Dua perempuan beda usia duduk menghadap taman depan TPQ yang sepi. Tempat itu biasanya ramai kalau anak-anak yang mondok sudah pulang sekolah atau sore hari waktunya mengaji. Kalau pagi tidak ada kegiatan apa-apa karena pondok milik kakak Pak Kyai Abdul Qodir memang bukan pondok besar. Di sana hanya ada beberapa puluh santri beragam usia yang tinggal. Kebanyakan juga dari kalangan anak-anak kurang mampu yang biaya sekolahnya ditanggung pihak pondok. Namun setiap sore, banyak anak-anak dari warga yang mengaji di sana."Kamu jadi pulang dalam minggu ini?" tanya wanita yang usianya sepuluh tahun di atas Hafsah. Kholifah namanya. Mereka adalah saudara sepupu."Iya," jawab Hafsah singkat. "Awal bulan depan ada karnival, kamu nggak pulang setelah lihat karnival saja?""Nanti aku bisa ke sini lagi, Mbak. Abah semalam juga nelepon tanya kapan mau balik Surabaya." Pak Kyai dan Bu Haji memang sudah pulang ke Surabaya lebih dulu. Hafsah menolak diajak pulang bersama-sama. Tentu ada alasan ken
Sesore itu Marisa masih terlihat sangat menarik. Meski make up-nya tak sesegar pagi tadi, tapi senyumnya bisa menutupi rona lelah setelah seharian mengikuti seminar di hari kedua. Pesonanya sanggup menandingi wanita-wanita karir yang sudah lama terjun ke dunia bisnis dan menjadi sosialita.Marisa asyik ngobrol dengan beberapa peserta seminar di halaman sebuah hotel tempat berlangsungnya kegiatan dalam tiga hari ini. Di meja bulat yang di atapi payung bulat. Ada dua laki-laki dan dua perempuan yang duduk di sana menikmati coffee break. Berada dalam dunia yang sama, membuat para peserta cepat sekali akrab dan beradaptasi satu sama lain. Ballroom di salah satu hotel mewah ternama di Singasari itu sudah menjadi langganan tempat berlangsungnya pertemuan-pertemuan bisnis, konferensi, meeting, atau perayaan bersama. Fasilitas sangat lengkap, screen projector, wireless mic, notepad dan ballpoint, serta flipchart. Akses internet lancar, sound system, dan hygiene set."Pak Daniel nggak salah
Sebentar saja Aksara sudah berhasil memblokir nomer itu. Meski tak kenal secara langsung, tapi Aksara tahu siapa Hugo. Eksekutif muda yang profilnya wira-wiri di majalah bisnis.Marisa melepaskan tangan suaminya. Dia tidak mempermasalahkan Aksara yang memblokir nomer lelaki itu. Toh bukan siapa-siapa juga baginya selain rekan di seminar. "Aku mandi dulu. Mas, juga belum mandi 'kan?""Belum. Kita mandi sama-sama." Aksara melepaskan kancing kemeja warna abu-abu yang ia pakai sambil melangkah ke kamar mandi.***LS***Aksara dan Marisa duduk di dekat jendela kaca sambil memerhatikan kabut yang turun menjelang senja. Menikmati dua cangkir teh aroma melati yang dibuat oleh Marisa baru saja. Di kamar memang tersedia perlengkapan untuk membuat kopi dan teh. Fasilitas dari kamar yang di booking oleh Aksara.Marisa merapatkan jaket yang dipakai sambil bersedekap karena hawa dingin mengigit kulit, menusuk hingga ke tulang. Aksara bergeser, lantas memeluk istrinya. Marisa menyandarkan kepala di
Aksara masih rebahan di atas tempat tidur. Seraya memerhatikan sang istri yang baru selesai mengeringkan rambut dan merapikan kemaja formal motif salur yang dipakainya."Mas, mau aku pesankan sarapan ke kamar atau makan di bawah?" tanya Marisa meraih jilbab dan memakainya di depan cermin."Kamu nggak mau sarapan bareng mas sebentar saja di kamar?"Marisa melihat jam tangannya. "Sudah mau jam delapan. Nanti aku telat datang ke ballroom. Nanti saja kita bisa makan siang bareng. Untuk sarapan mas mau makan apa? Aku pesankan, nanti biar di antar ke kamar.""Nggak usah, mas sudah cukup makan roti tadi."Pagi tadi mereka memang sudah makan roti dan minum teh sambil duduk di balik jendela kamar, menikmati pagi yang masih pekat."Ya udah. Aku turun dulu, ya!" Marisa menghampiri suaminya. Meraih tangan Aksara untuk di cium. Namun lelaki itu malah menarik hingga Marisa jatuh di atas tubuhnya. Mendekap dan mengecup wajah yang telah bermake-up. Marisa berdecak lirih. "Mas, nanti aku terlambat!"M
Kebetulan hari terakhir ini, Hugo sebagai pembicara di depan. Berbagi pengalaman dan motivasi kepada peserta seminar. Memberi semangat kepada mereka yang baru merintis bisnis. Hari terakhir lebih santai, banyak tanya jawab dan gurauan yang membuat suasana ballroom sangat riuh.Acara selesai dan langsung ditutup jam dua belas siang, dilanjutkan dengan lunch bersama. Namun Marisa hanya makan buah dan puding. Dia tidak menyentuh nasi sama sekali karena sudah berjanji akan menemani Aksara untuk makan siang.Sebisa mungkin Marisa menghindari berbincang dengan Hugo, meski laki-laki itu berusaha mencari celah untuk mendekatinya. Marisa tidak menggubris pandang kekaguman Hugo terhadapnya. Marisa sadar statusnya sebagai seorang istri. Satu per satu peserta seminar undur diri, begitu juga dengan Marisa. Dia pamitan pada Citra, Shinta, dan beberapa orang yang berada di dekatnya. Kemudian menghilang sebelum Hugo mengetahui kalau dia hendak pergi.Saat masuk kamar, sudah ada hidangan untuk makan
"Ris, kita nggak usah ke sana saja. Nanti mas kirim pesan permintaan maaf pada Pak Kyai," ujar Aksara saat mereka rebahan setelah salat zhuhur.Kenzi sudah terlelap setelah digantikan bajunya dan selesai minum susu. Kamar kos Aksara kali ini lebih luas daripada sebelumnya. Aksara bayar sendiri untuk sewanya, sedangkan kosan yang lama adalah fasilitas dari perusahaan."Kita ke sana sebentar saja, Mas. Untuk menghargai niat baik Pak Kyai yang sudah mengundang kita. Aku ngerasa nggak enak karena beliau juga ngomong ke aku tadi."Aksara memiringkan tubuh menghadap ke istrinya. "Mas nggak ingin setelah dari sana kita berselisih paham lagi. Sudahlah, biar saja mereka beranggapan apapun pada kita.""Kadang aku juga bingung dengan situasi yang seperti ini. Mbak Hafsah juga masih ada di sini. Setelah pindah, apa Mas pernah bertemu dengannya?""Enggak, semenjak pindah kosan. Mas juga pindah laundry, nggak pernah keluar kecuali ke kantor dan beli makan."Hening. Keduanya menyusuri arus perasaan
Hafsah memeluk Marisa, kemudian mencium pipi Kenzi. Gadis bergamis kembang-kembang itu tampak ceria. Tidak menunduk diam seperti saat bertemu di rumah makan tadi siang.Marisa tak mau kalah, dia menunjukkan wajah sumringah. Meski dadanya bergemuruh. Meski Aksara sudah meyakinkannya, bahwa dialah satu-satunya wanita yang memiliki puncak rasa itu."Mari masuk, sudah ditunggu Abah dan Pakdhe di dalam." Hafsah melangkah lebih dulu menuju pendopo, kemudian terus ke arah pintu utama rumah dengan eksterior yang masih mempertahankan khas adat Jawa Timur.Rumah klasik itu terlihat elegan dengan sentuhan perawatan modern. Pilar-pilar besar dari kayu jati tampak memberikan ciri khas tersendiri. Atap rumah berbentuk joglo dengan ukir-ukiran khas yang menciptakan budaya Jawa yang kental."Assalamu'alaikum," ucap Aksara ketika berada di depan pintu."Wa'alaikumsalam," jawab serempak Pak Kyai Abdul Qodir dan laki-laki yang memakai baju koko warna putih serta peci hitam. Wajah mereka sangat mirip. Mu
"Kamu nggak usah takut, Mbak. Cerita saja. Oh, saya panggil Dek saja ya. Umurmu masih jauh dibawah saya pastinya." Kholifah ternyata sangat ramah. Cara bicaranya cukup tenang dan pandangannya sangat bersahabat."Saya sudah tahu semuanya. Sempat penasaran dengan sosok yang bernama Aksara dan malam ini saya bisa bertemu dengannya sekaligus bertemu istrinya."Marisa tersenyum samar. Tidak peduli Kholifah siapa, akhirnya Marisa membenarkan semuanya. "Saya mengalami pasang surut dengan perasaan sendiri karena hal ini, Mbak. Padahal suami saya sudah menolak. Saya nggak paham maunya Mbak Hafsah apa? Mungkin baginya ini hal biasa, tapi sangat meresahkan buat saya. Jika Mbak Hafsah siap menjadi istri kedua, belum tentu pria yang diinginkannya siap beristri dua. Saya pikir segalanya telah selesai saat itu juga, ketika terakhir Mas Aksa menolak berpoligami. Tapi kenyataannya tidak."Kholifah memerhatikan Marisa. Sebagai sesama wanita, ia paham apa yang dirasakan perempuan muda di sebelahnya. Apa