Aku tercengang, mulutku sedikit terbuka saking terkejutnya. Wanita paruh baya berpenampilan modis yang berdiri tepat di hadapanku tersenyum lembut. Aku tak mengerti sedang berada di situasi seperti apa saat ini, yang jelas perasaanku tidak enak, dan aku yakin ini semua ulah Daffa. Dialah dalang di balik kemunculan wanita paruh baya yang mengira aku adalah calon istrinya.
“Ibu siapa?” Aku yang bingung harus bereaksi seperti apa memberanikan diri bertanya. Tak berapa lama, Daffa keluar dari pintu kemudi, dia tersenyum lebar seraya merangkul pundakku.
“Iya, Oma, ini calon istri Daffa. Kenalin, namanya Kelana.”
Wajah Daffa terlihat begitu segar dengan senyum sumringah, membuatku ingin sekali mencakar wajah itu. Brengsek! Bahkan setelah aku menolak membantunya, dia menjebakku. Kurang ajar, benar-benar kurang ajar, aku tak akan tinggal diam!
“Bukan, saya bukan …”
“Nama yang cantik, secantik orangnya. Perke
“Daffa, malam ini kamu ajak Kelana ke rumah besar, ya, ada hal penting yang perlu Oma bicarakan sama dia,” ucap Meira di meja makan. Pagi ini, mereka sedang sarapan bersama. Risya begitu bahagia karena kedatangan omanya yang sudah lama menetap di luar negeri. Berbanding terbalik dengan Daffa yang sedari tadi ketar-ketir, khawatir sang oma meminta ia melakukan sesuatu yang tak terduga.“Kelana sibuk, Oma, lain kali aja, ya,” elak Daffa. Bagaimana mau mengajak Kelana ke rumah besar, kalau saat ini saja wanita itu tak mau diajak bicara.“Oma yakin dia mau meluangkan waktu. Jangan buat kedatangan Oma ke Indonesia sia-sia, Daffa!” tegas Meira.“Tolong jangan melakukan apa pun tanpa sepengetahuan Daffa, Oma,” pinta Daffa dengan suara lirih. Ia yakin, Meira sedang merencanakan sesuatu, apalagi sampai mengundang Kelana ke rumah besar.“Mau sampai kapan kamu menunda pernikahan?!”Suara Meira begitu
Permainan terus berlanjut. Kelana mengabaikan pertanyaan Daffa yang baginya sangat tidak penting. Apakah Daffa harus menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya? Sementara Daffa, ia menganggap diamnya Kelana pertanda wanita itu juga mencintainya.“Diam berarti iya,” ujar Daffa.Kelana tak menggubris, tubuhnya terus menuntut agar Daffa tak berhenti. Daffa tersenyum lebar, sekarang ia tahu bahwa Kelana juga menginginkan dirinya. Dari sekian banyak peristiwa yang terjadi di antara mereka, pagi ini menjadi yang paling berkesan. Daffa kembali optimis, bahwa dirinya dan Kelana layak bersama.“Kenapa nanya terus, sih?” Kelana frustrasi saat Daffa bertanya dan menghentikan permainan mereka.“Karena malu bertanya sesat di …”Belum sempat Daffa menyelesaikan ucapannya, Kelana membungkam bibir pria itu. Daffa tak menyangka Kelana bisa seagresif ini. Bayang-bayang mereka m
Setelah menghabiskan waktu bersama dan setuju dengan ajakan Daffa, tepat pukul tujuh malam, aku, Lintang dan Daffa tiba di rumah besar. Semula aku bingung, mengapa dinamakan rumah besar? Rupanya, rumah besar adalah istilah yang digunakan Daffa dan keluarganya untuk menyebut rumah utama. Ya, aku baru tahu kalau yang saat ini ditempati Daffa adalah salah satu rumah oma yang diberikan untuknya sebagai hadiah ulang tahun.Dari luar saja rumah besar terlihat begitu mewah, dengan gaya eropa klasik dan cat yang didominasi warna emas. Daffa mengapit jemariku, sementara aku menggandeng Lintang. Kami masuk bersama. Di depan pintu, sudah ada pelayan yang menyambut. Aku melangkah ragu, bersaamaan dengan itu genggaman tangan Daffa dijemariku semakin erat, mungkin dia tahu aku gugup.Mataku memindai sekeliling ruangan dan tak henti mengagumi kemewahan yang ada di hadapanku saat ini. Terdapat lukisan tiga dimensi karya pelukis-pelukis hebat di dindingnya, dan furniture yang
“Bagus. Lo cuma perlu usaha lebih keras. Gue yakin, gak lama lagi dia akan bertekuk lutut sama lo. Dengan begitu lo bisa …”“Yeah! Memang itu yang gue mau. Gue bakal berusaha lebih keras lagi!”“Good job. Lo emang partner kerja yang baik.”“Jangan lupakan, gue juga partner tidur yang baik. Sure?”“Sure.” Dua manusia itu tertawa sembari mengangkat gelas mereka. “Cheers.”“Cheers.”“Apa rencana kita selanjutnya?” sang pria bertanya.Wanita yang menjadi lawan bicaranya itu tersenyum simpul, seraya membisikkan sesuatu yang dibalas anggukan mantap oleh si pria. Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe guna membicarakan hal penting yang hanya diketahui keduanya.“Kalau perlu, bunuh dia sekalian!” ucap wanita itu lagi.“Hah! Lo gila?”
“Papa,” panggil seorang bocah yang tak lain adalah Delia.Aku menatap malas bocah tersebut dan berdehem singkat. “Hmm.”“Mama ke mana?” tanyanya seraya duduk di sampingku.“Gak tahu,” jawabku tak acuh.Aku memang tidak tahu ke mana Rachel pergi. Sejak pagi hingga matahari tenggelam, sosok tersebut tak terlihat di sekitar rumah. Aku sama sekali tak penasaran, kerena memang kami sudah sepakat untuk tak mencampuri urusan masing-masing.“Kok gak tahu? Kan, Papa suaminya,” tutur Delia lagi.Aku tak menggubris dan memilih melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Namun, bocah itu terus saja mengajakku bicara. Kontan, aku merasa kesal karena mulutnya yang tak bisa diam. Sebenarnya tak salah juga sih, dia hanya bertanya keberadaan ibunya. Rachel lah yang salah, karena pergi tanpa pesan, dan belum pulang hingga malam menjelang.“Kamu gak lihat Papa lagi ngapain?” tanyaku d
Aku terus saja berjoged, meliuk-liukan tubuhku mengikuti alunan musik, ditemani seorang pria yang tak lain mantan pacarku dulu. Tangannya tak lepas dari pinggang rampingku, aku yang sudah setengah mabuk tak memedulikan itu. Biarkan saja dia melakukan sesukanya, malam ini aku perlu bersenang-senang. Selalu memikirkan cara mendapatkan Daffa, membuatku lupa membahagiakan diri sendiri. “Honey, lo seksi banget malam ini.”Aku merasakan geli saat dia berbisik dan menjilat daun telingaku dengan mesra. Sudah lama aku tak merasakan sentuhan seperti ini. “Tentu. Lo suka?”“Sangat. I love you sayang.”Si mantan pacarku ini terus menjamah tubuh yang sudah lama tak tersentuh. Jujur saja, menjalani rumah tangga dengan Heru itu sangat melelahkan. Hidupnya monoton, dia selalu kerja, kerja dan kerja. Tak sekalipun aku melihatnya memiliki niat memb
Aku membisu, mencerna pertanyaan to the point Oma beberapa saat lalu. Ini terlalu tiba-tiba menurutku. Bahkan, Oma saja baru bertemu aku dua kali. Mengapa bisa begitu mudahnya memintaku menikah dengan cucunya? Apa dia tidak merasa perlu menyeleksi wanita yang akan menjadi pendamping hidup Daffa? Mereka kan orang kaya, ada banyak yang perlu dijaga dan dilindungi.Tidak Daffa, tidak Oma, keduanya sama-sama sulit dipahami.“Bagaimana, Kelana? Mau, ya?”Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Oma dan Daffa melihat ke arahku, menunggu jawaban dari pertanyaan spontan beberapa detik lalu.“Setelah apa yang kalian lakukan, Oma rasa tidak ada alasan untuk kamu menolak. Benar bukan?” imbuh Oma.Aku tahu ke mana arah pembicaraan Oma. Mengingatnya mampu membuat wajahku memerah. Ah! Memalukan sekali. Mengapa bisa hal pribadi seperti kemarin diketahui Oma? Aku jadi berpikir jika Daffa tak lebih pintar dari omanya.“Oma,
“Siapa kalian?!” ulangku penuh penekanan. “Hahahaha kamu tidak perlu tahu siapa kami. Kemarilah, bukannya kamu mencari Marsel dan Daren? Mereka ada di dalam,” sahut salah satunya. Aku tak bisa melihat wajah dua manusia di hadapanku. Karena selain penerangan yang minim, mereka juga mengenakan topeng. Aku mundur beberapa langkah, hatiku mengatakan tak ada Daren maupun Marsel di tempat ini, untuk itu aku harus segera pergi dan menyelamatkan diri. Namun, semakin aku mundur, mereka semakin mendekat. Tawa seram dan membahana masih terdengar, tampaknya mereka sangat senang mendapati aku yang begitu panik dan ketakutan. “Mau ke mana, manis?” Sial! Bagaimana aku bisa keluar kalau pintunya terkunci begini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Di tengah situasi mencekam seperti ini, aku berusaha memutar otak, melihat sekeliling barangkali menemukan jalan keluar. Namun nihil, aku tak menemukan pintu lain ataupun jendela. Salah satu dari mereka mendekat. Samar-samar aku bisa melihat pria bot