"Kamu nggak usah takut, Mbak. Cerita saja. Oh, saya panggil Dek saja ya. Umurmu masih jauh dibawah saya pastinya." Kholifah ternyata sangat ramah. Cara bicaranya cukup tenang dan pandangannya sangat bersahabat."Saya sudah tahu semuanya. Sempat penasaran dengan sosok yang bernama Aksara dan malam ini saya bisa bertemu dengannya sekaligus bertemu istrinya."Marisa tersenyum samar. Tidak peduli Kholifah siapa, akhirnya Marisa membenarkan semuanya. "Saya mengalami pasang surut dengan perasaan sendiri karena hal ini, Mbak. Padahal suami saya sudah menolak. Saya nggak paham maunya Mbak Hafsah apa? Mungkin baginya ini hal biasa, tapi sangat meresahkan buat saya. Jika Mbak Hafsah siap menjadi istri kedua, belum tentu pria yang diinginkannya siap beristri dua. Saya pikir segalanya telah selesai saat itu juga, ketika terakhir Mas Aksa menolak berpoligami. Tapi kenyataannya tidak."Kholifah memerhatikan Marisa. Sebagai sesama wanita, ia paham apa yang dirasakan perempuan muda di sebelahnya. Apa
Marisa diam sejenak, menarik napas, dan kembali memandang pada Hafsah yang duduk dengan wajah pucat di hadapannya. Bibirnya bergetar dan tidak berani menatap Marisa. Dia tidak malu berulang kali mengucapkan permintaan maaf. Merendahkan diri dan mengakui kesalahan yang dilimpahkan padanya, sekaligus untuk menjatuhkan perempuan munafik dihadapannya."Saya yang terlalu berlebihan. Seharusnya sejak awal saya menyadari, jika ingin bersama Anda, tentu Mas Aksara nggak mungkin memilih saya. Sekali lagi saya minta maaf pada Pak Kyai, Bu Haji, dan Mbak Hafsah. Karena berprasangka buruk pada perempuan terhormat seperti Anda. Kesalahpahaman yang membuat saya stres berlebihan dan kehilangan calon bayi saya tiga minggu yang lalu." Meski dadanya nyaris meledak, tenggorokan rasanya tersekat, tapi Marisa bisa menuntaskan kata-katanya.Pak Kyai menatap Marisa yang tegar menghadapi keluarganya. Pria sepuh yang sesungguhnya tahu permasalahan setelah diberitahu oleh Kholifah, tapi tak sanggup berkata-kat
Aksara meletakkan kembali ponselnya tatkala benda itu berhenti berpendar. Siapa yang menelepon istrinya subuh-subuh begini.Tak lama kemudian Marisa keluar dari kamar mandi memakai handuk kimono warna merah jambu. Rambutnya yang basah terbelit handuk kecil."Ada apa, Mas?" tanya Marisa saat mengetahui sang suami duduk sambil memperhatikan ponselnya."Ada yang menelepon tadi. Waktu mau mas angkat langsung dimatikan."Marisa meraih ponselnya dan membuka folder panggilan masuk. Benar, ada sederet angka yang baginya pun asing."Siapa?""Entahlah, aku juga nggak tahu." Marisa kembali meletakkan ponselnya."Bos Point Logistic?"Marisa tertawa melihat raut tak suka di wajah suaminya. "Mas, kan sudah memblokir nomernya.""Siapa tahu menghubungi pakai nomer lain? Kamu bilang dia terlibat kerjasama dengan Pak Daniel, kan.""Hu um. Tapi belum di mulai, Mas. Masih tahap pembicaraan," jawab Marisa seraya menggosok rambut basahnya menggunakan handuk."Kamu sering bertemu dengannya?"Marisa memandan
Ketika hati telah merelakan segala yang terjadi dan menganggap semua selesai, meski dirinya yang dituduh sebagai istri 'baperan', tak mengapa. Asal jangan lagi bertemu dan berkaitan lagi dengan gadis itu. Namun kenapa sekarang Hafsah mengajaknya ketemuan?"Mbak Risa, belum pulang 'kan? Tolong saya ingin bertemu. Di mana tempatnya, saya ngikut saja," kata Hafsah."Sebentar." Marisa menjauhkan ponselnya dan minta pertimbangan sang suami. Aksara awalnya keberatan. Sudah cukuplah persoalan kemarin. Tidak perlu lagi dibahas dan untuk apa bertemu lagi. Namun jika ingat Pak Kyai, Marisa sendiri merasa tak enak hati. Laki-laki itu sebenarnya sangat baik, mungkin beliau pula yang menyarankan ke putrinya untuk meminta maaf.Akhirnya Aksara akur dengan pertimbangan yang disampaikan Marisa, untuk menunggu Hafsah datang ke Rumah Makan Mewah. Ketika tengah menikmati sarapan, Hafsah datang di temani oleh Kholifah.Marisa menawari sarapan, tapi kedua wanita itu menolak. Dengan berurai air mata, Hafsa
"Oke, mas harus nganterin kamu ke mana ini?" tanya Aksara setelah mobil keluar dari area gedung olahraga dan berhenti di depan pintu pagar. Ia harus memastikan hendak ke mana mengambil jalur yang tepat."Ambil arah kiri saja, Mas.""Serius mas nanya. Sebenarnya kita mau ke mana?" Aksara bingung juga."Tempat praktek dokter Yunita," jawab Marisa yang membuat suaminya terkejut."Sayang, kamu hamil?"Marisa tersenyum lantas dikeluarkannya sebuah benda dari dalam tas. Ditunjukkan pada sang suami, sebuah testpack seperti biasa yang sering ia pakai untuk mengecek kehamilan secara instan."MasyaAllah, Sayang, serius ini?" Aksara memerhatikan benda di tangannya setelah menyalakan lampu kabin mobil. Kabar yang ditunggunya diam-diam pasca Marisa keguguran empat bulan yang lalu."InsyaAllah. Makanya kita ke dokter Yunita untuk mastiin. Soalnya aku baru telat haid sekitar semingguan," jawab Marisa sambil tersenyum."Oke." Aksara mematikan lampu kabin setelah itu meluncur pergi. Tak sabar ingin me
Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan
"Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks
Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja