"Mas, sebentar!" Sarah menahan lengan suaminya. Wanita itu menuju jendela kamar, kemudian menarik gorden hingga menutup jendela kaca dengan sempurna. Saat itu mereka menempati kamar lantai dua. Bukan kamar yang pernah ditempati oleh Daniel dan Shela. Tapi satu kamar yang berseberangan dengan kamarnya anak-anak.Kamar yang ditempati Shela dulu dibiarkan kosong. Nanti itu yang akan menjadi kamarnya Chika dan Fatimah. Sementara Marcel akan tidur sendirian. Bocah lelaki itu tidak mau dicampuri lagi oleh saudara perempuannya. "Aku cowok dan sudah besar. Makanya harus tidur sendiri," katanya."Nggak ditutup pun nggak akan ada yang lihat, Bun," ujar Daniel menarik pelan lengan Sarah. Wanita itu manyun sesaat kemudian bisa rileks karena tahu apa yang harus ia lakukan. Melayani lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Ayah bagi Fatimah yang terlihat sangat bahagia memilikinya."Aku mencintaimu," bisik Daniel lirih di telinga istrinya. Namun bagai gaung yang membahana merontokkan kisi-kisi ha
Malam itu, ketika Daniel, Sarah, dan anak-anak tengah asyik bercanda di depan televisi, Shela datang berkunjung. Membawa kado besar di tangannya.Chika dan Marcel berlari untuk menyalami dan memeluk sang mama."Fatimah, salim sama Tante Shela." Sarah menyuruh putrinya untuk menyalami wanita yang memakai hijab warna tosca. Sudah hampir setahun ini Shela berhijab.Sarah berdiri untuk menyambut tamunya. Sedangkan Daniel tetap duduk di tempat, karena memang sudah terbiasa bertemu mantan istrinya."Ih, cantiknya. Siapa namamu?" Dengan gemas, Shela mengusap rambut Fatimah."Fatimah, Tante.""So sweet." Shela tersenyum manis, meski jujur saja kalau ada rasa cemburu dalam benaknya. Tapi ia sekarang tahu bagaimana menepisnya. Shela mengalihkan perhatian pada Sarah dan Daniel. "Maaf, nggak bisa datang ke pernikahan kalian. Ini ada oleh-oleh dari Jakarta." Sarah mendorong pelan kotak kado ke hadapan Sarah."Terima kasih, Mbak," ucap Sarah sambil tersenyum tulus. Meski dadanya berdebar, nervous
Sedih. Ah setidaknya Aksara mau ngomong terus terang misalnya tidak setuju dengan keinginan sang istri. Ini malah tidur setelah mereka selesai berhubungan.Impian Marisa serasa luruh perlahan, harapan yang ia bangun semenjak dulu ketika mulai menapak di dunia kerja. Bisa menggapai posisi yang terbaik tentunya. Tapi tak mengapa jika suaminya tidak mengizinkan. Sebagai istri harus patuh, kan? Toh, Aksara bertanggungjawab penuh sebagai kepala rumah tangga.Namun setidaknya, ajaklah istrinya bicara. Bukan langsung tidur setelah mereka selesai bercinta. Sepertinya Aksara memang sengaja, sebagai bentuk penolakannya terhadap keinginan sang istri. Sebab selama ini, laki-laki itu tidak pernah langsung tidur. Setidaknya setengah jam masih mengajak Marisa ngobrol. Entah kenapa melihat Aksara tidur dengan tenang begitu, malah membuat Marisa jengkel dan akhirnya menangis dalam diam.Biasanya apapun yang mereka hadapi, Aksara selalu mengajaknya bicara baik-baik. Subhanallah, Marisa baru kali ini m
Daniel tertawa sebagai ungkapan rasa tak percaya. Banyak kaum perempuan menemani pasangannya di sana, tapi hanya duduk sambil scroll layar ponsel. Mengawasi suami supaya tidak melirik perempuan-perempuan penggila fitness yang seksi."Posesif juga kamu, Ris? Apa yang kamu khawatirkan? Mendapatkan istri seperti kamu, rasanya nggak mungkin Aksara macem-macem.""Godaan di mana-mana, Pak. Bahkan di tempat yang tak terduga sekali pun." Marisa ingat ketika Aksara futsal bersama rekan-rekannya hari itu. Yang bersorak kegirangan bukan pasangan mereka, tapi para cewek cantik yang duduk di tribun."Oh ya, hari Rabu depan saya ngambil cuti sehari. Ada urusan keluarga, Pak.""Oke, yang penting kamu sudah mem-follow up pekerjaan yang dilimpahkan Tari ke kamu. Soalnya banyak banget yang harus kita selesaikan untuk akhir tahun ini.""Siap, Pak Daniel. Kalau gitu saya keluar dulu."Daniel mengangguk. Marisa melangkah keluar ruangan.Di meja kerjanya, Ari telah menunggu. Memeluk sahabatnya sambil mengu
"Kamu dijemput sama suamimu ke sini atau kalian janjian di rumah sakit?" tanya Ari pada Marisa yang berkemas-kemas jam dua siang itu. Marisa sudah izin akan pulang lebih cepat karena ingin membesuk Pak Kyai.Sebenarnya tak enak hati, baru juga sehari bekerja dalam posisi barunya, sekarang harus minta pulang lebih awal. Padahal banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan."Mas Aksa akan menjemputku ke sini. Dia sekarang baru keluar dari kantornya.""Hati-hati, Ris. Ustazah itu belum nikah, 'kan?"Marisa menggeleng."Bukan aku nakutin kamu. Cuman ngingetin. Semoga nanti nggak ada drama di hadapan abahnya yang sakit, dia ingin dinikahi suamimu."Deg.Meski ia pun sempat kepikiran sekonyol itu, tapi Marisa tersenyum menanggapi ucapan sahabatnya. "Nggaklah, Ar. Mereka orang-orang bijaksana dan sangat memahami agama. Aku yakin nggak akan ada drama seperti itu.""Aku hanya menyampaikan kekhawatiranku, Ris. Bismillah aja, semoga semua baik-baik saja."Marisa tersenyum getir seraya mengangguk. A
Marisa sering mendoakan agar Hafsah mendapatkan jodoh yang saleh. Jauh lebih baik dari sosok Aksara. Agar luka hatinya bisa terobati dan Marisa tak lagi dihinggapi rasa bersalah. Memang siapa yang bisa menolak perasaan cinta yang merasuki hati. Namun setiap insan diberikan kekuatan untuk mengendalikan. Diberikan naluri untuk memilah mana yang tepat dan mana yang tidak. Mana yang pantas dan mana yang terlarang.Setelah beberapa lama dalam situasi yang serba canggung bagi Marisa, akhirnya Aksara mengajak pamitan. Hafsah mengantarkan hingga ke depan pintu, kemudian kembali masuk dan menutup pintu rapat-rapat."Kita mampir masjid untuk sholat maghrib dulu, sudah azan ini. Setelah itu baru kita pulang," kata Aksara saat mereka melangkah di lorong rumah sakit.Marisa menjawab dengan anggukan kepala.Aksara memilih masjid dekat rumah sakit daripada salat di mushola rumah sakit. Khawatir saja siapa tahu Hafsah juga salat di sana. Laki-laki itu menyadari, meski hampir tiga tahun berlalu, nyata
Jam tujuh pagi anak-anak belum ada yang terbangun. Masih lelap di bawah selimut tebal masing-masing. Sarah kembali menutup pintu perlahan."Masih pada tidur, Bu. Mereka sempat bercanda setelah salat subuh tadi. Kemudian tidur lagi," kata Mbak Narsih yang tengah membawakan dua gelas teh panas untuk Daniel dan Sarah."Makasih ya, Mbak.""Njih."Sarah membawa masuk nampan kecil berisi dua gelas teh dan roti bakar. Diletakkannya di meja samping ranjang. Daniel pun masih berbaring nyaman di sana."Anak-anak sudah bangun, Bun?""Belum."Bunda, Sarah lebih nyaman dengan panggilan itu daripada dipanggil Sayang. "Nanti di dengar anak-anak, Mas. Cukup panggil bunda saja."Hawa dingin membuat mereka malas hendak keluar. Padahal kemarin telah merencanakan untuk jalan-jalan ke Jatim Park 2. Berangkat lebih awal supaya bisa bermain dengan puas.Sambil menunggu mereka bangun, kesempatan untuk Daniel dan Sarah menikmati waktu berdua. Tidak boleh kalah dengan pasangan muda, Aksara dan Marisa. Walaupun
Apa kabar?""Baik, Mas. Mari masuk." Aksara mengajak duduk laki-laki itu di gazebo yang ada di halaman rumah mamanya. Wajah pria yang asing bagi Marisa itu tampak sendu."Oh ya, kenalin. Ini Marisa istriku, yang kecil itu anakku dan yang besar anak Mas Johan." Aksara berkata sambil memandang Marisa dan anak-anak yang duduk tidak jauh dari gazebo. "Kabar Mas Adnan bagaimana? Udah lama kita nggak ketemu. Ada enam tahunan, 'kan?"Adnan mengangguk. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa malu dan gelisah. Terlebih beberapa warga yang lewat memandang ke arahnya. Reaksi kaget dan penasaran ditunjukkan oleh tatapan mereka. Bahkan ada yang sempat berhenti untuk memastikan, apakah yang dilihatnya itu benar Adnan yang pernah tinggal di lingkungan mereka?"Kabarku baik, Sa. Oh ya, Bu Arum mana?" Adnan memandang ke arah pintu rumah."Mama masih ke pasar sama istrinya Mas Johan. Mas Adnan, sekarang tinggal di mana?""Aku di Palembang, Sa."Hening. Laki-laki itu menunduk. Ada kepedihan yang dalam,