ZACHDalam hitungan menit aku sudah berada di jalan raya. Kupacu mobilku dengan kecepatan nyaris penuh. Apartemen Ariq adalah tujuanku saat ini. Pedih rasanya hati menyebut apartemen Ariq juga sebagai apartemen Zola. Kalau bukan dengan mataku sendiri yang melihat aku nggak akan percaya kalau mereka tinggal bersama di bawah satu atap.Waktu memang mengubah banyak hal, tapi kenapa perubahan Zola membuat hatiku sedih? Kenapa perubahannya ke arah negatif? Aku ingin mencecarnya, tapi dengan begitu mudah dia mengembalikan kata-kataku. Dia juga bisa mengatakan nggak melakukan apa-apa sama sepertiku yang tinggal bersama dengan Cassandra. Ya, semoga begitu. Semoga mereka hanya tinggal bersama tanpa ada interaksi fisik yang intim.Langkahku memburu begitu tiba di apartemen itu. Aku terpaksa harus bersabar menanti lift yang penuh.Begitu masuk ke dalam lift, hatiku tiba-tiba meragu. Mengingat hari sudah siang jangan-jangan saat ini Zola sedang berada di kantornya.Kepalang tanggung, aku melanj
ZOLATentang Zach yang sewaktu-waktu akan datang ke sini sudah sejak lama ada di dalam prediksiku. Namun, tentang apa yang kusaksikan saat ini sedikit pun nggak pernah melintas di dalam benakku. “La ...,” panggilan pelan Zach membangunkan dari ketermanguan setelah tadi menjatuhkan gelas ke lantai hingga pecah. Dengan kaki gemetar aku melangkah mendekatinya. Lalu kurentangkan tangan meminta Fai.“Sini, Sayang ...”Fai bergerak memutar kepalanya tapi tanpa mengangkatnya dari pundak Zach. Dia menatapku.“Sini yuk.”Fai menggeleng, menolak untuk pindah ke gendonganku. Dia juga menepis tanganku yang terkembang. Reaksi anak itu begitu mengejutkanku.“Biar sama aku dulu, La, kayaknya dia ngantuk.” Zach kembali mengusap-usap punggung Fai.Fai memang gampang lengket dengan laki-laki. Dengan Mas Javas, Om Joe, bahkan Pak Reno hingga Ariq. Tapi aku sama sekali nggak menyangka jika dia juga akan semudah ini dekat dengan Zach yang notabene baru pertama kali berjumpa dengannya.Aku terpaksa mem
ZACHSetelah diusir tadi aku pulang ke rumah dengan tubuh lemas. Aku nggak melihat Mami waktu tiba di sana. Padahal Mami adalah orang yang sangat kubutuhkan saat ini. Aku ingin minta penjelasan Mami tentang semua yang terjadi, mengenai segala yang hal yang tidak kutahu.Aku mencari Mami ke setiap bagian rumah dan tetap nggak menemukannya.“Mami ke mana, Bi?” tanyaku pada Bi Yuka begitu berpapasan di belakang.“Tadi Ibu ke luar, Mas Zach, kayaknya lagi belanja.”“Sudah lama?”“Sudah, Mas.”Aku kembali ke kamar setelah mendapat penjelasan singkat.Setiba di kamar pikiranku malah semakin kacau. Kepalaku penuh oleh sebuah nama. Zola.Apa kesalahanku memang sudah sefatal itu? Aku bukannya berselingkuh, tapi seakan dosaku jauh lebih besar dari itu semua.Menyalakan rokok, aku duduk di sofa yang terletak di pinggir jendela. Jari-jariku menggulir daftar kontak di ponsel demi mencari sebuah nama. Aku ingin tahu apa aku satu-satunya orang yang paling nggak dianggap di keluarga ini.Setel
ZOLATante Rosella sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, tapi aku dan Mbak Zoi masih duduk di ruang tamu. Mbak Zoi sepertinya mulai goyah. Dia menasehatiku atau lebih tepatnya mempengaruhi agar aku menyerah, mengakhiri sandiwara ini dan membukanya pada Zach. Tapi aku masih kuat bertahan pada pendirianku.“Setiap orang ada batas kesabaran, La, dan Mbak rasa kesabaran Mami udah melewati batas. Mbak nggak pernah ngeliat Mami semarah tadi. Jadi menurut Mbak sebaiknya kita akhiri ini semua. Mbak setuju sama pendapat Mami. Zach harus tahu kalau dia sudah punya anak. Setelahnya terserah kalian berdua. Mau ngelanjutin hubungan yang dulu atau jalan sendiri-sendiri. Tapi menurut Mbak setelah Zach tahu sebaiknya kalian menikah. Kamu nggak mungkin terus-terusan begini. Kita masih punya orang tua. Kasihan Mama dan Papa. Mau nggak mau mereka pasti kepikiran nasib kamu, La.”“Mbak Zoi nggak bakal ngerti perasaan aku,” jawabku pelan. Iya, yang paham diri kita bukan orang lain, tapi diri kita se
ZACHAnd yeah, there’s a lot of shit that goes on.Setelah begitu banyak hal-hal yang nggak kuketahui dan akhirnya terbuka, kini aku kembali dibuat sport jantung oleh pernyataan Zola yang tidak disangka-sangka. Gimana mungkin Fai adalah anak kami? Selain aku dan dia sudah sangat lama nggak berhubungan, setiap kali melakukannya kami juga menggunakan metode coitus interruptus.Aku tahu pasti saat ini Zola sedang becanda demi menghangatkan suasana. Tawaku pun pecah kemudian.“Kamu tuh kalo lagi becanda nggak nanggung-nanggung ya, La.”Tawaku masih mengembang. Geli melihat Zola yang mencoba nge-prank tapi nggak pakai logika. Sampai akhirnya aku mengatupkan mulut kala menyadari Zola hanya diam sambil memandangku dengan ekspresi datar.“La, sorry, tapi kamu lagi becanda kan?”Zola masih memandangiku seperti tadi. Pias.Aku kemudian berpikir apa tawa barusan membuatnya tersinggung?“Sorry, La, tadi aku ketawa, abisnya kita lagi ngomong serius kamu malah ngomong begitu.”“Emang ada yang sala
ZOLAAku nggak akan mengingkari kalau Zach sangat gentle dalam hal ini. Namun, untuk bertemu dengan mantannya, terutama Venna, apa nggak akan membuatku sakit hati?“Gimana, La? Kamu mau?” Zach masih bersimpuh di lantai sambil menggenggam hangat tanganku.“Nggak usah,” putusku memberi jawaban. “Kenapa nggak usah? Bukannya kamu nggak percaya sama aku? Kamu lebih percaya sama orang lain dari pada aku. Jadi agar semua jelas lebih baik kita langsung selesaikan.”Aku menggelengkan kepala. Aku memutuskan untuk mempercayai Zach, karena seharusnya memang begitu. Aku mencoba mengikhlaskan semua yang terjadi di antara mereka dulu.“Aku nggak mau ketemu sama dia. Aku percaya sama kamu.”Zach auto tersenyum lalu mengecup lembut tanganku. Tapi bukan berarti aku memberinya jalan untuk kembali. Sudah sangat banyak yang terjadi, dan sebagian besar di antaranya adalah pengalaman buruk. Tapi aku nggak akan menyesalinya. Aku juga nggak akan berdiri di tempat yang sama. Stop crying over spilt milk. I hav
ZOLAZach berhasil membuatku memenuhi keinginannya untuk membawaku malam ini ke rumah orang tuanya.Aku nggak menolak karena tahu pasti dia ingin menjelaskan mengenai kami pada mami papinya.Sambil menyetir Zach mendudukkan putra kami di pangkuannya. Tadi aku melarang, khawatir anak sekecil Fai yang belum mengerti apa-apa akan mengganggu, lalu Zach kehilangan konsentrasi dan berpotensi membuat kami kecelakaan. Namun, dia meyakinkanku bahwa bisa mengatasinya.Dan lihatlah sekarang, Fai duduk anteng setelah sebelumnya begitu excited ingin menggerakkan setir.“Cepat gede ya, Nak, biar bisa Papa ajarin nyetir.”Seakan mengerti maksudnya, Fai mengelus pipi Zach yang dibalasnya dengan mencium puncak kepala anak itu. Pemandangan indah tersebut membuatku terharu sendiri. Bahagia melihat interaksi keduanya.“La, kita ke apartemen aja yuk, nggak jadi ke rumah Mami.”“Ngapain ke sana? Ada yang ketinggalan?” Kami sudah melewati separuh perjalanan, tiba-tiba saja dia berubah pikiran.“Bukan, tapi
ZOLAZach tetap masuk ke kamar walau aku sudah melarangnya.“Aku cuma sebentar, cuma mau mastiin keadaan kamu dan Fai doang.” Dia beralasan.Zach lalu ikut naik ke tempat tidur, berbaring di sebelah Fai yang sudah lelap sejak tadi. Bibirnya melengkung membentuk senyum memandangi inci demi inci permukaan wajah putra kami.“Hidung dan bibirnya mirip aku ya, La,” katanya berkomentar. Akhirnya dia menyadarinya.“Sure, kan anak kamu.”Senyumnya semakin lebar. Lalu kemudian memudar begitu saja bersama rautnya yang berganti ekspresi.“Aku nggak bisa bayangin gimana dulu waktu kamu hamil dan ngelahirin dia sendiri. Terus kamu juga harus ngerawat dan ngurus dia tanpa aku.” Zach terlihat begitu frustasi menyesali semua yang telah terjadi. Namun, sebesar apapun penyesalannya tetap tidak akan bisa mengembalikan waktu.“Don’t cry over spilt milk. Every cloud has a silver lining,” jawabku mencoba untuk ikhlas menerima ini semua. Tapi rupanya Zach nggak setuju dengan pendapatku.“Aku nggak bisa me