Kaliurang. Lagi-lagi mereka memilih destinasi di pegunungan yang berhawa sejuk untuk mengadakan acara bersama. Surabaya yang membara, membuat mereka menjatuhkan pilihan pada wisata puncak gunung.Siang itu mereka tidak merasakan kepanasan saat tiba di sana. Mereka juga langsung masuk ke vila masing-masing, karena pembagian tempat sudah diberitahukan sebelum berangkat.Beberapa vila yang berderet di lereng Merapi itu telah di booking jauh-jauh hari untuk acara famili gathering kali ini. Mendadak suasana di sana sangat ramai. Seperti sebuah perkampungan jadinya. Beberapa tenda kecil didirikan di halaman vila untuk tempat bermain anak-anak. Tidak lama setelah mereka sampai, datang dua mobil pickup yang membawakan makan siang untuk mereka. Selesai makan, sebagian langsung istrirahat dan sebagian lagi jalan-jalan menikmati keindahan lereng Merapi."Sayang, mas ingin bicara sesuatu," kata Aksara setelah mereka berada di kamar vila lantai dua. Vila paling pinggir yang ditempati oleh Aksar
Delia? Marisa heran kenapa wanita itu menyebut nama Delia. Apa dia kenal Delia kakaknya Nira? Atau ini Delia yang lain. Marisa menoleh pada Nira yang asyik melihat tanaman bunga mawar yang bermekaran di tepi jalan. Reaksi Nira biasa saja. Kalau saling kenal pasti mereka ngobrol, kan? Ini tidak. Bisa jadi bukan Delia kakaknya Nira yang dimaksud oleh Wina.Sikap Nira juga tidak menunjukkan kalau ia akrab dengan Wina. Padahal suami mereka berada di kantor yang sama."Nama saya Marisa. Bukan Delia, Mbak.""Oh, maaf." Wina jadi serba salah. Wajahnya mendadak pias karena rasa tak enak hati. Sejak tadi ia mengira kalau Marisa itu Delia. Wanita yang dicintai Aksara dan membuatnya penasaran selama ini. Ternyata pria itu menikah dengan gadis lain setelah berpisah dengannya."Delia yang Mbak maksud siapa, ya? Apa kakaknya Mbak itu?" Marisa menunjuk ke arah Nira yang pada saat bersamaan menoleh ke arah mereka.Wina menggeleng. "Enggak, Mbak. Saya nggak kenal. Maaf, ya. Saya hanya salah sebut ta
"Risa, apa kamu merasakan keanehan selama mas bertemu kembali dan terlibat kerja dengan Delia? Apa mas berubah? Nggak 'kan?""Karena Mas sangat pandai menyembunyikan perasaan. Pernikahan tidak hanya melulu soal cinta, tapi tanggungjawab dan komitmen. Dan itu yang mas lakukan dalam pernikahan kita.""Subhanallah, Sayang. Tolonglah jangan uji mas dengan rasa ketidakpercayaanmu. Kalau mas nggak mencintaimu, mas nggak akan menikah denganmu. Seandainya hanya tentang tanggungjawab saja, mas bisa menikahi perempuan lain meski tanpa cinta." Aksara tidak mengalihkan pandangan dari wajah Marisa. Menelusuri jejak kekecewaan yang tergambar jelas di sana. Tubuhnya merapat dan memaksa untuk memeluk sang istri. "Percayalah kalau mas hanya mencintaimu sekarang dan selamanya sampai batas usia kita."Hening. Marisa merasakan degup jantung Aksara yang tidak beraturan. Merasakan dekapan hangat tubuh tegap yang memeluknya erat. "Apa selama ini kamu tahu, Ris? Apa yang mas rasakan nyaris setiap hari sel
"Bun, aku ngantuk," rengek bocah perempuan berjilbab warna maroon sambil bersandar di tubuh sang ibu."Sebentar ya, kita tunggu Pak Dokter meriksa Mbah Kakung." Si ibu menenangkan putrinya dengan sabar dan suara yang lembut. Mengajak gadis kecil itu bercerita dan menyuruh tidur di pangkuannya.Apa yang dilakukan wanita itu tak luput dari perhatian Daniel. Kasihan ia melihat gadis kecil itu. Kenapa harus diajak ke rumah sakit. Apa tidak ada yang menemani di rumah? Bapaknya ke mana, kan yang sakit kakeknya. Tidak lama kemudian muncul seorang laki-laki memakai baju batik lengan panjang menghampiri wanita itu. "Gimana, Mbak Sarah?""Dokter belum keluar, Pak. Pak RT tinggal pulang saja nggak apa-apa. Bapak saya mesti harus opname.""Mbak Sarah, sendirian?""Nggak apa-apa, Pak RT. Terima kasih banyak udah bantu saya. Tadi saya sudah telepon sepupu, dia akan ke sini nanti."Lelaki berkopiah hitam itu mengangguk-angguk. Sebenarnya kasihan kalau harus meninggalkan Sarah dan anaknya. Tapi ia p
Ketika tengah diam bersandar pada tiang koridor, ia mendengar suara jerit tangis dari sebuah ruangan. Dua kamar dari tempat Pak Sigit di rawat. Tak lama kemudian seorang dokter di dampingi dua perawat berjalan tergesa menuju kamar itu. Kata-kata menenangkan terdengar disela tangis yang terdengar makin keras.Pintu kamar Pak Sigit terkuak. Sarah melongok keluar dan bersitatap dengan Daniel. "Apa ada pasien meninggal, Mas?" tanya Sarah lirih. "Sepertinya begitu, Mbak," jawab Daniel sambil memandang ke arah sumber suara."Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Sarah pelan. Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali.Setelah mengangguk sejenak pada Daniel, Sarah kembali menutup pintu kamar.Daniel menunduk dalam hening. Kematian itu ada dan menjadi hal yang wajar. Menjadi batas titik akhir hidup manusia. Karena hidup pasti berujung. Entah kapan datangnya, tapi itu pasti. Alam semesta mempunyai siklus. Hidup seperti roda yang berputar, terkadang di bawah, kadang ber
Bocah perempuan itu kembali bermain menyusun puzzle-nya. Kalau ditanya tentang ayahnya, Fatimah akan bilang tidak tahu atau hanya diam seperti itu. Sebenarnya dia sedih, kenapa tidak memiliki ayah seperti teman-temannya yang lain. Namun jika bertanya pada sang bunda, jawabannya tetap sama. "Ayah nggak tinggal sama kita lagi, Fatim. Rumah ayah jauh banget dari sini."Daniel merasa kehidupan gadis kecil itu tidak berbeda jauh dari anak-anaknya. Korban broken home. "Namamu siapa?" tanya Daniel dengan nada lembut. Khawatir kalau bocah itu akan pergi karena takut. Ia masih ingat kata-kata ibunya anak itu tadi malam."Fatimah, Om," jawab gadis kecil itu seraya memandang Daniel. Sorot mata yang penuh kerinduan akan sosok seorang ayah."Hmm, nama yang bagus. Ini dimakan biskuitnya!" Daniel kembali menyodorkan satu bungkus ukuran sedang biskuit aneka rasa.Fatimah kembali menggeleng.Pintu ruang perawatan Pak Sigit terkuak. Sarah muncul dari dalam dan kaget melihat Daniel berada di bangku dep
Meski badan masih terasa lelah dan sakit semua setelah perjalanan dari Jogja, Marisa tetap ke dapur usai Salat Subuh. Ada Mahika juga yang tengah membantu Mbak Siti memasak.Tadi malam dirinya dan Aksara sampai di rumah sang mama jam dua. Sebab bertolak dari Malioboro sehabis Salat Maghrib. Untungnya hari Senin pagi itu libur nasional. Lumayan masih bisa istirahat di rumah."Kalau capek kamu tiduran saja, Ris. Biar Mbak sama Mbak Siti yang masak," ujar Mahika sambil memotong sayur kangkung."Nggak apa-apa, Mbak. Entar siang aku masih bisa istirahat di rumah.""Kamu langsung pulang pagi ini?""Iya, soalnya Mas Aksa mau ngajak ke yayasan sebentar. Mbak Mahika, pulang siang ini apa sore?""Nanti setelah nganterin ibu jenguk Pak Sigit ke rumah sakit.""Loh, apa bapaknya Mbak Sarah sakit lagi?"Mahika mengangguk. "Malam Minggu kemarin di antar Pak RT ke rumah sakit dan langsung opname. Waktu mama nelepon Sarah kemarin sore, katanya besok Pak Sigit baru boleh pulang. Makanya mama mau ngajak
"Ris, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu," kata Daniel sambil menatap serius Marisa, setelah laki-laki itu mengecek berkas yang tadi diselesaikan oleh stafnya."Tentang apa, Pak?""Tentang Sarah?""Mbak Sarah maksud, Pak Daniel?" tanya Marisa dengan dahi mengernyit. Heran karena tiba-tiba si bosnya menanyakan wanita yang sangat ia kenal itu."Ya." Daniel kemudian mengulas awal pertemuannya dengan Sarah pada Marisa. "Apa dia seorang janda?" Marisa mengangguk. Ia melihat satu asa disorot netra bosnya. Tapi ia juga harus berhati-hati karena pernah tahu dulu Daniel itu bagaimana, meski sekarang telah jauh berubah."Dia tetangganya mertuamu, kan? Kalian pasti kenal baik.""Ya, saya kenal baik dengan Mbak Sarah. Rumahnya hanya jarak tiga rumah dari mama mertua saya, Pak.""Boleh kamu kenalkan aku padanya?" Daniel berkata serius. Sorot mata yang memandang Marisa menunjukkan itu."Kamu meragukanku, Ris?" tanya Daniel karena Marisa terdiam cukup lama. Dia hampir jadi korban, wajar saja kal