Marisa menghampiri mobil suaminya yang berhenti di depan kafe. Dia tadi sudah memberitahu Aksara, kalau akan bertemu seseorang di sana.Meski Shela mengikuti, tak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Marisa. Dia tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Apa yang mesti ditakutkan? Dia bukan perempuan jalang yang memanfaatkan keadaan dengan mengeruk harta pria kaya yang menyukainya. Kalau mau, bukan hanya lima puluh juta yang ia dapatkan. Tapi lebih dari itu. Terlihat Daniel memang jatuh cinta padanya. Bahkan nekat hendak menikahinya. Kalau ia sejenis perempuan ja-lang. Jelas tidak akan melepaskan peluang itu, apalagi ia butuh uang untuk menopang keluarga. Siapa perempuan yang tidak suka hidup mewah, plus menjadi nyonya dari lelaki tampan dan kaya? Tidak perlu kerja keras, uang sudah pasti mengalir deras. Bukan hanya uang saja, ia sekaligus mendapatkan kenikmatan juga. Daniel bukan lelaki buruk rupa 'kan? Dia tak kalah gagah dari Aksara.Namun apa ada kebahagiaan sejati dengan merampas ke
Aksara luluh. Tatapannya tak setajam lagi. Dipeluknya sang istri seperti biasanya. Marisa lega. Ketika ia menganggap kisahnya mencintai Delia dan mantan kekasihnya dulu hanya masa lalu yang ingin di tutup rapat. Maka ia tak layak memperdebatkan apa yang telah dipaparkan oleh Marisa baru saja."Minggu depan mas ada pekerjaan ke Jember, mungkin nginap di sana dua malam. Mas nggak tega kamu sendirian di apartemen. Gimana enaknya, sementara kamu tinggal di rumah mama apa di rumah ibu?" Aksara mengalihkan percakapan."Saran Mas sendiri gimana? Sebenarnya kalau hanya dua malam saja, nggak apa-apa aku tinggal di apartemen sendirian.""Jangan. Mas yang khawatir kalau kamu sendirian di sana.""Bagaimana kalau aku nginap di rumah ibu?"Aksara memandang istrinya. Jujur saja, ia keberatan Marisa pulang ke rumah ibunya. Bukan apa-apa, hati terdalamnya seolah menganggap ia akan ditinggalkan. Marisa seperti pergi meninggalkannya dan kembali pulang ke orang tuanya. Perasaannya sungguh konyol, tapi it
Tiga bulan kemudian ....Tiga bulan terakhir yang sangat berat bagi Daniel. Mulai dari kasus perselingkuhan istrinya, proses perceraian yang memakan waktu cukup lama, karena Shela membuat banyak drama di sidang kedua mereka. Kesalahan Daniel mendekati Marisa waktu itu juga diungkit dalam sidang. Ada bukti transfer yang dijadikan senjata oleh istrinya. Dimanfaatkan agar Daniel membatalkan perceraian mereka karena sama-sama melakukan kesalahan. Namun Daniel tidak goyah. Untungnya Marisa bisa membantu dengan menunjukkan bukti transfer ke yayasan waktu itu. Marisa siap dijadikan saksi kalau dibutuhkan. Karena dia harus membersihkan nama baiknya karena difitnah jadi selingkuhan Daniel.Belum lagi menjelaskan pada anak-anak tentang perpisahan kedua orang tuanya. Daniel sangat bersyukur, peran sang mama sangat penting untuk membantunya menenangkan dan memberikan pengertian pada Chika dan Marcel."Maaf, Risa. Kalau kasus perceraianku harus melibatkanmu juga," kata Daniel siang itu. Ketika Ma
Gadis berjilbab merah maroon itu tampak lebih segar daripada dua bulan yang lalu. Jauh lebih baik lagi setelah bisa mengatasi kemelut perasaannya sendiri. Semoga saja, Hafsah benar-benar sudah move on dari keinginannya untuk menikah dengan Aksara. Marisa berdoa agar Hafsah segera bertemu dengan jodohnya. "Mbak Marisa, kok sendirian?" tanya Hafsah."Iya, pulang kerja saya langsung ke sini. Kantor saya dekat kok." Sedapat mungkin Marisa menepis rasa canggungnya."Oh," jawab Hafsah kemudian kembali menyendok bakso di mangkuk.Melihat perut Marisa yang membulat, hati Hafsah terasa nyeri. Mungkin, mungkin saja dia akan sulit bisa hamil seperti Marisa. Menjadi perempuan sempurna versinya, mengandung dan melahirkan. Makanya ia tidak ingin bertanya, berapa usia kandungan wanita dihadapannya ini."Besok jam berapa kamu berangkat ke Jember?" Pertanyaan Afifah kepada Hafsah yang membuat Marisa terkejut. Namun ia tetap fokus menikmati baksonya."Pagi. Naik kereta jam tujuh.""Pulang kapan?""Mun
Sejenak wajah Marisa menunjukkan raut terkejut melihat mobil yang berhenti. Tak sampai tiga detik, senyum merekah menghiasi wajah cantiknya. Dari dalam mobil muncul pria berahang tegas memakai jaket kulit warna hitam dan celana jeans warna senada. Senyum memikat terbit di bibirnya."Mas," panggil Marisa keheranan. Bagaimana mungkin suaminya pulang sepagi itu? Padahal dia bilang masih dua hari lagi baru kembali. Biasanya sampai rumah juga malam. Aksara membuka pintu mobil untuk istrinya. Kemudian pria itu berlari kecil memutari kendaraan."Mas, kok nggak bilang mau pulang pagi ini. Terus pesanku juga nggak dibalas.""Sengaja mau bikin surprise untukmu," jawab Aksara sambil menyetir pelan meninggalkan halte."MasyaAllah. Mas, berangkat jam berapa dari Jember?" "Jam satu malam."Marisa terbeliak. Jam satu malam? Di saat dirinya mungkin baru bisa tidur setelah ngobrol dengan Ulfa, sang suami memulai perjalanannya dari kota di ujung sana."Mas, bahaya kan nyetir sendirian malam-malam be
"Mulai sekarang, mas-mas semua nggak usah mencarikanku jodoh. Kalau ingin menikah, biarlah itu adalah pria pilihanku sendiri," ucapnya di depan ketiga kakak lelakinya. "Jika Mas memaksaku menikah, apa kalian bisa menjamin kalau aku bakalan bahagia?"Pertanyaan yang membuat ketiga kakaknya bungkam. Hafsah susah diajak berbicara sekarang. Bahwa sebenarnya, tak ada pernikahan yang menjamin kebahagiaan selamanya. Kerikil tajam, tumpul, badai, pasti menghadang di hadapan. Alim pernah berteriak padanya karena sangat emosi. "Apa kamu pikir menikah dengan suami orang bisa menjadikanmu hidup bahagia?" Cintanya pada Aksara serasa seperti kutukan. Jatuh cinta pada lelaki itu semenjak dia masih bujangan hingga beristri. Aksara, satu-satunya lelaki yang ingin dinikahinya. Dia sadar kalau terluka dan patah hati sendirian. Aksara sudah pergi jauh darinya. Namun entah kenapa ia bisa merasakan tatapan aneh dari lelaki itu tiap kali mereka tak sengaja bertemu. Bukankah Aksara menolaknya karena mera
"Dilihat dulu siapa yang telepon, Mas. Mungkin ada yang penting," ujar Marisa sambil membenahi duduk dan mengikat rambutnya.Aksara meraih ponsel di nakas. Ternyata sang mama yang menelepon."Coba Mas call balik, sampai tiga kali nelepon. Mungkin ada sesuatu." Marisa ikut cemas. Khawatir saja sesuatu terjadi pada mertuanya. Aksara tak kalah khawatir. Mamanya flu saja, Aksara kepikiran. Terlebih kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Halo, Ma. Ada apa?" Tanpa mengucap salam, Aksara langsung bertanya ketika panggilan di terima sang mama. Suaranya penuh kepanikan. "Mama, nggak apa-apa 'kan?""Assalamu'alaikum. Kamu sampai lupa ngucap salam dulu, Nak. Mama nggak apa-apa.""Wa'alaikumsalam. Maaf, Ma. Nggak biasanya mama nelepon malam-malam begini. Makanya aku cemas tadi.""Kamu pulang ke Surabaya kapan?""Aku sudah pulang tadi pagi. Maaf, belum sempat nelepon mama.""Alhamdulillah, kalau kamu sudah pulang. Kamu sudah dengar kecelakaan kereta api tadi pagi?""Belum. Seharian ini aku
"Mama akhirnya mau ngikutin saran Mas. Jenguk jika Hafsah sudah dibawa pulang ke Surabaya saja atau Mas izinin pergi kalau Mbak Siti juga bisa ikut untuk menemani. Tapi sepertinya Mbak Siti nggak bisa ikut karena kursi sudah penuh.""Mama nggak kecewa kalau Mas paksa seperti itu? Aku tahu gimana nggak enaknya perasaan mama sama keluarga Pak Kyai, Mas.""Pilihan harus tetap dibuat, Sayang."Marisa termangu menatap suaminya. "Nanti aku akan ikut menjenguk kalau Mbak Hafsah sudah diajak pulang.""Kita lihat situasinya nanti. Niatmu baik, tapi belum tentu diterima mereka dengan baik."Benar juga yang dikatakan suaminya. Marisa bangkit dan membereskan meja makan dengan cepat. Hanya dua sendok dan dua gelas yang kotor, karena bungkus nasi pecel langsung di buang di tempat sampah. Sendok dan gelas bisa di cuci nanti saja sepulang kerja. Ia harus bersiap, menyapukan bedak sesegera mungkin supaya suaminya tidak berangkat kesiangan.***LS***"Permisi!" Aksara mengangkat wajah dan memandang ses