Hawa dingin yang membuai, alunan lagu yang menenangkan, membuat Marisa terlelap dengan cepat.Aksara melihat jam tangannya, lima menit lagi tepat pukul satu siang. Untungnya mereka tadi sudah Salat Zhuhur di mushola bawah sana. Dipandangi wajah perempuan yang lima bulan ini telah mendampinginya. Sejak awal pernikahan, mereka berdua sudah dihadapkan pada persoalan yang menguras hati dan pikiran. Terlebih untuk mereka, pasangan yang baru saling mengenal dan butuh adaptasi.Masih terbayang peristiwa beberapa jam yang lalu. Daniel memang berusaha meyakinkannya. Namun ia bisa merasakan bagaimana lelaki itu berusaha menekan dalam-dalam perasaannya pada Marisa. Aksara salut, dia pria kaya yang tidak memaksakan kehendaknya sendiri. Hujan makin deras. Airnya terbias hingga di tempat mereka duduk. Aksara bangun dari duduknya, membawa bantal masuk dan menatanya di tempat tidur. Kemudian dengan sangat hati-hati ia mengangkat tubuh Marisa untuk dipindahkan ke dalam. Baginya tidak kesulitan mena
Minggu malam ....Dua orang laki-laki duduk berhadapan di sebuah kafe tempat mereka janjian untuk bertemu. Kafe milik Tito, sahabat Daniel. Di atas meja bulat ada dua cangkir kopi hitam dan sepiring sandwich. Tadi Daniel telah sampai lebih dulu daripada Aksara. Sedangkan di balik meja kasir, Tito memperhatikan mereka berdua. Dia tahu tujuan dua lelaki itu bertemu."Hari Rabu nanti saya akan resmi bercerai dari Shela." Daniel bicara setelah menyesap kopinya.Aksara diam sambil memperhatikan. Tidak mungkin dia akan mengatakan 'semoga sukses' atau 'semangat, Pak Daniel', karena perpisahan tetaplah luka. Apalagi bagi anak-anak mereka. "Maafkan dia atas keributan kemarin pagi. Semenjak hubungan kami bermasalah, Shela memang sering bertindak semaunya sendiri. Nggak peduli orang lain terluka atau tidak. Tapi semua ucapannya jangan Mas Aksara masukkan ke hati yang bisa jadi beban dan salah paham terhadap Marisa. Jujur, saya pernah jatuh cinta dengan Marisa. Sebelum dia menjadi istri Anda. T
Tiga bulan kemudian ...."Risa."Marisa menoleh saat mendengar namanya dipanggil seseorang dari arah samping. Marisa kaget, Dimas dan istrinya telah berdiri tak jauh darinya.Lelaki itu tersenyum. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik." Marisa menyambut uluran tangan mereka. Namun Tika, istri Dimas diam saja. Menunjukkan wajah tak suka karena pertemuan tak sengaja itu. Bagaimanapun dia harus mengakui kalau sosok Marisa masih melekat dalam kenangan suaminya. Padahal dulu mereka pernah menjadi teman. Tika tahu hubungan Dimas dan Marisa. Pernah jalan bertiga dan mereka enjoy saja. Sekarang jelas sekali ada sekat yang menghalangi.Tika sebenarnya tidak merebut Dimas dari Marisa. Orang tua mereka yang menjodohkan setelah Dimas dan Marisa putus.Dimas terpaku sejenak pada perut besar Marisa. Kehamilan yang sangat didambakan oleh istrinya. Tapi hingga setahun lebih pernikahan, sang istri belum hamil lagi setelah keguguran sepuluh bulan yang lalu.Penampilan Marisa juga sudah berbeda. Wani
"Kalau kamu tahu, Mbak sudah melewati banyak hal, Ris. Segetir apapun itu. Makanya kalau sekedar nyinyiran tetangga yang nggak tahu apa-apa tentang kita, Mbak anggap angin lalu saja. Mereka percuma kalau mengusili hidup mbak. Karena nggak bakalan mempan." Mahika berkata sambil menerawang. Mengingat kepahitan yang pernah dikecapnya dulu. Pengalaman yang berbeda dari yang lain."Sayang, kamu mikirin apa?" tegur Aksara ketika melihat istrinya makan sambil melamun.Marisa tersenyum. "Aku ingat percakapanku dengan Mbak Mahika, Mas.""Percakapan tentang apa?""Tentang macam-macam. Tentang Mbak Sarah juga. Nggak nyangka kalau dia punya pengalaman pahit dalam pernikahan. Meski kami sering bertemu, tapi dia jarang menceritakan tentang kisah hidupnya.""Suaminya selingkuh, kemudian nikah siri diam-diam karena perempuan itu sudah terlanjur hamil. Makanya Mbak Sarah minta cerai dan nggak menikah lagi sampai sekarang. Dia fokus jagain anak dan bapaknya, sama menerima jahitan.""Tapi hidup mereka k
Aksara mencari sumber suara. Nira muncul di belakangnya bergandengan dengan Xavier. Mereka juga hanya berdua tanpa Xavira."Hai, Xavier, Nira." Aksara menyalami keduanya."Kenzi nggak kamu ajak, Mas?""Enggak. Dia di rumah sama Ubed.""Cie, yang mau honeymoon bikin dedek lagi," goda Nira dengan suara renyahnya. Aksara hanya menanggapi dengan senyuman."Vira nggak kamu ajak juga, Ra?" Marisa yang baru turun dari mobil menghampiri mereka."Enggaklah. Emak sama bapaknya mau honeymoon juga kaya kalian berdua ini," jawab Nira jenaka. Disambut senyum oleh Xavier. Nira memang suka ceplas ceplos seperti kakaknya.Aksara dan Xavier melangkah ke arah kantor, di mana para pegawai berkumpul di sana untuk briefing sejenak sebelum berangkat. Sedangkan Marisa dan Nira memilih duduk di bangku logam di bawah kanopi tempat parkir.Di halaman beberapa wanita juga duduk-duduk di tepi taman menunggu suaminya sambil memperhatikan anak-anak yang diajak serta. Anak-anak seusia TK berlarian riang gembira, mer
Kaliurang. Lagi-lagi mereka memilih destinasi di pegunungan yang berhawa sejuk untuk mengadakan acara bersama. Surabaya yang membara, membuat mereka menjatuhkan pilihan pada wisata puncak gunung.Siang itu mereka tidak merasakan kepanasan saat tiba di sana. Mereka juga langsung masuk ke vila masing-masing, karena pembagian tempat sudah diberitahukan sebelum berangkat.Beberapa vila yang berderet di lereng Merapi itu telah di booking jauh-jauh hari untuk acara famili gathering kali ini. Mendadak suasana di sana sangat ramai. Seperti sebuah perkampungan jadinya. Beberapa tenda kecil didirikan di halaman vila untuk tempat bermain anak-anak. Tidak lama setelah mereka sampai, datang dua mobil pickup yang membawakan makan siang untuk mereka. Selesai makan, sebagian langsung istrirahat dan sebagian lagi jalan-jalan menikmati keindahan lereng Merapi."Sayang, mas ingin bicara sesuatu," kata Aksara setelah mereka berada di kamar vila lantai dua. Vila paling pinggir yang ditempati oleh Aksar
Delia? Marisa heran kenapa wanita itu menyebut nama Delia. Apa dia kenal Delia kakaknya Nira? Atau ini Delia yang lain. Marisa menoleh pada Nira yang asyik melihat tanaman bunga mawar yang bermekaran di tepi jalan. Reaksi Nira biasa saja. Kalau saling kenal pasti mereka ngobrol, kan? Ini tidak. Bisa jadi bukan Delia kakaknya Nira yang dimaksud oleh Wina.Sikap Nira juga tidak menunjukkan kalau ia akrab dengan Wina. Padahal suami mereka berada di kantor yang sama."Nama saya Marisa. Bukan Delia, Mbak.""Oh, maaf." Wina jadi serba salah. Wajahnya mendadak pias karena rasa tak enak hati. Sejak tadi ia mengira kalau Marisa itu Delia. Wanita yang dicintai Aksara dan membuatnya penasaran selama ini. Ternyata pria itu menikah dengan gadis lain setelah berpisah dengannya."Delia yang Mbak maksud siapa, ya? Apa kakaknya Mbak itu?" Marisa menunjuk ke arah Nira yang pada saat bersamaan menoleh ke arah mereka.Wina menggeleng. "Enggak, Mbak. Saya nggak kenal. Maaf, ya. Saya hanya salah sebut ta
"Risa, apa kamu merasakan keanehan selama mas bertemu kembali dan terlibat kerja dengan Delia? Apa mas berubah? Nggak 'kan?""Karena Mas sangat pandai menyembunyikan perasaan. Pernikahan tidak hanya melulu soal cinta, tapi tanggungjawab dan komitmen. Dan itu yang mas lakukan dalam pernikahan kita.""Subhanallah, Sayang. Tolonglah jangan uji mas dengan rasa ketidakpercayaanmu. Kalau mas nggak mencintaimu, mas nggak akan menikah denganmu. Seandainya hanya tentang tanggungjawab saja, mas bisa menikahi perempuan lain meski tanpa cinta." Aksara tidak mengalihkan pandangan dari wajah Marisa. Menelusuri jejak kekecewaan yang tergambar jelas di sana. Tubuhnya merapat dan memaksa untuk memeluk sang istri. "Percayalah kalau mas hanya mencintaimu sekarang dan selamanya sampai batas usia kita."Hening. Marisa merasakan degup jantung Aksara yang tidak beraturan. Merasakan dekapan hangat tubuh tegap yang memeluknya erat. "Apa selama ini kamu tahu, Ris? Apa yang mas rasakan nyaris setiap hari sel