Cuaca tidak seterik tadi, karena matahari mulai tergelincir ke langit sebelah barat. Angin musim pancaroba berembus sepoi menjatuhkan dedaunan kering. Agak adem dibandingkan saat Marisa dan Kenzi baru sampai tadi.Wanita yang menyambut Marisa sangat baik dan ramah. Mengajaknya makan siang dengan membawa turun bakul nasi, sepiring lauk berisi tempe dan ikan goreng. Juga semangkuk sup. Kenzi bisa ikut makan karena paling suka sup yang ada kentang dan wortelnya."Saya jadi ngrepotin, Mbak.""Enggak. Siapa bilang ngrepotin. Panggil saja saya Mbak Yati. Pak Aksa tuh baik sama kami. Padahal juga jarang ketemu. Baru seminggu ini saja menetap di sini."Selesai di suapi, Kenzi diajak bermain oleh Fadil, anak lelakinya Mbak Yati yang sudah kelas 6 SD. Mereka main mobil-mobilan di teras. Dua bocah beda umur itu cepat sekali akrab.Marisa membantu Mbak Yati menyimpan kembali nasi dan lauk di atas meja yang menyatu dengan meja dapur dan kompor. Kosan yang serba guna. Kamar tidur sekaligus dapur un
Marisa mengambil cermin kecil dari pouch make up-nya. Kemudian tersenyum saat melihat wajahnya di pantulan cermin. "Hmm, mau perjalanan jauh harus tampil cantik, dong. Harus kelihatan segar. Lagian cuman aku tebalin dikit dari biasanya. Biar nggak perlu meng-upgrade riasan lagi.""Astaghfirullah. Kamu kan pergi tanpa suami.""Tapi aku bawa anak, kan? Siapa juga yang mau ngisengin emak-emak bawa bocah," bantah Marisa."Selama Mas nggak di rumah, kamu juga dandan seperti ini kalau pergi kerja?"Melihat suaminya terpancing, Marisa justru ingin menggodanya. Wanita itu tersenyum lebar, tanpa memberikan jawaban. "Kenzi, kita mandi dulu, yuk!""Biar mas rebuskan air dulu untuk mandi Kenzi. Di sini nggak ada water heater." Aksara mendudukkan Kenzi di kasur, lalu bangkit dan mengisi panci ukuran sedang dengan air lalu merebusnya di kompor single yang ada di pojok kamar.Marisa memperhatikan ruangan kamar. Ada televisi layar datar yang menempel di dinding, kulkas mini yang berada di sebelah dis
Aksara mengeluarkan ponsel dengan buru-buru dari saku celananya. Perasaan seketika tidak karuan. Otomatis ia membayangkan Marisa yang mengurus Kenzi sendirian dalam perjalanan. Dalam kondisi hamil muda pula, pasti kerepotan. Walaupun kemarin bilang baik-baik saja.Dua kali panggilannya tidak dijawab. Aksara mulai gelisah. Dua panggilan lagi sia-sia. Dengan cepat ia mengetik pesan. Telepon saja tidak direspon apalagi pesan. Aksara kembali menelpon, tapi juga percuma. Laki-laki itu berdecak lirih. Geram campur cemas. Kenapa Marisa tidak bicara langsung saja padanya, jadi dia bisa memaksa agar menunggu dirinya selesai meeting lantas mengantarkan mereka pulang.Apa sesungguhnya walaupun diam, tapi Marisa marah? Aksara merasa serba salah. Hendak cerita di telepon takut Marisa malah salah paham. Setelah tahu sendiri, pasti pikirannya pun menduga yang bukan-bukan.Aksara mengusap wajah dengan telapak tangan. Perasaannya kian bersalah, ingat semalam menyentuh istrinya dengan sedikit kasar. H
Aksara yang tengah duduk menyimak penjelasan dari surveyor dan tim meeting pagi itu tidak bisa tenang. Terlebih susah untuk konsentrasi, padahal dia yang memimpin rapat. Membayangkan Marisa yang naik kereta bersama Kenzi. Satu jam sudah mereka di perjalanan.Berulang kali ia melirik pada benda pipih yang tergeletak di sebelah laptopnya. Tak ada pendar yang menandakan pesan atau teleponnya dibalas. Diraihnya benda itu untuk dibuka. Terlihat sang istri terakhir online jam enam tadi. Apa ponselnya kehabisan baterai. Tapi tidak mungkin, kemarin sore ia melihat Marisa mengecas ponselnya.Aksara melihat senarai daftar pembahasan meeting pagi itu. Masih banyak yang harus dibahas. Mau jam berapa itu nanti selesai."Pak Yudi, saya ke belakang sebentar!" pamitnya pada laki-laki setengah baya yang duduk di sebelahnya.Tak biasanya Aksara meninggalkan meeting disaat acara belum selesai. Dia sangat profesional. Namun pagi ini pikirannya memang berantakan. Terlebih jika ingat apa yang dilakukannya
"Ris, kamu kenapa to, Nduk?" tanya Bu Rahmi duduk di sebelah Marisa. Wajahnya menunjukkan gurat kekhawatiran saat melihat putri sulungnya datang sambil membawa ransel besar dan stroller Kenzi. Pikiran seorang ibu sudah ke mana-mana. Tentunya memikirkan kemungkinan yang paling ditakutkan seorang ibu. Kekacauan dalam rumah tangga anaknya.Marisa yang kecapekan bersandar di punggung sofa tersenyum pada ibunya. "Ibu, pasti mikirnya yang aneh-aneh 'kan? Aku nggak minggat dari rumah, Bu. Aku tadi baru pulang dari Jember. Kemarin aku dan Kenzi nyusul Mas Aksara ke sana, karena dia nggak bisa pulang. Banyak kerjaan. Tadi Kenzi rewel pengen balik lagi ikut ayahnya, makanya aku ajak ke sini. Biar bermain sama Najwa.""Woalah, Ris. Kamu bikin hati ibu rontok tadi." Wanita itu menghela napas lega. "Aku mau tiduran sebentar, Bu. Capek banget. Nanti kalau Kenzi minta susu, suruh Ulfa bikinin. Susunya ada di tas ini." Marisa menepuk tas kecil tempat susunya Kenzi yang ada sofa."Iya, nanti biar ibu
"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mbak Risa di situ, Ul.""Ya, Mas. Mbak Risa lagi makan ini.""Gimana kondisinya?""Nggak apa-apa tuh, baik saja. Dia lagi makan, Kenzi main sama Najwa dan Ziyan sambil disuapi ibu. Memangnya kenapa, Mas?" pancing Ulfa."Bisa minta tolong, nanti anterin Risa sama Kenzi pulang ke rumah." "Iya, nanti aku anterin naik motor, Mas." Ulfa nyengir, sengaja memang bicara seperti itu."Jangan naik motor. Kakakmu lagi hamil itu."Reflek Ulfa langsung memandang sang kakak. "Iya, nanti kami naik taksi.""Makasih, Ulfa. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Ulfa merapat pada kakaknya yang tengah menyuap nasi. "Mbak Risa, hamil lagi?"Marisa mengangguk. "Jangan bilang ke ibu dulu. Aku belum cek ke dokter.""Okelah," jawab Ulfa yang tetap duduk di sana menunggui sang kakak yang masih makan. Dia harus diam seperti yang diminta sang kakak."Assalamu'alaikum." Suara salam sontak membuat mereka menoleh ke luar."Wa'alaikumsalam." Ulfa bangkit dari duduknya untuk mel
"Demam istri Bapak sangat tinggi. Hingga membuat Bu Marisa tak sadarkan diri tadi. Suhu tubuhnya mencapai 40°C. Makanya waktu pendarahan yang seharusnya mengalami kram perut, tapi istri Anda sampai tak merasakannya karena setengah tidak sadar. Pendarahannya juga lumayan. Tapi kami sudah mencoba memberikan obat, semoga bisa menyelamatkan janinnya. Usia kehamilannya juga baru lima minggu dan ini memang usia rawan. Kecapekan, stres berlebihan bisa menyebabkan pendarahan bahkan keguguran." Dokter kandungan memberikan penjelasan kepada Aksara setelah selesai melakukan pertolongan pertama pada Marisa.Aksara tidak tahu harus menjawab apa, selain meminta supaya memberikan perawatan yang terbaik untuk istrinya. Hanya rasa cemas yang memenuhi dadanya."Kalau pendarahannya berhenti, InsyaAllah janinnya selamat. Kami akan melakukan pemeriksaan lagi nanti. Kalau memang tidak bisa dipertahankan, kami harus melakukan tindakan kuretase."Aksara mengangguk pasrah. Setelah dokter pergi, dia masuk ke r
Ketika tengah berbincang-bincang, pintu diketuk dari luar, lalu masuk dokter dan seorang perawat. Mereka hendak melihat kondisi pasien setelah sadar.Johan ke luar, tinggal Aksara dan Marisa yang berdiri agak kebelakang. Waktu sebentar itu dimanfaatkan oleh Aksara untuk menceritakan sekilas tentang kesalahpahamannya dengan Marisa. Aksara butuh seseorang yang bisa membantunya untuk meyakinkan kepada sang istri, bahwa antara dia dan Hafsah tak pernah ada hubungan apapun selain sebagai tetangga.Baginya Johan dan Mahika adalah orang yang tepat untuk tahu permasalahannya. "Kalau aku diposisi istrimu pun, pasti akan memiliki pemikiran yang sama. Jangan salahkan Risa, karena sejak awal dia tahu kalau gadis itu memang menginginkanmu. Harusnya Hafsah menjauh, nggak perlu lagi mendekat dengan alasan klise. Alasan karena memang saling kenal, bertetangga, terlebih mengirimkan sesuatu yang nggak perlu. Dia seharusnya mengerti karena lebih paham tentang agama. Kalau pun kamu ingin tetap menjaga