Meski badan masih terasa lelah dan sakit semua setelah perjalanan dari Jogja, Marisa tetap ke dapur usai Salat Subuh. Ada Mahika juga yang tengah membantu Mbak Siti memasak.Tadi malam dirinya dan Aksara sampai di rumah sang mama jam dua. Sebab bertolak dari Malioboro sehabis Salat Maghrib. Untungnya hari Senin pagi itu libur nasional. Lumayan masih bisa istirahat di rumah."Kalau capek kamu tiduran saja, Ris. Biar Mbak sama Mbak Siti yang masak," ujar Mahika sambil memotong sayur kangkung."Nggak apa-apa, Mbak. Entar siang aku masih bisa istirahat di rumah.""Kamu langsung pulang pagi ini?""Iya, soalnya Mas Aksa mau ngajak ke yayasan sebentar. Mbak Mahika, pulang siang ini apa sore?""Nanti setelah nganterin ibu jenguk Pak Sigit ke rumah sakit.""Loh, apa bapaknya Mbak Sarah sakit lagi?"Mahika mengangguk. "Malam Minggu kemarin di antar Pak RT ke rumah sakit dan langsung opname. Waktu mama nelepon Sarah kemarin sore, katanya besok Pak Sigit baru boleh pulang. Makanya mama mau ngajak
"Ris, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu," kata Daniel sambil menatap serius Marisa, setelah laki-laki itu mengecek berkas yang tadi diselesaikan oleh stafnya."Tentang apa, Pak?""Tentang Sarah?""Mbak Sarah maksud, Pak Daniel?" tanya Marisa dengan dahi mengernyit. Heran karena tiba-tiba si bosnya menanyakan wanita yang sangat ia kenal itu."Ya." Daniel kemudian mengulas awal pertemuannya dengan Sarah pada Marisa. "Apa dia seorang janda?" Marisa mengangguk. Ia melihat satu asa disorot netra bosnya. Tapi ia juga harus berhati-hati karena pernah tahu dulu Daniel itu bagaimana, meski sekarang telah jauh berubah."Dia tetangganya mertuamu, kan? Kalian pasti kenal baik.""Ya, saya kenal baik dengan Mbak Sarah. Rumahnya hanya jarak tiga rumah dari mama mertua saya, Pak.""Boleh kamu kenalkan aku padanya?" Daniel berkata serius. Sorot mata yang memandang Marisa menunjukkan itu."Kamu meragukanku, Ris?" tanya Daniel karena Marisa terdiam cukup lama. Dia hampir jadi korban, wajar saja kal
"Kamu yakin Mbak Sarah bakalan merespon positif?" tanya Aksara sambil menyelipkan rambut di belakang telinga sang istri."Semoga saja. Sudah waktunya Mbak Sarah menemukan kehidupan baru. Move on dari masa lalunya. Enam tahun sudah dia menjadi single parent. Bersama Pak Daniel, mereka bisa saling melengkapi. Fatimah juga punya ayah yang bisa memberinya kasih sayang dan perlindungan. Kalau Pak Daniel mementingkan dirinya sendiri, mungkin ia sudah menikah, Mas. Sekarang dia nggak hanya mencari istri, tapi juga ibu untuk anak-anaknya.""Pak Daniel sering mengajakmu curhat?""Enggak. Baru tadi pagi ngajak ngomong aku mengenai Mbak Sarah. Selama ini kamu komunikasi hanya tentang pekerjaan saja." Marisa diam sejenak, sambil terus menatap wajah berahang kokoh dihadapannya. "Terima kasih karena Mas sudah mempercayaiku selama ini." Senyum Marisa merekah. Aksara mengecup kening istrinya. Bahagia memiliki pendamping seperti Marisa. Yang selalu tersenyum manis saat menyambutnya pulang kerja, meny
"Fatimah!" seru Chika yang melihat kedatangan gadis kecil berbaju muslimah warna soft pink. Di sebelahnya, Sarah memakai gamis warna abu-abu masih mengandeng erat tangannya."Mbak Chika," balas Fatimah tampak girang. Tadi Bundanya tidak bilang kalau mau diajak bertemu dengan mereka. Makanya Fatimah sangat surprise bertemu dengan Chika dan Marcel.Meskipun Marcel tidak menyapa, tapi dia yang lebih dulu menyalami teman barunya. "Duduk sini!" Marcel menepuk bangku kosong di sebelahnya."Fatimah, salim dulu sama Pak Daniel," perintah Sarah.Daniel mencondongkan tubuhnya saat tangan kecil Fatimah terulur hendak menyalaminya. Chika dan Marcel juga melakukan hal yang sama pada Sarah."Maaf, kalau Pak Daniel kelamaan menunggu. Terjebak macet tadi.""Nggak apa-apa. Kamu naik apa tadi?""Naik taksi.""Oke, kalian mau makan apa? Fatimah mau pizza atau burger?" Daniel memandang Fatimah."Burger saja, Pak Daniel." Fatimah menjawab malu-malu. Biasanya dia tidak pernah mau dikasih apapun oleh orang
Chika dan Marcel keheranan saat sang papa mengajak mereka ke mushola. Hal yang tidak pernah dilakukan Daniel sama sekali. Selama ini setiap hari Chika ikut salat Mbak Narsih. Marcel kadang mau kadang juga tidak. Padahal guru mengaji tiap sore datang untuk mengajari mereka.Marcel ikut sang papa masuk ke tempat jamaah laki-laki. Sedangkan Sarah membimbing Fatimah dan Chika ke ruang jamaah perempuan. Musholla penuh oleh pengunjung yang hendak salat maghrib. Karena mukena harus bergantian, akhirnya Sarah, Fatimah, dan Chika tidak bisa ikut salat berjamaah. Tapi Daniel dan Marcel bisa ikut. Laki-laki itu sangat beruntung, karena salat sendirian takut salah gerakan pula.Senja itu, Daniel merasakan kesejukan batin setelah mengalami kemarau panjang. Sujud di atas sajadah telah memberikan ketenangan tersendiri baginya.Selesai salat, Daniel mengajak mereka untuk belanja perlengkapan sekolah. Membelikan tas baru, sepatu, dan alat tulis untuk Fatimah. Meski sudah ditolak oleh Sarah, Daniel te
"Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Maaf, saya gangguin kamu, padahal tadi siang kita sudah ngobrol lama. Karena saya nggak sabar pengen tahu apa keputusan kamu. Mama saya juga barusan telepon untuk bertanya."Sarah mengulum senyum. Sambil melangkah ke dekat jendela kaca di ruang keluarga. Menyibak sedikit gorden dan menatap hujan di luar."Bapak memberikan restunya, Pak Daniel. Saya sudah tanya dan beliau mau ikut saya kalau sudah menikah nanti. Tapi saya tahu, sebenarnya beliau sungkan ikut tinggal di rumah Pak Daniel.""Kenapa harus sungkan. Itu rumah saya pribadi. Hanya ada kita, anak-anak, dan beberapa pekerja di sana. Orang tua saya tinggal terpisah. Tolong yakinkan Bapak.""Insyaallah.""Jadi kamu setuju kalau kita lamaran dan langsung menikah di hari yang sama."Sarah mengangguk. Hening."Kenapa diam. Mbak Sarah, setuju kalau kita lamaran langsung menikah, 'kan?" Daniel mengulang pertanyaan."I-iya, saya setuju," jawab Sarah gugup. Gimana tidak gugup, dia tadi mengang
"Tentang lingkungan tempat tinggalnya. Sarah benar-benar nggak ingin aku datang ke rumahnya. Apa separah itu warga di sana?""Menurut saya begitu, Pak. Itulah kenapa Mas Aksara sampe ngajak saya pindah dari sana. Padahal dia sangat berat meninggalkan mamanya."Daniel heran dengan jawaban Marisa. Sebab selama ini yang ia tahu, wanita itu dan suaminya sangat baik-baik saja. Pasangan harmonis yang membuatnya iri dan cemburu. Aksara sangat perhatian dan tanggungjawab. Bisa dilihat dari cara laki-laki itu menatap Marisa. Lantas apa yang membuat tentangga nyinyir pada mereka sampai harus memutuskan pindah rumah? Bukankah rumah mamanya Aksara sangat luas dan megah."Memangnya ada apa dengan kalian kalau terus tinggal di sana?"Marisa tersenyum. "Ini masalah pribadi, Pak Daniel. Maaf, saya nggak bisa cerita." Tentu Marisa tidak akan menceritakan mengenai permasalahan mereka. Curhat dengan lawan jenis terkadang tidak mendapatkan jalan penyelesaian, tapi hanya akan menimbulkan permasalahan bar
Sarah menahan napas beberapa saat sebelum menghembuskannya dengan hati berdebar-debar. Tangannya saling bertaut menutupi getarnya. Momen seperti ini pernah ia alami delapan belas tahun yang lalu. Ketika ayah Fatimah menikahinya dalam resepsi yang meriah.Sang kakak ipar, istrinya Dirga yang datang bersama suami dan anaknya dari Kalimantan, segera bangkit untuk membimbing adik iparnya berdiri dan menuju tempat ijab qobul di halaman depan, bawah tenda yang telah dihias indah.Para tamu undangan yang notabene para tetangga sendiri, diam seribu bahasa ketika memandang lelaki gagah dengan setelan jas warna putih melangkah dengan wajah cerah memasuki tenda pernikahan, di apit kedua orang tuanya.Kasak kusuk kekaguman terdengar di tengah kaum perempuan yang menghadiri acara. Tak menyangka, Sarah yang janda, pendiam, tertutup, mendapatkan suami rupawan yang sukses dan terlihat sangat matang.Wanita pendiam itu tiba-tiba saja menikah dengan pria yang membuat dada mereka berdesir karena iri. Su