Tiga bulan kemudian ...."Risa."Marisa menoleh saat mendengar namanya dipanggil seseorang dari arah samping. Marisa kaget, Dimas dan istrinya telah berdiri tak jauh darinya.Lelaki itu tersenyum. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik." Marisa menyambut uluran tangan mereka. Namun Tika, istri Dimas diam saja. Menunjukkan wajah tak suka karena pertemuan tak sengaja itu. Bagaimanapun dia harus mengakui kalau sosok Marisa masih melekat dalam kenangan suaminya. Padahal dulu mereka pernah menjadi teman. Tika tahu hubungan Dimas dan Marisa. Pernah jalan bertiga dan mereka enjoy saja. Sekarang jelas sekali ada sekat yang menghalangi.Tika sebenarnya tidak merebut Dimas dari Marisa. Orang tua mereka yang menjodohkan setelah Dimas dan Marisa putus.Dimas terpaku sejenak pada perut besar Marisa. Kehamilan yang sangat didambakan oleh istrinya. Tapi hingga setahun lebih pernikahan, sang istri belum hamil lagi setelah keguguran sepuluh bulan yang lalu.Penampilan Marisa juga sudah berbeda. Wani
"Kalau kamu tahu, Mbak sudah melewati banyak hal, Ris. Segetir apapun itu. Makanya kalau sekedar nyinyiran tetangga yang nggak tahu apa-apa tentang kita, Mbak anggap angin lalu saja. Mereka percuma kalau mengusili hidup mbak. Karena nggak bakalan mempan." Mahika berkata sambil menerawang. Mengingat kepahitan yang pernah dikecapnya dulu. Pengalaman yang berbeda dari yang lain."Sayang, kamu mikirin apa?" tegur Aksara ketika melihat istrinya makan sambil melamun.Marisa tersenyum. "Aku ingat percakapanku dengan Mbak Mahika, Mas.""Percakapan tentang apa?""Tentang macam-macam. Tentang Mbak Sarah juga. Nggak nyangka kalau dia punya pengalaman pahit dalam pernikahan. Meski kami sering bertemu, tapi dia jarang menceritakan tentang kisah hidupnya.""Suaminya selingkuh, kemudian nikah siri diam-diam karena perempuan itu sudah terlanjur hamil. Makanya Mbak Sarah minta cerai dan nggak menikah lagi sampai sekarang. Dia fokus jagain anak dan bapaknya, sama menerima jahitan.""Tapi hidup mereka k
Aksara mencari sumber suara. Nira muncul di belakangnya bergandengan dengan Xavier. Mereka juga hanya berdua tanpa Xavira."Hai, Xavier, Nira." Aksara menyalami keduanya."Kenzi nggak kamu ajak, Mas?""Enggak. Dia di rumah sama Ubed.""Cie, yang mau honeymoon bikin dedek lagi," goda Nira dengan suara renyahnya. Aksara hanya menanggapi dengan senyuman."Vira nggak kamu ajak juga, Ra?" Marisa yang baru turun dari mobil menghampiri mereka."Enggaklah. Emak sama bapaknya mau honeymoon juga kaya kalian berdua ini," jawab Nira jenaka. Disambut senyum oleh Xavier. Nira memang suka ceplas ceplos seperti kakaknya.Aksara dan Xavier melangkah ke arah kantor, di mana para pegawai berkumpul di sana untuk briefing sejenak sebelum berangkat. Sedangkan Marisa dan Nira memilih duduk di bangku logam di bawah kanopi tempat parkir.Di halaman beberapa wanita juga duduk-duduk di tepi taman menunggu suaminya sambil memperhatikan anak-anak yang diajak serta. Anak-anak seusia TK berlarian riang gembira, mer
Kaliurang. Lagi-lagi mereka memilih destinasi di pegunungan yang berhawa sejuk untuk mengadakan acara bersama. Surabaya yang membara, membuat mereka menjatuhkan pilihan pada wisata puncak gunung.Siang itu mereka tidak merasakan kepanasan saat tiba di sana. Mereka juga langsung masuk ke vila masing-masing, karena pembagian tempat sudah diberitahukan sebelum berangkat.Beberapa vila yang berderet di lereng Merapi itu telah di booking jauh-jauh hari untuk acara famili gathering kali ini. Mendadak suasana di sana sangat ramai. Seperti sebuah perkampungan jadinya. Beberapa tenda kecil didirikan di halaman vila untuk tempat bermain anak-anak. Tidak lama setelah mereka sampai, datang dua mobil pickup yang membawakan makan siang untuk mereka. Selesai makan, sebagian langsung istrirahat dan sebagian lagi jalan-jalan menikmati keindahan lereng Merapi."Sayang, mas ingin bicara sesuatu," kata Aksara setelah mereka berada di kamar vila lantai dua. Vila paling pinggir yang ditempati oleh Aksar
Delia? Marisa heran kenapa wanita itu menyebut nama Delia. Apa dia kenal Delia kakaknya Nira? Atau ini Delia yang lain. Marisa menoleh pada Nira yang asyik melihat tanaman bunga mawar yang bermekaran di tepi jalan. Reaksi Nira biasa saja. Kalau saling kenal pasti mereka ngobrol, kan? Ini tidak. Bisa jadi bukan Delia kakaknya Nira yang dimaksud oleh Wina.Sikap Nira juga tidak menunjukkan kalau ia akrab dengan Wina. Padahal suami mereka berada di kantor yang sama."Nama saya Marisa. Bukan Delia, Mbak.""Oh, maaf." Wina jadi serba salah. Wajahnya mendadak pias karena rasa tak enak hati. Sejak tadi ia mengira kalau Marisa itu Delia. Wanita yang dicintai Aksara dan membuatnya penasaran selama ini. Ternyata pria itu menikah dengan gadis lain setelah berpisah dengannya."Delia yang Mbak maksud siapa, ya? Apa kakaknya Mbak itu?" Marisa menunjuk ke arah Nira yang pada saat bersamaan menoleh ke arah mereka.Wina menggeleng. "Enggak, Mbak. Saya nggak kenal. Maaf, ya. Saya hanya salah sebut ta
"Risa, apa kamu merasakan keanehan selama mas bertemu kembali dan terlibat kerja dengan Delia? Apa mas berubah? Nggak 'kan?""Karena Mas sangat pandai menyembunyikan perasaan. Pernikahan tidak hanya melulu soal cinta, tapi tanggungjawab dan komitmen. Dan itu yang mas lakukan dalam pernikahan kita.""Subhanallah, Sayang. Tolonglah jangan uji mas dengan rasa ketidakpercayaanmu. Kalau mas nggak mencintaimu, mas nggak akan menikah denganmu. Seandainya hanya tentang tanggungjawab saja, mas bisa menikahi perempuan lain meski tanpa cinta." Aksara tidak mengalihkan pandangan dari wajah Marisa. Menelusuri jejak kekecewaan yang tergambar jelas di sana. Tubuhnya merapat dan memaksa untuk memeluk sang istri. "Percayalah kalau mas hanya mencintaimu sekarang dan selamanya sampai batas usia kita."Hening. Marisa merasakan degup jantung Aksara yang tidak beraturan. Merasakan dekapan hangat tubuh tegap yang memeluknya erat. "Apa selama ini kamu tahu, Ris? Apa yang mas rasakan nyaris setiap hari sel
"Bun, aku ngantuk," rengek bocah perempuan berjilbab warna maroon sambil bersandar di tubuh sang ibu."Sebentar ya, kita tunggu Pak Dokter meriksa Mbah Kakung." Si ibu menenangkan putrinya dengan sabar dan suara yang lembut. Mengajak gadis kecil itu bercerita dan menyuruh tidur di pangkuannya.Apa yang dilakukan wanita itu tak luput dari perhatian Daniel. Kasihan ia melihat gadis kecil itu. Kenapa harus diajak ke rumah sakit. Apa tidak ada yang menemani di rumah? Bapaknya ke mana, kan yang sakit kakeknya. Tidak lama kemudian muncul seorang laki-laki memakai baju batik lengan panjang menghampiri wanita itu. "Gimana, Mbak Sarah?""Dokter belum keluar, Pak. Pak RT tinggal pulang saja nggak apa-apa. Bapak saya mesti harus opname.""Mbak Sarah, sendirian?""Nggak apa-apa, Pak RT. Terima kasih banyak udah bantu saya. Tadi saya sudah telepon sepupu, dia akan ke sini nanti."Lelaki berkopiah hitam itu mengangguk-angguk. Sebenarnya kasihan kalau harus meninggalkan Sarah dan anaknya. Tapi ia p
Ketika tengah diam bersandar pada tiang koridor, ia mendengar suara jerit tangis dari sebuah ruangan. Dua kamar dari tempat Pak Sigit di rawat. Tak lama kemudian seorang dokter di dampingi dua perawat berjalan tergesa menuju kamar itu. Kata-kata menenangkan terdengar disela tangis yang terdengar makin keras.Pintu kamar Pak Sigit terkuak. Sarah melongok keluar dan bersitatap dengan Daniel. "Apa ada pasien meninggal, Mas?" tanya Sarah lirih. "Sepertinya begitu, Mbak," jawab Daniel sambil memandang ke arah sumber suara."Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Sarah pelan. Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali.Setelah mengangguk sejenak pada Daniel, Sarah kembali menutup pintu kamar.Daniel menunduk dalam hening. Kematian itu ada dan menjadi hal yang wajar. Menjadi batas titik akhir hidup manusia. Karena hidup pasti berujung. Entah kapan datangnya, tapi itu pasti. Alam semesta mempunyai siklus. Hidup seperti roda yang berputar, terkadang di bawah, kadang ber