Aksara meletakkan kembali ponselnya tatkala benda itu berhenti berpendar. Siapa yang menelepon istrinya subuh-subuh begini.Tak lama kemudian Marisa keluar dari kamar mandi memakai handuk kimono warna merah jambu. Rambutnya yang basah terbelit handuk kecil."Ada apa, Mas?" tanya Marisa saat mengetahui sang suami duduk sambil memperhatikan ponselnya."Ada yang menelepon tadi. Waktu mau mas angkat langsung dimatikan."Marisa meraih ponselnya dan membuka folder panggilan masuk. Benar, ada sederet angka yang baginya pun asing."Siapa?""Entahlah, aku juga nggak tahu." Marisa kembali meletakkan ponselnya."Bos Point Logistic?"Marisa tertawa melihat raut tak suka di wajah suaminya. "Mas, kan sudah memblokir nomernya.""Siapa tahu menghubungi pakai nomer lain? Kamu bilang dia terlibat kerjasama dengan Pak Daniel, kan.""Hu um. Tapi belum di mulai, Mas. Masih tahap pembicaraan," jawab Marisa seraya menggosok rambut basahnya menggunakan handuk."Kamu sering bertemu dengannya?"Marisa memandan
Ketika hati telah merelakan segala yang terjadi dan menganggap semua selesai, meski dirinya yang dituduh sebagai istri 'baperan', tak mengapa. Asal jangan lagi bertemu dan berkaitan lagi dengan gadis itu. Namun kenapa sekarang Hafsah mengajaknya ketemuan?"Mbak Risa, belum pulang 'kan? Tolong saya ingin bertemu. Di mana tempatnya, saya ngikut saja," kata Hafsah."Sebentar." Marisa menjauhkan ponselnya dan minta pertimbangan sang suami. Aksara awalnya keberatan. Sudah cukuplah persoalan kemarin. Tidak perlu lagi dibahas dan untuk apa bertemu lagi. Namun jika ingat Pak Kyai, Marisa sendiri merasa tak enak hati. Laki-laki itu sebenarnya sangat baik, mungkin beliau pula yang menyarankan ke putrinya untuk meminta maaf.Akhirnya Aksara akur dengan pertimbangan yang disampaikan Marisa, untuk menunggu Hafsah datang ke Rumah Makan Mewah. Ketika tengah menikmati sarapan, Hafsah datang di temani oleh Kholifah.Marisa menawari sarapan, tapi kedua wanita itu menolak. Dengan berurai air mata, Hafsa
"Oke, mas harus nganterin kamu ke mana ini?" tanya Aksara setelah mobil keluar dari area gedung olahraga dan berhenti di depan pintu pagar. Ia harus memastikan hendak ke mana mengambil jalur yang tepat."Ambil arah kiri saja, Mas.""Serius mas nanya. Sebenarnya kita mau ke mana?" Aksara bingung juga."Tempat praktek dokter Yunita," jawab Marisa yang membuat suaminya terkejut."Sayang, kamu hamil?"Marisa tersenyum lantas dikeluarkannya sebuah benda dari dalam tas. Ditunjukkan pada sang suami, sebuah testpack seperti biasa yang sering ia pakai untuk mengecek kehamilan secara instan."MasyaAllah, Sayang, serius ini?" Aksara memerhatikan benda di tangannya setelah menyalakan lampu kabin mobil. Kabar yang ditunggunya diam-diam pasca Marisa keguguran empat bulan yang lalu."InsyaAllah. Makanya kita ke dokter Yunita untuk mastiin. Soalnya aku baru telat haid sekitar semingguan," jawab Marisa sambil tersenyum."Oke." Aksara mematikan lampu kabin setelah itu meluncur pergi. Tak sabar ingin me
Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan
"Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks
Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja
Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,
Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam