Bertepatan dengan pertanyaan itu, mobil yang dikemudikan Daffa menepi di rumah sakit tempat Mas Heru dirawat. Kesempatan tersebut kupergunakan untuk mengajak Lintang ke luar dari mobil, kami pergi meninggalkan Daffa sebelum anakku sempat menjawab pertanyaannya.
"Bun, kita gak nunggu Om Daffa?" tanya Lintang. Dia tampak heran dengan langkahku yang tergesa, seperti dikejar setan.
"Gak usah, Sayang, Om Daffa ada urusan," jawabku.
Lintang nyaris tak percaya, kalau aku tak menunjukkan pesan singkat yang dikirim Daffa satu detik setelahnya.
"Lan, sori saya gak bisa nemenin, mendadak ada hal penting yang perlu saya urus."
Bagus, lah, aku jadi tak perlu berbohong dan mencari banyak alasan untuk menanggapi pertanyaan lanjutan Lintang.
"Gimana? Percaya, kan, sama Bunda?"
Lintang mengangguk. "Kapan kita ketemu Om Daffa lagi?"
"Nanti kalau Om Daffa gak sibuk. Sekarang kita lihat Ayah, Ayah mau ketemu Lintang," ucapku sembari mengga
Pukul sebelas malam, Daffa baru menginjakkan kaki di rumah. Seperti biasa, kondisi rumahnya sudah gelap. Ia ingin segera merebahkan diri. Tubuhnya cukup lelah karena beraktivitas seharian. Namun, niat itu harus tertunda saat ponselnya berdering, menampilkan nomor tak dikenal di layar. "Siapa, sih, ganggu banget," sungutnya seraya menolak panggilan itu. Bukannya berhenti, pemilik nomor tersebut terus mengganggunya, membuat Daffa kesal dan mau tak mau mengangkat juga. "Halo," ucap Daffa ketus. "Om Daffa, ini Lintang." Daffa heran. Lintang? Darimana Lintang mendapat nomornya? Dan mengapa bocah itu menghubunginya di malam yang sudah hampir larut? "Lintang? Ada apa, Sayang? Ada masalah?" Daffa tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. "Om Daffa mau temenin Lintang?" lirih Lintang. "Lintang mau ke mana malam-malam begini?" Daffa tak menyangka, Lintang akan menghubungi dan meminta bantuannya. Tapi, apa Kelana tahu? Ah,
"Saya nginep di sini?""Hah? Nginep?"Aku terperangah, seraya memberikan tatapan tak suka pada Daffa. Barusan dia bilang apa? Menginap? Tidak, tidak, aku tidak akan mengizinkannya. Jangakan menginap, melihatnya di sekitar sini saja aku malas. Bukan apa-apa, hanya saja takut menjadi fitnah, karena statusku saat ini."Lo gila? Gak, gak! Mending pulang sekarang. Udah malem, gak enak dilihat orang," usirku.Daffa mengernyitkan kening, menatapku heran. Tak lama kemudian ia mengeluarkan kunci dari saku celana. "Di kamar sebelah, bukan di kamar kamu," ujarnya sembari tersenyum tipis. Aku terdiam, antara lega dan malu. Bisa-bisanya aku punya pikiran akan tinggal satu atap dengannya."Oh yaudah, terserah lo!" balasku."Kenapa? Kamu mau saya tidur di dalam? Saya sih gak keberatan," ucapnya dengan tatapan menggoda.Ck! Bicara apa Daffa ini? Ngawur sekali. "Gak usah ngaco!" elakku.Aku meninggalkannya tanpa berucap sepatah-katapun, bergega
Mataku perlahan terbuka. Langit-langit kamar dan dinding putih menjadi pemandangan pertama yang kulihat, disusul aroma khas rumah sakit menyeruak, memenuhi indera penciuman."Di mana ini?" batinku."Kelana, syukurlah kamu udah bangun," ucap seorang pria yang tak lain adalah Daffa.Aku menatap sekeliling. Setelah beberapa menit, barulah aku sadar bahwa ruangan serba putih ini adalah rumah sakit."Kenapa gue di sini?" tanyaku lemah."Tadi kamu pingsan."Aku mencoba mengingat-ingat. Bayangan sosok Rachel yang menjambak dan menamparku terekam jelas, panas di pipi dan kulit kepalaku pun masih terasa."Jangan berpikir terlalu keras, kondisi kamu masih belum stabil," ujar Daffa."Di mana Lintang?"Jam dinding rumah sakit menunjukkan pukul 17.00 WIB. Artinya, sudah cukup lama aku terbaring di sini."Lintang di tempat yang aman, kamu tenang aja."Jawaban Daffa sontak membuatku menatap tajam ke arahnya. Bagaimana bis
Satu bulan berlalu sejak kejadian di mana Rachel bertemu Daffa. Aku tak bertanya apa pun, begitupun Daffa yang seperti acuh tak acuh saja. Ya sudahlah, aku tak mau pusing memikirkan sesuatu yang bukan urusanku.Hari-hariku sudah kembali normal, bekerja dari pagi hingga sore, dan malamnya menghabiskan waktu bersama Lintang. Bagaimana dengan Mas Heru dan Rachel? Beberapa kali Mas Heru menghubungi, mengajakku untuk sekadar minum kopi. Tentu saja kutolak, kami sudah bukan suami istri. Rachel? Aku tak tahu dan tak mau tahu. Selagi dia tak mengusikku, aku pun tak akan mengusiknya.Waktu menujukkan pukul 11.40 WIB. Aku bergegas membereskan meja, guna menjemput Lintang. Hari ini aku ingin mengajaknya makan siang bersama."Lan, kantin yuk," ajak Mona."Enggak deh, Mbak, saya ada urusan," tolakku."Yaelah, urusan apa sih? Urusan sama Pak Daffa?" tebaknya seraya mencolek daguku.Aku memutar bola mata malas. Satu-satunya orang yang senang sekali menggod
"Kalau Om Daffa jadi Ayah Lintang, mau gak?"Pertanyaan Lintang saat makan siang tadi mengalihkan fokusku. Kalau saja Kelana tak mengalihkan pembicaraan, tentu sudah kuiyakan permintaan bocah tersebut."Susah banget ngeyakinin kamu, Lan," batinku.Ah! Aku tak bisa tinggal diam. Satu bulan lagi masa iddah Kelana berakhir, dan saat itu tiba aku harus lebih memaksimalkan usaha, agar ia percaya pada niat baikku.Tok tok tok… Suara ketukan pintu mengembalikanku pada realita."Masuk."Derap langkah kaki mendekat. Livia─sekretarisku menghampiri. "Pak, ada yang ingin bertemu.""Siapa?" Aku merasa tak punya janji apa pun hari ini. Siapa gerangan yang datang?"Laki-laki, Pak, namanya Heru," jelas Livia.Heru? Heru siapa? Aku merasa tak mengenalnya. Mau apa dia menemuiku? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala."Suruh masuk saja," titahku."Baik, Pak."Tak lama setelah Livia pergi, seorang pria berdiri
Bab 29 (PoV Daffa) Anak Saya?“Enggak, Daf, kita gak boleh begini.” “Kamu single saya single, kenapa gak boleh?” tanyaku dengan suara berat. Sebelum kancing kemeja itu terbuka sepenuhnya, kulihat Kelana menggeleng keras. Aku yang tak tak bisa lagi mengendalikan diri, memilih mengabaikan penolakannya. “Gue mohon jangan,” lirihnya. “Terlambat, Kelana, saya mau kamu,” sahutku dengan tatapan mengabur. Tepat setelah itu, kedua tanganku berhasil melepas dua kancing kemejanya. Kelana masih berusaha menahan. Aku yang sudah dipenuhi gairah tak bisa berpikir jernih. Aku tak bisa memikirkan apa pun saat ini, pikiranku dipenuhi dengan Kelana. Aku takut, takut Kelana akan kembali pada mantan suaminya. Sungguh, membayangkannya saja aku tak sanggup. “Gak gini caranya, Daff.” Penolakan demi penolakan yang keluar dari bibir Kelana tak ada satu pun yang kupedulikan. Hingga akhirnya, aku tak lagi merasakan penolakan itu. Kulihat Kelana memejamkan mata. Aku semakin berani, kuremas buah dadanya deng
“Daffa maafin aku, aku sayang kamu.”Tanpa pikir panjang, Daffa mendorong tubuh wanita yang memeluknya. Ia menatap nyalang wajah wanita itu. “Jangan sentuh gue!” tegasnya.“Aku minta maaf.” Wanita tersebut duduk bersimpuh di hadapan Daffa, memohon dan menangis tersedu-sedu. “Aku nyesel, Daff, aku nyesel, tolong maafin aku,” sambungnya masih dengan isak tangis.“Gue udah gak mau nginget yang dulu-dulu lagi, antara gue dan lo udah lama selesai,” ucap Daffa.Kelana yang baru kembali dari kamar kecil bingung melihat ada sosok yang tengah berlutut, ia sangat familier dengan sosok itu. Ya, Kelana yakin betul wanita yang saat ini berjarak kurang satu meter dari posisinya adalah Rachel. Sejak kejadian di rumah sakit, ia memang memiliki dugaan bahwa ada sesuatu antara Daffa dan Rachel.Demi menuntuskan rasa penasarannya, Kelana mendekat. Ia mengambil posisi di belakang Rachel yang tampak belum sada
“Lana…”Seseorang memanggil nama dan menyentuh pundakku. Aku terlonjak saking terkejutnya. Di belakangku berdiri Mas Heru, ia menatapku bingung.“Lana sendiri? Ngapain di sini?”“Cari angin.” Aku sengaja berbohong padanya. Namun, jelas sekali Mas Heru tak percaya. Dia melihat sekeliling. Saat itulah netranya melihat ke dalam kafe dan mendapati Rachel tengah bicara dengan seseorang.“Pasti lelaki brengsek itu penyebabnya, iya, kan? Udah berapa kali Mas bilang, Lana jangan deket-deket sama dia, dia gak baik buat Lana.”Ingin rasanya aku merobek mulut Mas Heru. Atas dasar apa dia bicara begitu? Apa dia merasa lebih baik dari Daffa? Oh tidak! Mereka berdua sama. Sama-sama player dan terlalu pandai menjanjikan hal-hal indah yang berakhir menjadi bualan semata. Aku berlalu begitu saja tanpa memedulikan Mas Heru yang masih berusaha memengaruhiku.“Lana, tunggu! Lana mau ke