"Makanlah dulu!"
Seporsi nasi liwet itu sudah terhidang di depan Redita, ia hanya tersenyum kemudian mulai meraih sendoknya. Mereka akhirnya berhenti di sebuah warung lesehan yang menjual nasi liwet khas Solo. Makanan wajib yang harus dicoba kalau berkunjung ke Kota Bengawan ini.
"Harusnya jangan langsung makan yang bersantan, Re. Perut kamu kosong dan kamu ...," Adnan tidak melanjutkan kalimatnya ketika Redita tidak jadi menyuapkan nasinya dan malah menyimak ucapan Adnan.
"Makanlah dulu," Adnan tersenyum, ditatapnya gadis dengan mata sembab itu.
"Dokter tidak makan?" Redita menatap Adnan yang hanya tersenyum melihat dia makan.
"Makanlah, jangan pikirkan aku, Re."
Redita kembali tersenyum, ia mulai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Jantungnya berdegub kencang, terlebih ketika menatap wajah Adnan yang tampak segar dan santai tanpa pakaian dinas dan snelli itu.
"Dokter sangat baik, entah apa yang akan terjadi pada saya kalau tidak ada
“Astaga, Re? Kamu sudah masuk koas?” Claudia terkejut bukan main ketika melihat Redita muncul di parkiran.Redita hanya mengangguk dan tersenyum, ia bergegas meletakkan helmnya dan melangkah mendekati Claudia yang masih tercenggang tidak percaya itu. Sudah ia duga, pasti banyak yang akan terkejut melihat dirinya sudah kembali muncul di rumah sakit untuk melanjutkan kepaniteraan kliniknya.“Re, kamu baik-baik saja kan?” Claudia masih tidak percaya bahwa sahabatnya itu sudah kembali aktif koas lagi setelah kemarin mamanya meninggal dunia.“Baik, aku baik-baik saja, Clo. Santailah!”Claudia hanya mengangguk dan tersenyum, mereka kemudian melangkah bersamaan masuk ke dalam rumah sakit. Dari ujung matanya, Redita melihat mobil yang sudah sangat tidak asing di matanya itu. Itu mobil Dokter Adnan! Sosok itu kemudian turun dan tersenyum ke arahnya, membuat hari Redita menjadi lebih baik, makin baik lagi.Redita hanya men
“Jadi Re, ini unit apartemen saya.”Adnan membuka pintu itu lebar-lebar dan membantu Redita membawa masuk kopernya ke dalam. Redita tertegun melihat betapa rapi unit apartemen itu. Tidak terlalu mewah sih, namun ia tahu satu unit apartemen ini pasti harganya juga lumayan karena apartemen ini berada di tengah kota dan termasuk dalam kategori apartemen mewah dan ekslusif.“Ada dapurnya juga, jadi kamu tidak perlu bingung kalau ingin makan sesuatu, habis ini belanjalah kebutuhan mu, sudah cek rekening? Saya sudah transfer saku untuk keperluanmu selama sebulan.” Adnan tersenyum, menatap Redita yang tampak masih begitu terkesima dengan unit apartemennya.“A-apa? Bagaimana, Dok?” Redita benar-benar terkejut, Dokter Adnan sudah mentrasnfer uang untuknya?“Cek rekeningmu, saya sudah transfer ke rekeningmu, itu untuk satu bulan ya!” tampak wajah itu tersenyum begitu manis.“Dok, sa-saya ...,”
Redita sudah siap dengan scrub dan snelli-nya, ia hendak berangkat ke rumah sakit ketika kemudian pintu unit apartemen itu terbuka, nampak Dokter Adnan muncul dengan sama rapinya. Ah ... sosok pria matang itu memang selalu rapi dan bersih. Oh ya jangan lupa ia selalu wangi dalam kondisi apapun."Re, mau berangkat sama saya atau berangkat sendiri?" tanya sosok itu lalu masuk dan melangkah mendekati Redita yang masih tertegun berdiri di depan pintu kamar."Saya berangkat sendiri saja, Pak." jawab Redita gugup.Redita tersenyum, melihat sosok itu dengan snelinya membuat Redita makin jatuh hati. Sungguh Redita benar-benar terpesona melihat Dokter Adnan ketika sedang dalam balutan snelli-nya. Wibawanya benar-benar kuat sekali jika sosok itu dalam balutan jas kebanggan para dokter yang putih bersih, membuat pesonanya begitu kuat terpancar. Entah itu hanya menurut Redita atau menurut pandangan orang lain sama, ia sendiri tidak tahu."Oke kalau begitu, nih buat s
Setelah Amanda pamit dari ruangannya, Adnan bergegas keluar mencari Redita. Ia lihat betul mata memerah itu, ia lihat betul sorot mata kecewa dan terluka itu ... apakah ini artinya ....Ahh ... Adnan tidak mau banyak berspekulasi, ia dengan tergesa melangkah ke ruang koas sebelum ia harus masuk OK untuk kembali menjalani beberapa operasi hari ini. Ia harus menemui Redita, setidaknya melihat bagaimana kondisi gadis itu, kalau perlu menanyainya tentang apa arti tatapan mata Redita tadi."Ada lihat Redita?" tanya Adnan pada beberapa mahasiswanya yang ada di ruangan itu."Izin pulang, Dokter, katanya sedang tidak enak badan.""Lho, bukannya tadi baik-baik saja?" tanya Adnan terkejut, tidak percaya. Tidak enak badan? Yang benar saja!"Iya betul Dokter. Tadi mendadak katanya pusing, Dok. Izin sama Dokter Stefan tadi," jelas seorang mahasiswi sambil menatap Adnan lekat-lekat.Adnan hanya menghela nafas panjang, ia hanya mengangguk kemudian bergegas
"Gila, ini pesta apaan sih kenapa diadakan di sini?" protes Redita pada Yanven ketika mereka memasuki ruangan penuh gemerlap dan penuh sesak itu.Ruangan dengan lampu bergemerlap itu tampak hinggar binggar dengan ratusan orang-orang yang berjogetan di lantai dansa macam orang kesetanan. Asap rokok mengepul di mana-mana, musik yang dimainkan oleh disk jockey begitu memekakan telinga, ya walapun Redita akui musiknya asyik juga, namun jujur ia tidak nyaman pergi ke tempat ini."Birthday Party, nah mereka di sana!" Yanven menunjuk gerombolan anak muda yang duduk di paling pojok, dengan kue tart di meja mereka."Jadi anak hukum kalau party sukanya seperti ini ya?" gerutu Redita ketika Yanven menyeretnya mendekati teman-temannya."Ya begini lah, kalau anak kedokteran gimana? Di aula rumah sakit?" cibir Yanven sedikit berteriak, suara riuh di sekitar mereka membuat mereka perlu suara yang lebih keras untuk berkomunikasi."Di laboratorium anatomi," jawab R
"Coke," guman sosok itu sambil menyodorkan gelas itu.Redita menatap sosok itu dengan seksama, ia tampak ragu. Sosok itu tersenyum, ia tahu kalau gadis di hadapannya itu sedang meragukan dirinya."Ini cuma soda, nggak akan bikin mabuk," ia tertawa kecil, membuat Redita jadi kikuk."Terima kasih," Redita dengan ragu meraih gelas itu, menyesapnya sedikit. Benar, ini cuma coke."Oh ya nama kamu siapa?" sosok itu mengulurkan tangannya."Redita," jawabnya singkat."Aku Rangga, udah lulus sih semester kemarin, cuma kebetulan kenal sama Janice," jelasnya panjang lebar.Redita hanya menyimak saja, ia kembali meneguk gelasnya, cuma coke, ini benar-benar cuma coke kok. Hinggar binggar suasana pub itu sedikit menyusahkan obrolan mereka, membuat Rangga terpaksa menggeser duduknya sedikit lebih dekat.Kenapa Redita sangat tidak nyaman dengan sosok itu? Kenapa?***"Re ...," Adnan membuka pintu apartemen itu, dan tertegun menda
Redita mengerjapkan matanya perlahan-lahan, kepalanya terasa begitu berat, tubuhnya terasa lemas tidak bertenaga. Redita kemudian tersentak luar biasa ketika sadar ia sedang tidur dengan sosok itu duduk di sebelahnya. Sontak ia bangkit dan mendapati Dokter Adnan tengah tidur dengan duduk bersandar tepat di sisinya.Redita langsung pucat, bukan kah tadi dia sedang berada di ... astaga! Redita menepuk jidatnya dengan gemas. Samar-samar ia ingat diberi minuman yang begitu pahit dan terasa membakar tenggorokan oleh laki-laki bernama Rangga itu, dan sekarang bagaimana ia bisa berada di sini? Dengan sosok itu di sebelahnya?Mendadak Redita tersentak untuk kesekian kali, ia meraba seluruh tubuhnya, utuh! Ia lantas menghela nafas panjang, matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tiga pagi itu.Ia sontak menepuk gemas jidatnya, bagaimana bisa sih semua ini terjadi? Sudah bisa ia bayangkan bahwa sosok itu akan ngamuk karena Redita sudah melanggar dua perat
"Apakah orang itu saya, Re? Kamu cinta sama saya?"Redita tersentak, ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar itu, air matanya menitik, apa yang harus ia katakan sekarang? Adnan masih menggenggam tangannya erat, matanya masih begitu hangat dan lembut menatap ke dalam mata Redita. Adnan sudah tahu semuanya, lantas ia harus jawab apa sekarang? Apa yang harus dia katakan?"Jangan nangis, Re. Cukup kamu jawab!" guman Adnan lirih ketika Redita belum mau bersuara.Redita menyeka air matanya, kemudian menganggukkan kepalanya perlahan. Adnan kini yang tertegun di tempatnya duduk, jadi benar kalau gadis ini jatuh cinta kepadanya? Ia menatap dengan seksama gadis yang berurai air mata di hadapannya itu. Jadi semua itu benar dari dalam hati Redita? Bukan hanya racauan efek alkohol semata?"Beri saya alasan kenapa kamu mencintai saya, Re? Kenapa bukan Andaru?" tanya sosok itu masih menggenggam erat tangan Redita, jantungnya berdetak dua kali lebih kencang, takikardi