan seorang perawat. Mereka hendak melihat kondisi pasien setelah sadar.Johan ke luar, tinggal Aksara dan Marisa yang berdiri agak kebelakang. Waktu sebentar itu dimanfaatkan oleh Aksara untuk menceritakan sekilas tentang kesalahpahamannya dengan Marisa. Aksara butuh seseorang yang bisa membantunya untuk meyakinkan kepada sang istri, bahwa antara dia dan Hafsah tak pernah ada hubungan apapun selain sebagai tetangga.Baginya Johan dan Mahika adalah orang yang tepat untuk tahu permasalahannya. "Kalau aku diposisi istrimu pun, pasti akan memiliki pemikiran yang sama. Jangan salahkan Risa, karena sejak awal dia tahu kalau gadis itu memang menginginkanmu. Harusnya Hafsah menjauh, nggak perlu lagi mendekat dengan alasan klise. Alasan karena memang saling kenal, bertetangga, terlebih mengirimkan sesuatu yang nggak perlu. Dia seharusnya mengerti karena lebih paham tentang agama. Kalau pun kamu ingin tetap menjaga
"Curiga kan ada sebabnya, Mas," bantah Marisa.Keduanya saling menatap lekat. Saling mengukur, meraba, siapa yang bisa bertahan lama. Marisa yang akhirnya menarik diri. Tatapan Aksara yang biasa itu terasa begitu tajam menembus tepat ke dasar hatinya. Dia tidak sanggup bersitatap lama. Tatapan yang tidak hanya dirinya saja terpikat, ada wanita lain di luar sana yang kepincut juga. Meski tajam dan dingin, tapi membuat penasaran dan menghipnotis. Namun lengan yang menahan pinggangnya tidak membiarkan dirinya lepas. "Nanti Mas telat sampai kantor."Aksara menunduk dan mengecup bibir istrinya. Andai Marisa bisa disentuh, habis sudah olehnya. Rasa gemasnya sudah sampai ke ubun-ubun kepala. Perdebatan pagi ini membuatnya tak bersemangat untuk berangkat ke Jember.Rasa bersalahnya membumbung tinggi, merasa dirinya turut andil menjadi sebab gugurnya calon adik Kenzi. Karena beban pikiran Marisa ditambah sentuhannya yang tak biasa malam itu."Ayah!" teriakan Kenzi dari luar kamar yang akhirny
Dua perempuan beda usia duduk menghadap taman depan TPQ yang sepi. Tempat itu biasanya ramai kalau anak-anak yang mondok sudah pulang sekolah atau sore hari waktunya mengaji. Kalau pagi tidak ada kegiatan apa-apa karena pondok milik kakak Pak Kyai Abdul Qodir memang bukan pondok besar. Di sana hanya ada beberapa puluh santri beragam usia yang tinggal. Kebanyakan juga dari kalangan anak-anak kurang mampu yang biaya sekolahnya ditanggung pihak pondok. Namun setiap sore, banyak anak-anak dari warga yang mengaji di sana."Kamu jadi pulang dalam minggu ini?" tanya wanita yang usianya sepuluh tahun di atas Hafsah. Kholifah namanya. Mereka adalah saudara sepupu."Iya," jawab Hafsah singkat. "Awal bulan depan ada karnival, kamu nggak pulang setelah lihat karnival saja?""Nanti aku bisa ke sini lagi, Mbak. Abah semalam juga nelepon tanya kapan mau balik Surabaya." Pak Kyai dan Bu Haji memang sudah pulang ke Surabaya lebih dulu. Hafsah menolak diajak pulang bersama-sama. Tentu ada alasan ken
Sesore itu Marisa masih terlihat sangat menarik. Meski make up-nya tak sesegar pagi tadi, tapi senyumnya bisa menutupi rona lelah setelah seharian mengikuti seminar di hari kedua. Pesonanya sanggup menandingi wanita-wanita karir yang sudah lama terjun ke dunia bisnis dan menjadi sosialita.Marisa asyik ngobrol dengan beberapa peserta seminar di halaman sebuah hotel tempat berlangsungnya kegiatan dalam tiga hari ini. Di meja bulat yang di atapi payung bulat. Ada dua laki-laki dan dua perempuan yang duduk di sana menikmati coffee break. Berada dalam dunia yang sama, membuat para peserta cepat sekali akrab dan beradaptasi satu sama lain. Ballroom di salah satu hotel mewah ternama di Singasari itu sudah menjadi langganan tempat berlangsungnya pertemuan-pertemuan bisnis, konferensi, meeting, atau perayaan bersama. Fasilitas sangat lengkap, screen projector, wireless mic, notepad dan ballpoint, serta flipchart. Akses internet lancar, sound system, dan hygiene set."Pak Daniel nggak salah