"Demam istri Bapak sangat tinggi. Hingga membuat Bu Marisa tak sadarkan diri tadi. Suhu tubuhnya mencapai 40°C. Makanya waktu pendarahan yang seharusnya mengalami kram perut, tapi istri Anda sampai tak merasakannya karena setengah tidak sadar. Pendarahannya juga lumayan. Tapi kami sudah mencoba memberikan obat, semoga bisa menyelamatkan janinnya. Usia kehamilannya juga baru lima minggu dan ini memang usia rawan. Kecapekan, stres berlebihan bisa menyebabkan pendarahan bahkan keguguran." Dokter kandungan memberikan penjelasan kepada Aksara setelah selesai melakukan pertolongan pertama pada Marisa.Aksara tidak tahu harus menjawab apa, selain meminta supaya memberikan perawatan yang terbaik untuk istrinya. Hanya rasa cemas yang memenuhi dadanya."Kalau pendarahannya berhenti, InsyaAllah janinnya selamat. Kami akan melakukan pemeriksaan lagi nanti. Kalau memang tidak bisa dipertahankan, kami harus melakukan tindakan kuretase."Aksara mengangguk pasrah. Setelah dokter pergi, dia masuk ke r
Ketika tengah berbincang-bincang, pintu diketuk dari luar, lalu masuk dokter dan seorang perawat. Mereka hendak melihat kondisi pasien setelah sadar.Johan ke luar, tinggal Aksara dan Marisa yang berdiri agak kebelakang. Waktu sebentar itu dimanfaatkan oleh Aksara untuk menceritakan sekilas tentang kesalahpahamannya dengan Marisa. Aksara butuh seseorang yang bisa membantunya untuk meyakinkan kepada sang istri, bahwa antara dia dan Hafsah tak pernah ada hubungan apapun selain sebagai tetangga.Baginya Johan dan Mahika adalah orang yang tepat untuk tahu permasalahannya. "Kalau aku diposisi istrimu pun, pasti akan memiliki pemikiran yang sama. Jangan salahkan Risa, karena sejak awal dia tahu kalau gadis itu memang menginginkanmu. Harusnya Hafsah menjauh, nggak perlu lagi mendekat dengan alasan klise. Alasan karena memang saling kenal, bertetangga, terlebih mengirimkan sesuatu yang nggak perlu. Dia seharusnya mengerti karena lebih paham tentang agama. Kalau pun kamu ingin tetap menjaga
"Curiga kan ada sebabnya, Mas," bantah Marisa.Keduanya saling menatap lekat. Saling mengukur, meraba, siapa yang bisa bertahan lama. Marisa yang akhirnya menarik diri. Tatapan Aksara yang biasa itu terasa begitu tajam menembus tepat ke dasar hatinya. Dia tidak sanggup bersitatap lama. Tatapan yang tidak hanya dirinya saja terpikat, ada wanita lain di luar sana yang kepincut juga. Meski tajam dan dingin, tapi membuat penasaran dan menghipnotis. Namun lengan yang menahan pinggangnya tidak membiarkan dirinya lepas. "Nanti Mas telat sampai kantor."Aksara menunduk dan mengecup bibir istrinya. Andai Marisa bisa disentuh, habis sudah olehnya. Rasa gemasnya sudah sampai ke ubun-ubun kepala. Perdebatan pagi ini membuatnya tak bersemangat untuk berangkat ke Jember.Rasa bersalahnya membumbung tinggi, merasa dirinya turut andil menjadi sebab gugurnya calon adik Kenzi. Karena beban pikiran Marisa ditambah sentuhannya yang tak biasa malam itu."Ayah!" teriakan Kenzi dari luar kamar yang akhirny
Dua perempuan beda usia duduk menghadap taman depan TPQ yang sepi. Tempat itu biasanya ramai kalau anak-anak yang mondok sudah pulang sekolah atau sore hari waktunya mengaji. Kalau pagi tidak ada kegiatan apa-apa karena pondok milik kakak Pak Kyai Abdul Qodir memang bukan pondok besar. Di sana hanya ada beberapa puluh santri beragam usia yang tinggal. Kebanyakan juga dari kalangan anak-anak kurang mampu yang biaya sekolahnya ditanggung pihak pondok. Namun setiap sore, banyak anak-anak dari warga yang mengaji di sana."Kamu jadi pulang dalam minggu ini?" tanya wanita yang usianya sepuluh tahun di atas Hafsah. Kholifah namanya. Mereka adalah saudara sepupu."Iya," jawab Hafsah singkat. "Awal bulan depan ada karnival, kamu nggak pulang setelah lihat karnival saja?""Nanti aku bisa ke sini lagi, Mbak. Abah semalam juga nelepon tanya kapan mau balik Surabaya." Pak Kyai dan Bu Haji memang sudah pulang ke Surabaya lebih dulu. Hafsah menolak diajak pulang bersama-sama. Tentu ada alasan ken
Sesore itu Marisa masih terlihat sangat menarik. Meski make up-nya tak sesegar pagi tadi, tapi senyumnya bisa menutupi rona lelah setelah seharian mengikuti seminar di hari kedua. Pesonanya sanggup menandingi wanita-wanita karir yang sudah lama terjun ke dunia bisnis dan menjadi sosialita.Marisa asyik ngobrol dengan beberapa peserta seminar di halaman sebuah hotel tempat berlangsungnya kegiatan dalam tiga hari ini. Di meja bulat yang di atapi payung bulat. Ada dua laki-laki dan dua perempuan yang duduk di sana menikmati coffee break. Berada dalam dunia yang sama, membuat para peserta cepat sekali akrab dan beradaptasi satu sama lain. Ballroom di salah satu hotel mewah ternama di Singasari itu sudah menjadi langganan tempat berlangsungnya pertemuan-pertemuan bisnis, konferensi, meeting, atau perayaan bersama. Fasilitas sangat lengkap, screen projector, wireless mic, notepad dan ballpoint, serta flipchart. Akses internet lancar, sound system, dan hygiene set."Pak Daniel nggak salah
Sebentar saja Aksara sudah berhasil memblokir nomer itu. Meski tak kenal secara langsung, tapi Aksara tahu siapa Hugo. Eksekutif muda yang profilnya wira-wiri di majalah bisnis.Marisa melepaskan tangan suaminya. Dia tidak mempermasalahkan Aksara yang memblokir nomer lelaki itu. Toh bukan siapa-siapa juga baginya selain rekan di seminar. "Aku mandi dulu. Mas, juga belum mandi 'kan?""Belum. Kita mandi sama-sama." Aksara melepaskan kancing kemeja warna abu-abu yang ia pakai sambil melangkah ke kamar mandi.***LS***Aksara dan Marisa duduk di dekat jendela kaca sambil memerhatikan kabut yang turun menjelang senja. Menikmati dua cangkir teh aroma melati yang dibuat oleh Marisa baru saja. Di kamar memang tersedia perlengkapan untuk membuat kopi dan teh. Fasilitas dari kamar yang di booking oleh Aksara.Marisa merapatkan jaket yang dipakai sambil bersedekap karena hawa dingin mengigit kulit, menusuk hingga ke tulang. Aksara bergeser, lantas memeluk istrinya. Marisa menyandarkan kepala di
Aksara masih rebahan di atas tempat tidur. Seraya memerhatikan sang istri yang baru selesai mengeringkan rambut dan merapikan kemaja formal motif salur yang dipakainya."Mas, mau aku pesankan sarapan ke kamar atau makan di bawah?" tanya Marisa meraih jilbab dan memakainya di depan cermin."Kamu nggak mau sarapan bareng mas sebentar saja di kamar?"Marisa melihat jam tangannya. "Sudah mau jam delapan. Nanti aku telat datang ke ballroom. Nanti saja kita bisa makan siang bareng. Untuk sarapan mas mau makan apa? Aku pesankan, nanti biar di antar ke kamar.""Nggak usah, mas sudah cukup makan roti tadi."Pagi tadi mereka memang sudah makan roti dan minum teh sambil duduk di balik jendela kamar, menikmati pagi yang masih pekat."Ya udah. Aku turun dulu, ya!" Marisa menghampiri suaminya. Meraih tangan Aksara untuk di cium. Namun lelaki itu malah menarik hingga Marisa jatuh di atas tubuhnya. Mendekap dan mengecup wajah yang telah bermake-up. Marisa berdecak lirih. "Mas, nanti aku terlambat!"M
Kebetulan hari terakhir ini, Hugo sebagai pembicara di depan. Berbagi pengalaman dan motivasi kepada peserta seminar. Memberi semangat kepada mereka yang baru merintis bisnis. Hari terakhir lebih santai, banyak tanya jawab dan gurauan yang membuat suasana ballroom sangat riuh.Acara selesai dan langsung ditutup jam dua belas siang, dilanjutkan dengan lunch bersama. Namun Marisa hanya makan buah dan puding. Dia tidak menyentuh nasi sama sekali karena sudah berjanji akan menemani Aksara untuk makan siang.Sebisa mungkin Marisa menghindari berbincang dengan Hugo, meski laki-laki itu berusaha mencari celah untuk mendekatinya. Marisa tidak menggubris pandang kekaguman Hugo terhadapnya. Marisa sadar statusnya sebagai seorang istri. Satu per satu peserta seminar undur diri, begitu juga dengan Marisa. Dia pamitan pada Citra, Shinta, dan beberapa orang yang berada di dekatnya. Kemudian menghilang sebelum Hugo mengetahui kalau dia hendak pergi.Saat masuk kamar, sudah ada hidangan untuk makan