Hening dan sangat sunyi, tak ada obrolan apapun di sepanjang perjalanan. Badai sendiri dilanda terjangan muson di jiwanya sementara Jingga sudah berada dalam level kepasrahannya.
Tiga jam perjalanan menuju rumah ditempuh sangat lama, seolah waktu enggan berputar dengan cepat. Badai sesekali melirik Jingga yang duudk disebelahnya dengan melemparkan pandangan ke luar jendela.
"Jingga, bisakah kita membicarakannya?" tanya Badai sangat lembut sambil menggenggam tangan isterinya itu.
Jingga tak menolak namun juga tak mengiyakan, wanita itu hanya diam.
"Tammi, dia adalah...." ucap Badai tak mampu menyelesaikan kalimatnya.
"Berhenti mengatakannya mas, aku tak perlu mengetahuinya. Anggap saja aku maish tak mengetahui apapun supaya kau tenang dan bisa tetap nyaman menyelimutinya." ucap Jingga tanpa menatap suaminya sedikitpun.
'gepp'
Badai semakin mengeratkan genggamannya, pria ini tak menyangka jika saat isterinya mengetahui perselingk
Diamnya seorang isteri bukan karena enggak tahu yaa, tapi lebih kepada menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Hmmh, Badai Badai!
Jingga benar-benar memilih diam di dalam kamarnya, menyalakan musik sangat kencang dan juga duduk manis di depan laptop tua kesayangannya. Jemari Jingga dengan lincah menari diantara keyboard dna mulai berselancar mencari lowongan kerja melalu situs situs resmi. Dengan status pernikahannya saat ini, Jingga tahu tak akan mudah menemukan pekerjaan untuknya, karena semua perusahaan yang menyeleksi pasti akan mempertimbangannya dengan seksama. Dari yang terdengar olehnya, hari ini adalah hari pernikahan Badai dengan Tammi. Bertempat di kediaman orang tua Tammi, Badai melangsungkan pernikahannya. Semua penghuni rumah ikut ke sana menjadi pendamping Badai kecuali Bibi Leta. Pelayan senior itu memilih diam menemani Jingga di rumah. Meskipun Jingga sebenarnya tak akan mempersoalkannya, namun bagi Leta Nyonya Badai hanya akan ada satu yaitu Jingga. "Yaa ampun, bisa-bisanya aku tidur disaat begini." gumam Jingga saat menyadari jika dirinya terlelap di m
Pagi pagi sekali, Jingga sudah keluar dari rumahnya. Wanita itu telah mengenakan seragam putih hitam yang diwajibkan untuk dipakai dalam seleksi tahap kedua ini. Masih pukul tujuh pagi, Jingga sudah berada di kantor HG Group. Jadwal seleksi pukul 07.30 namun Jingga tak ingin terlambat sehingga dia benar benar mengakomodir waktunya dengan sangat baik supaya bisa sampai sebelum waktu seleksi. Disebuah aula besar, aula yang sangat rapih dan bersih, sekitar empat puluh calon karyawan dan karyawati HG Group ini akan diseleksi dengan ketat dan hanya akan menyisakkan sepuluh orang saja yang diterima disini. Jingga merasa semakin rendah diri, ketika melihat banyak wajah belia yang ikut dalam seleksi ini. Namun, tekad Jingga untuk bisa mandiri membuat wanita itu bersikeras mengikuti test dengan baik. Dua jam berlangsung dengan sangat cepat, tepat pukul 09.30 seleksi berakhir dan kini Jingga hanya harus menunggu hasil penilaian akhir saja. Disaat
"Apa kalian baik-baik saja?" tanya Hadi dengan suara lirih bertanya kepada menantunya yang kini terdiam didepannya. "Iyaa pak, kami baik-baik saja." ucap Badai tak mampu menjelaskan apapun didepan bapak mertuanya ini. "Jingga tak pernah kesini lagi sejak terakhir kali dia datang hanya sendirian. Bapak menyuruhnya pulang lagi malam itu." ucap Hadi menuturkan. Pria paruh baya ini melihat ada gejolak besar dalam rumah tangga puterinya, namun Hadi tak akan mencampurinya sebelum keduanya membuka diri dan mengatakan secara langsung masalahnya kepada Hadi. "Baiklah Pak, saya pamit. Mungkin Jingga sudah dirumah, bisa saja kami papasan saat dijalan kan." ucap Badai mendadak sangat gugup. Pria ini kemudian berjalan ke pintu, namun disana ibu mertuanya tengah menatap dengan sangat heran dan penuh tanda tanya. "Siapa disana? Wanita hamil tua yang duduk di mobilmu?" ucap ibunda Jingga kepada Badai. 'glegk' Seketika Badai menelan sal
"Jingga, ini adalah bagian pekerjaanmu. Setiap hari, kau bertanggung jawab untuk semua dokumen ini. Setelah ku tanda tangani, maka kau harus ke lantai atas untuk mendapatkan tanda tangan Presdir kita dan setelahnya langsung menyerahkan dokumen ini ke bagian yang dituju di bagian depan ini." ucap Galuh menjelaskan pekerjaan Jingga engan sangat runtut dan mudah difahami. "Terimakasih Pak, akan saya kerjakan dengan sebaik-baiknya." ucap Jingga menjawab. Keluh dan kesal sebenarnya memenuhi benaknya Jingga saat ini, bagaimanapun seingatnya dia diterima disini sebagai salah satu bagian dari staff multimedia, namun yang akan dilakukannya kali ini justru tak lebih dari pekerjaan seorang helpher saja. 'Mungkin karena masa percobaan' gumam Jingga menyemangati dirinya sendiri. Pukul sepuluh pagi ini, dua dokumen sudah ditandatangani oleh Galuh dan itu artinya Jingga harus masuk ke ruangan kerja suaminya untuk meminta tanda tangannya. Jingga berjala
Jingga sudah berjalan di trotoar menunggu bis atau angkutan umum lainnya lewat. Jam kerjanya selesai pukul enam sore. Dengan langkah yang pelan, Jingga terus melangkahkan kakinya di tepian jalan. Di sebelahnya, gedung megah Hankaara Group berdiri kokoh dan sanggup membuat semua mata yang melihatnya langsung menaruh mimpi untuk bisa menjadi bagian dari perusahan bonafide ini. Sebagaimana Jingga, yang dulu juga pernah memiliki mimpi seperti itu. Di masa SMA, Jingga melewati jalanan ini setiap pulang dan pergi sekolah. Suatu hari Jingga bahkan dengan snagat percaya diri mengatakan jika dia bercita-cita untuk menjadi seseorang yang snagat penting di Hankaara Group. Air matanya menetes perlahan mengingat kekonyolannya saat itu. 'kau sudah mendapatkan cita-citamu Jingga!' gumamnya mengasihani diri sendiri. Jingga memang sudah menjadi orang penting di balik Hankaara Group. Karena sebagai isteri pewaris utama Hankaara Group maka posisi Jingga sangatlah
"Dimana karyawanmu yang bernama Jingga itu?" tanya Badai kepada Galuh. "Sedang ke bagian keuangan pak." jawab Galuh. Badai tak menunggu lagi, pria ini langsung menyusul Jingga yang tengah berada di Departemen Keuangan. Langkahnya tergesa-gesa sekali. "Presdir, ada yang bisa kami bantu?" ucap Maya kepada Badai saat melihat pria itu masuk ke ruangannya. 'degg' Jingga yang menyadari kehadiran suaminya disana langsung pamit ke Pak Haryo yang juga sudah menyerahkan dokumennya pada Jingga. Melihat Jingga berjalan keluar, Badai tak menggubris Maya dan langsung mengikuti isterinya keluar dari ruangan itu. Jingga terus berjalan diikuti Badai yang terus mengikutinya hingga sampai di koridor khusus yang sepi. 'gepp' Langkah Jingga terhenti saat tangan Badai menggenggam pergelangannya. "Kenapa kau tak pernah pulang?" ucap Badai dengan gejolak di hatinya. "Kenapa mas baru mencariku sekarang?" ucap Jingga bali
"Sayang, aku ingin mengunjungi ayah." uia cap Badai kepada Jingga. "Tapi mas, aku takut." ucap Jingga menjawab. "Tidak apa, kuharap mereka masih menyisakan sisa maaf meski hanya sedikit untukku." jawab Badai. Pria itu kemudian membawa Jingga ke dalam Roll Royce nya dan langsung melajukan menuju kediaman orang tua Jingga. Sekitar setengah jam perjalanan, Jingga datang ke rumahnya. "Berhenti disana, Jingga jika kau masih belum mengerti. Sebaiknya kalian segera pulang dari sini." ucap Santi ibunda Jingga dengan sorot tajam menghakiminya. "Bu, mas Badai kesini untuk berziarah ke makam ayah." ucap Jingga dari balik pagar yang maish tertutup rapat itu. "Ibu sangat malu padamu Jingga, demi pria kaya kau melenyapkan harga dirimu dan kehormatan keluargamu! " ucap Santi dengan suara bergetar. Badai hanya terdiam, dia tahu betul jika semua pemberitaan mengenai pernikahannya dengan Tammi cepat atau lambat pasti akan sampai ke telin
Makan siang hari ini menjadi saat-saat yang jauh lebih menyebalkan, bahkan lebih memuakkan daripada saat ada Tammi dalam kehidupan mereka. Kedatangan kedua mertuanya untuk pertama kali, menjadi sebuah tornado besar yang akan kembali membuat bahtera indha mereka terkoyak. Sejumlah menu kesukaaan mertuanya sudah dimasak dengan sepenuh cinta oleh Jingga. Namun mereka bahkan tak mau mencicipinya sedikitpun. Masih terngiang jelas penolakan Mama Badai atas semua tentang dirinya beberapa menit yang lalu. "Maaf Badai, kau lupa jika mama tak suka makanan rumahan? Ayoo, ikut dengan kami atau kau terpaksa kami coret dari keluarga Hankaara." ucap Mama Badai sangat tegas. Badai hnya bisa mengekori kedua orang tuanya, "Dan kau, tetap dirumah." ucap Mama Badai kepada Jingga. Cadillac One itu pergi, meninggalkan hujaman sembilu yang menguliti habis-habisan harga diri juga kepercayaan dirinya Jingga. Wanita yang baru saja bernafas dari te