Aryo mengemudikan mobil Danu perlahan, meskipun Aryo tak memiliki SIM, ia bisa mengendarai mobil. Danu duduk di jok belakang yang setengah direbahkan. Roby duduk di kursi depan dekat sopir. Aryo melajukan mobil pelan mengikuti motor Pak Hasan. "Elu sih, Nu ... pake ngotot terjun kesawah segala. Kalo begini kejadiannya gimana coba? Nu, Lu ... masih mau melanjutkan misi gila ini?" tanya Roby kesal. Danu diam saja duduk setengah rebahan di jok belakang, matanya terpejam. "Coba aja tadi itu Elu nggak nekat terjun kesawah panas-panasan, nggak akan kejadian begini," imbuh Roby menoleh Aryo, sorot mata Roby terlihat emosi. "Eh, Elu bisa diem enggak, sih? Dah tau temen lagi tepar masih aja ngomel. Parah, Lu ... melebihi emak-emak," Aryo kesal kepada Roby. "Eh, Yo. Ini semua nggak akan terjadi kalo Danu nggak nekat menjalankan misi gila ini. Tau sendiri 'kan, dia anak sultan ... sawah itu bukan level dia, Yo," jelas Roby penuh tekanan. "Gue nggak habis pikir deh, bisa-bisanya dia nekat,
Danu merasa ada yang mengganjal di saku celana jeans sebelah kanan. Ia ingat ponselnya pasti yang menimbulkan rasa mengganjal itu. "Ambu, sebentar ... sepertinya ponsel saya mengganjal," ungkap Danu lalu bergerak miring sedikit tangannya meraih ponsel yang ada disaku sebelah kanan kemudian diletakkan di atas kasur lantai. Ambu menghentikan kerikan-nya menunggu Danu mengambil ponsel. "Sudah?" tanya Ambu. Danu mengangguk, dan membenarkan posisi tengkurapnya lagi. Ambu melanjutkan mengerik Danu, dari sisi punggung sebelah kiri lanjut ke sisi punggung sebelah kanan.Ambu selesai mengerik bagian punggung Danu.Punggung, bahu, lengan atas dan leher tak luput dari sasaran kerikan Ambu. "Sakit, Ambu," rintih Danu saat dikerik bagian leher. Ambu lalu memijat leher Danu perlahan, lanjut ke bahu juga. "Coba duduk, Mas!" titah Ambu setelah merasakan suhu tubuh Danu berangsur turun. Danu perlahan telentang, keringat mengucur deras setelah Ambu memijat leher dan bahunya. Danu bangkit dari k
Danu segera mencuci tangannya, lalu beranjak keluar dapur menuju ke sumber suara teriakan. Aryo mengekor di belakang. Danu bersama Aryo setengah berlari karena suara tariakan itu berubah menjadi jerit tangis. "Ada apa sih? Kok histeris banget," tanya Aryo sambil mempercepat langkahnya. "Iya, ada apa ya? Kok suara teriakan berasal dari rumah sebelah itu, ya. Gue jadi penasaran, ayo kita kesana." Danu segera menuju sebuah rumah yang bersebelahan dengan rumah Abah Hasan. "Citra ...! Citraaaa, bangun, Nak!" Suara teriakan terdengar dari dalam rumah semi permanen di samping rumah Abah Hasan. Pintu rumah itu terbuka. Danu langsung masuk saja tanpa salam. Ia melihat seorang ibu muda tengah mendekap anak kecil yang sedang kejang. "Citraaa ... Citraaa ...!" Wanita itu histeris badannya gemetar memegangi anak perempuan kira-kira berumur 2 tahun yang kejang-kejang. Dirumah itu Tidak ada orang lain selain ibu dan anak kecil itu. "Waduh, Yo. Kejang-kejang ini. Apa yang harus dilakukan?"
Danu risau saat menggiring brankar Citra keruang perawatan. "Kemana perginya Aryo? Kok dari tadi nggak keliatan? Masa beli susu cair aja lama banget? Keujung dunia tah?" kata hati Danu. Citra mulai sadarkan diri saat brankar didorong ke ruang perawatan, anak itu menangis lirih seperti tak punya tenaga.Taklama kemudian, mereka sampai di ruang perawatan Citra, mereka masuk lalu memindahkan Citra ke ranjang khusus pasien rawat inap. Perawat menggantungkan botol cairan infus di tiang khusus, lalu memasang selang oksigen di hidung mungil Citra. Anak itu berontak Bu Wati dan Ambu berusaha memegangi Citra. Danu permisi keluar ruangan ia hendak mencari Aryo. Danu berjalan ke ruang tunggu khusus pengunjung klinik."Kemana ni anak?" gumam Danu ia merogoh ponselnya hendak menghubungi Aryo. Belum sempat dihubungi, Aryo muncul membawa plastik putih besar berlogo lebah. Napasnya terengah-engah. "Haduh, gila! Cape gue. Aryo langsung duduk di kursi yang tersedia. "Lama amat sih, Lu. Mana susu
"Hallo," "Woi, Lu dimana sih?" Suara Aryo dari balik telpon. "Gue disini, diklinik." "Klinik-klinik, dimana? Gue nyari nggak ketemu." Suara agak riuh terdengar di sambungan telepon. "Eh, rame amat. Lu dimana?" "Korea. Nonton konser. Dah tau gue juga diklinik. Gue diruangan Citra." "Oh." "Eh, cepetan Lu kesini! Abah, Roby sama siapa itu, dah ada disini. Elu kemana sih? Untung aja tadi Ambu nyamperin gue, kalo enggak gue kaya orang nggak guna di ruang tunggu." "Hahahaha. Sory deh, gue tadi ada urusan penting." "Ngeles Lu." "Eh, sepatu gue dibawain nggak sama Roby?" "Iya, dibawain kok. Cepetan Lu kesini! Gue tunggu." Tut. Tut. Tut. Panggilan terputus. Danu segera menuju ruang perawatan Citra. "Assalamu'alaikum," sapa Danu membuka pintu ruang rawat Citra. "Wa'alaikum salam." Danu disambut hangat oleh seluruh keluarga Abah Hasan. Roby dan Aryo juga ada disana. "Darimana Mas?" tanya Abah Hasan. "Ada urusan sedikit, Bah." Danu tersenyum ia berdiri di dekat ranjang rawat Cit
"Eh, kenapa Lu bengong? Makan di kaki lima emang nggak nguras kantong," ucap Roby kakinya diselonjorkan. Aryo berjalan kearah pemilik warung kaki lima lalu membayar semua makanan dan minuman yang mereka santap. "Bu, berapa semuanya?" tanya Aryo. "Apa saja yang dipesan, Mas?" "Mie ayam 2, bakso 1, es tehnya 3, sama kerupuk 3 bungkus," sebut Aryo. "Dua puluh, sepuluh, lima belas, enam ribu. Semuanya lima puluh satu, Mas. Bayar lima puluh ribu saja." Aryo menyerahkan selembar uang seratus ribu. Pemilik warung menerima uang dari Aryo lalu memberi kembalian lima puluh ribu. "Makasih ya, Mas." Pemilik warung tersenyum. "Sama-sama, Bu." Aryo segera kembali ke meja lesehan lalu memberikan uang pecahan Lima puluh ribu kepada Danu. "Nih, kembaliannya," kata Aryo. "Masih ada kembaliannya?" tanya Danu tak percaya. "Iyalah, Lu pikir makan di kaki lima kaya makan di resto? Ya enggak lah. Lebih murah, enak, kenyang juga," ucap Aryo. Danu masih melongo menerima uang kembalian dari Aryo.
"Iya, Bi. Sebentar lagi saya keluar," ucap Danu dari dalam kamarnya. "Baik, Den." Danu masih tetap berdiri ditepi jendela kamarnya memandang deras hujan yang turun dimalam itu sambil menyilangkan tangan ke dada. "Ya Allah, beri aku petunjuk untuk semua ini. Hariku semakin berkurang, dua hari telah berlalu. Apakah aku sanggup menjalani semua ini? Sedang belum apa-apa saja aku sudah tepar tadi disawah." Danu bergelut dengan pikirannya sendiri. "Ah, aku pasrah apa yang akan terjadi esok." Danu memutuskan untuk turun menemui kedua sahabatnya di meja makan. "Bi, Pak Kasno sama bibi sudah makan?" Danu menarik kursi lalu duduk. "Belum, Den. Nanti kita makan dibelakang saja, seperti biasa," Bi Surti menuang air minum untuk Danu. "Ini kawan-kawan saya kemana? Mereka sudah makan?" tanya Danu lagi. "Mereka mandi, Den. Tadi sudah bibi ambilkan baju ganti untuk mereka," jawab Bi Surti. Ia berdiri di samping meja makan. "Panggil semuanya kesini ya, Bi. Kita makan malam sama-sama. Mumpung
"Tunggu, jangan pulang dulu!" Danu mencegah kepergian Aryo.Ia bangkit dari tempat tidur lalu menuju laci almari dekat spring bednya, membuka laci kemudian mengambil dompetnya. Danu menarik 3 lembaran uang pecahan seratus ribu lalu meletakkan dompet itu pada tempatnya. Danu berbalik ke arah Aryo. "Nih, buat Lu." Danu mengulurkan dua lembar uang pecahan seratus ribu untuk Aryo. "Lho, uang apa ini?" tanya Aryo heran melihat Danu memberinya uang. "Udah, terima aja. Anggap ini rejeki buat Elu," jawab Danu tersenyum. "Iya, tapi ..." "Gini deh, anggap ini bonus buat Lu karena udah nemenin gue kemarin. Oke?" Aryo melongo menerima dua lembar uang pecahan seratus ribu dari sahabatnya. "Si Roby gimana?" tanya Aryo memastikan akpakah Roby juga mendapat uang yang sama seperti dia. "Roby nanti juga dapet, tapi nggak sama kayak Elu. Dia gue kasih selembar aja." "Oh iya, sebelum pulang sarapan dulu deh, walaupun cuma pake roti, ya." Danu mencari ponselnya di atas spring bed. "Yok kebawah,