"Tentang lingkungan tempat tinggalnya. Sarah benar-benar nggak ingin aku datang ke rumahnya. Apa separah itu warga di sana?""Menurut saya begitu, Pak. Itulah kenapa Mas Aksara sampe ngajak saya pindah dari sana. Padahal dia sangat berat meninggalkan mamanya."Daniel heran dengan jawaban Marisa. Sebab selama ini yang ia tahu, wanita itu dan suaminya sangat baik-baik saja. Pasangan harmonis yang membuatnya iri dan cemburu. Aksara sangat perhatian dan tanggungjawab. Bisa dilihat dari cara laki-laki itu menatap Marisa. Lantas apa yang membuat tentangga nyinyir pada mereka sampai harus memutuskan pindah rumah? Bukankah rumah mamanya Aksara sangat luas dan megah."Memangnya ada apa dengan kalian kalau terus tinggal di sana?"Marisa tersenyum. "Ini masalah pribadi, Pak Daniel. Maaf, saya nggak bisa cerita." Tentu Marisa tidak akan menceritakan mengenai permasalahan mereka. Curhat dengan lawan jenis terkadang tidak mendapatkan jalan penyelesaian, tapi hanya akan menimbulkan permasalahan bar
Sarah menahan napas beberapa saat sebelum menghembuskannya dengan hati berdebar-debar. Tangannya saling bertaut menutupi getarnya. Momen seperti ini pernah ia alami delapan belas tahun yang lalu. Ketika ayah Fatimah menikahinya dalam resepsi yang meriah.Sang kakak ipar, istrinya Dirga yang datang bersama suami dan anaknya dari Kalimantan, segera bangkit untuk membimbing adik iparnya berdiri dan menuju tempat ijab qobul di halaman depan, bawah tenda yang telah dihias indah.Para tamu undangan yang notabene para tetangga sendiri, diam seribu bahasa ketika memandang lelaki gagah dengan setelan jas warna putih melangkah dengan wajah cerah memasuki tenda pernikahan, di apit kedua orang tuanya.Kasak kusuk kekaguman terdengar di tengah kaum perempuan yang menghadiri acara. Tak menyangka, Sarah yang janda, pendiam, tertutup, mendapatkan suami rupawan yang sukses dan terlihat sangat matang.Wanita pendiam itu tiba-tiba saja menikah dengan pria yang membuat dada mereka berdesir karena iri. Su
Para tamu undangan juga mengantri untuk mengambil aneka menu yang tersedia. Daniel yang membayar semuanya. Mempercayakan WO untuk mengurusi mulai dari undangan, tenda, konsumsi, MUA, dan baju pengantin mereka. Di sofa yang ada di teras. Keluarga Sarah dan keluarga Daniel berkumpul. Anak-anak juga ceria sambil makan."Titip adik dan keponakan saya, Mas Daniel. Bimbing mereka dan tegur jika melakukan kesalahan." Dirga bicara sambil memandang Daniel yang duduk berhadapan dengannya. Sedangkan keluarga yang lain bersembang sambil makan."Tentu Mas Dirga.""Saya sudah bicara sama Bapak. Saya akan membawa Bapak pulang ke Kalimantan. Mungkin sebulan atau dua bulan tinggal di sana, karena Bapak bilang maunya ikut saya untuk sementara saja. Bapak nggak tega ninggalin Fatimah." Dirga menoleh pada keponakannya yang sibuk makan bersama saudara barunya.Sarah yang berada di sebelah Daniel menunduk. Sedih. Dia tidak ingin berpisah dari bapaknya. Namun saran Dirga, selagi Sarah masih adaptasi dengan
"Mas, sebentar!" Sarah menahan lengan suaminya. Wanita itu menuju jendela kamar, kemudian menarik gorden hingga menutup jendela kaca dengan sempurna. Saat itu mereka menempati kamar lantai dua. Bukan kamar yang pernah ditempati oleh Daniel dan Shela. Tapi satu kamar yang berseberangan dengan kamarnya anak-anak.Kamar yang ditempati Shela dulu dibiarkan kosong. Nanti itu yang akan menjadi kamarnya Chika dan Fatimah. Sementara Marcel akan tidur sendirian. Bocah lelaki itu tidak mau dicampuri lagi oleh saudara perempuannya. "Aku cowok dan sudah besar. Makanya harus tidur sendiri," katanya."Nggak ditutup pun nggak akan ada yang lihat, Bun," ujar Daniel menarik pelan lengan Sarah. Wanita itu manyun sesaat kemudian bisa rileks karena tahu apa yang harus ia lakukan. Melayani lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Ayah bagi Fatimah yang terlihat sangat bahagia memilikinya."Aku mencintaimu," bisik Daniel lirih di telinga istrinya. Namun bagai gaung yang membahana merontokkan kisi-kisi ha
Malam itu, ketika Daniel, Sarah, dan anak-anak tengah asyik bercanda di depan televisi, Shela datang berkunjung. Membawa kado besar di tangannya.Chika dan Marcel berlari untuk menyalami dan memeluk sang mama."Fatimah, salim sama Tante Shela." Sarah menyuruh putrinya untuk menyalami wanita yang memakai hijab warna tosca. Sudah hampir setahun ini Shela berhijab.Sarah berdiri untuk menyambut tamunya. Sedangkan Daniel tetap duduk di tempat, karena memang sudah terbiasa bertemu mantan istrinya."Ih, cantiknya. Siapa namamu?" Dengan gemas, Shela mengusap rambut Fatimah."Fatimah, Tante.""So sweet." Shela tersenyum manis, meski jujur saja kalau ada rasa cemburu dalam benaknya. Tapi ia sekarang tahu bagaimana menepisnya. Shela mengalihkan perhatian pada Sarah dan Daniel. "Maaf, nggak bisa datang ke pernikahan kalian. Ini ada oleh-oleh dari Jakarta." Sarah mendorong pelan kotak kado ke hadapan Sarah."Terima kasih, Mbak," ucap Sarah sambil tersenyum tulus. Meski dadanya berdebar, nervous
Sedih. Ah setidaknya Aksara mau ngomong terus terang misalnya tidak setuju dengan keinginan sang istri. Ini malah tidur setelah mereka selesai berhubungan.Impian Marisa serasa luruh perlahan, harapan yang ia bangun semenjak dulu ketika mulai menapak di dunia kerja. Bisa menggapai posisi yang terbaik tentunya. Tapi tak mengapa jika suaminya tidak mengizinkan. Sebagai istri harus patuh, kan? Toh, Aksara bertanggungjawab penuh sebagai kepala rumah tangga.Namun setidaknya, ajaklah istrinya bicara. Bukan langsung tidur setelah mereka selesai bercinta. Sepertinya Aksara memang sengaja, sebagai bentuk penolakannya terhadap keinginan sang istri. Sebab selama ini, laki-laki itu tidak pernah langsung tidur. Setidaknya setengah jam masih mengajak Marisa ngobrol. Entah kenapa melihat Aksara tidur dengan tenang begitu, malah membuat Marisa jengkel dan akhirnya menangis dalam diam.Biasanya apapun yang mereka hadapi, Aksara selalu mengajaknya bicara baik-baik. Subhanallah, Marisa baru kali ini m
Daniel tertawa sebagai ungkapan rasa tak percaya. Banyak kaum perempuan menemani pasangannya di sana, tapi hanya duduk sambil scroll layar ponsel. Mengawasi suami supaya tidak melirik perempuan-perempuan penggila fitness yang seksi."Posesif juga kamu, Ris? Apa yang kamu khawatirkan? Mendapatkan istri seperti kamu, rasanya nggak mungkin Aksara macem-macem.""Godaan di mana-mana, Pak. Bahkan di tempat yang tak terduga sekali pun." Marisa ingat ketika Aksara futsal bersama rekan-rekannya hari itu. Yang bersorak kegirangan bukan pasangan mereka, tapi para cewek cantik yang duduk di tribun."Oh ya, hari Rabu depan saya ngambil cuti sehari. Ada urusan keluarga, Pak.""Oke, yang penting kamu sudah mem-follow up pekerjaan yang dilimpahkan Tari ke kamu. Soalnya banyak banget yang harus kita selesaikan untuk akhir tahun ini.""Siap, Pak Daniel. Kalau gitu saya keluar dulu."Daniel mengangguk. Marisa melangkah keluar ruangan.Di meja kerjanya, Ari telah menunggu. Memeluk sahabatnya sambil mengu
"Kamu dijemput sama suamimu ke sini atau kalian janjian di rumah sakit?" tanya Ari pada Marisa yang berkemas-kemas jam dua siang itu. Marisa sudah izin akan pulang lebih cepat karena ingin membesuk Pak Kyai.Sebenarnya tak enak hati, baru juga sehari bekerja dalam posisi barunya, sekarang harus minta pulang lebih awal. Padahal banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan."Mas Aksa akan menjemputku ke sini. Dia sekarang baru keluar dari kantornya.""Hati-hati, Ris. Ustazah itu belum nikah, 'kan?"Marisa menggeleng."Bukan aku nakutin kamu. Cuman ngingetin. Semoga nanti nggak ada drama di hadapan abahnya yang sakit, dia ingin dinikahi suamimu."Deg.Meski ia pun sempat kepikiran sekonyol itu, tapi Marisa tersenyum menanggapi ucapan sahabatnya. "Nggaklah, Ar. Mereka orang-orang bijaksana dan sangat memahami agama. Aku yakin nggak akan ada drama seperti itu.""Aku hanya menyampaikan kekhawatiranku, Ris. Bismillah aja, semoga semua baik-baik saja."Marisa tersenyum getir seraya mengangguk. A