JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
“Prilly! Kenapa manjat jendela?” Zoia terkejut begitu menemukan calon pengantin wanita yang tak lain adalah klien atau pemakai jasa wedding organizer-nya hendak meninggalkan kamar melalui jendela. “A—aku ….” Prilly terbata-bata. Zoia langsung berjalan menghampiri Prilly dan menariknya dari jendela. “Aduh, Pril, kamu mau ngapain pake manjat jendela kayak gini? Apa coba yang mau diambil? Duduk anteng aja kenapa sih? Kalau kamu celaka gimana? Sebentar lagi kan kamu mau akad.” Tentu Zoia tidak ingin kliennya ini kenapa-kenapa. Ia harus memastikan bahwa calon pengantin sempurna sampai berada di pelaminan. Prilly memandang Zoia dengan tatapan kosong lalu melepaskan tangan dari genggaman Zoia yang khawatir akan keadaan dirinya dengan begitu saja. Prilly tampak sedih dan berkata pada Zoia. “Aku mau pergi dan aku mohon jangan halangi.” “Memangnya kamu mau pergi ke mana? Ini kan hari bahagiamu. Sebentar lagi penata rias akan datang untuk mendandanimu.” “Hari bahagia?” Prilly menggelengkan
Zoia bergidik ngeri. Seringai lebar yang tercetak di wajah Javas membuatnya ketakutan. Apa laki-laki itu benar-benar menginginkannya?Pria itu semakin dekat. Jarak wajahnya dan muka Zoia hanya terhitung beberapa sentimeter. Sedikit lagi maka kulitnya dan Javas benar-benar akan bersentuhan.Sebelum itu terjadi, Zoia mendorong Javas dengan sekuat tenaga sehingga laki-laki itu tersingkir darinya. Begitu mendapat kesempatan untuk lepas, Zoia mengangkat diri dan menjauh dari Javas.“Kamu jangan macam-macam. Jangan pernah menyentuh saya!” hardik Zoia dengan sorot mata ketakutan.“Saya berhak melakukannya dan kamu nggak boleh menolak.” Javas membalas ucapan Zoia sambil turun dari ranjang dan berjalan mendekatinya.“Tapi nggak pernah ada di dalam perjanjian kalau saya harus melayani kamu seperti ini.”“Apa kamu amnesia? Di dalam surat itu tertera bahwa kamu harus melakukan apa saja yang saya perintahkan. Apa pun!”Dengan tenaganya yang kuat Javas menarik tangan Zoia ke ranjang dan membaringka
Zoia keluar dari kamar menuju ruang depan menemui Zico yang sedang menantinya. Melihat Zoia muncul Zico langsung berdiri dan bersiap-siap untuk pergi.“Co, sorry banget, kamu duluan ya, nanti aku nyusul ke sana,” kata Zoia tidak enak hati. Zico jauh-jauh menjemputnya.“Kenapa begitu?” tanya Zico heran. Hari ini ia dan Zoia sudah berjanji akan menemui temannya yang akan memakai jasa wedding organizer milik Zoia.“Aku berangkat sama suami dan harus ke kantor dulu. Setelah dari kantor aku baru ke sana. Nggak apa-apa kan?”“Nggak apa-apa.” Zico tersenyum pengertian lalu masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan Zoia hanya bisa memandangi kepergian lelaki itu dengan perasaan bersalah.Javas muncul tidak lama kemudian. Tanpa memedulikan Zoia ia masuk ke dalam mobilnya dan menyuruh supir agar segera berangkat.Melihat mobil Javas sudah bergerak, Zoia terkejut. Kenapa Javas tidak menunggunya?“Javas! Javas!” Zoia berteriak sekeras mungkin memanggil Javas, namun mobil yang membawa lelaki itu terus me
“Prilly?” Zoia mengulangi dengan dahi berkerut penuh tanda tanya. “Jadi kamu mau pura-pura lupa siapa aku?” kata Prilly ketika mendengar nada heran dari suara Zoia. Zoia sama sekali tidak lupa, ia hanya terkejut atas telepon tidak terduga dari mantan calon istri suaminya. “Nggak lupa, aku masih ingat kok. Ada apa ya, Pril? Ada yang bisa dibantu?” tanya Zoia ingin tahu apa tujuan perempuan itu menghubunginya. “Aku dengar kamu menggantikan posisiku. Apa itu benar?” Entah mengapa Zoia mendengar ada nada tidak suka dari suara Prilly. “Kenapa nggak dijawab?” ucap Prilly lagi ketika tidak mendengar respon apa pun dari Zoia. “Benar, aku yang menggantikanmu.” “Selamat kalau begitu. Gimana? Udah disiksa sama Javas?” “Maksudmu apa?” Zoia ingin diperjelas. “Jangan pura-pura bego, Zoia. Bukankah sebelumnya aku sudah katakan kalau Javas adalah psikopat? Makanya aku nggak mau menikah dengan dia. Hanya perempuan bodoh yang mau menikah dengan laki-laki seperti Javas.” Prilly mengejek Zoia de
Mobil berbelok memasuki komplek sebuah butik. Zoia ikut turun disaat Javas membuka pintu. Setelah perdebatan mereka tadi Zoia mengunci mulut. Ia tidak ingin berdebat dengan pria itu karena hasilnya Zoia yang selalu kalah. “Silakan, Pak, mau cari baju untuk siapa?” Penjaga butik yang ramah menyambut kedatangan keduanya. “Saya mau cari gaun malam untuk istri saya,” jawab Javas sambil merengkuh Zoia agar berdiri lebih rapat dengannya. Penjaga butik memindai tubuh Zoia dari puncak kepala hingga bawah kaki seakan sedang memikirkan gaun model apa yang pantas untuk perempuan itu. “Kalau yang ini Ibu suka?” tanyanya pada Zoia sambil menyodorkan tube dress berwarna nude. Zoia hampir saja menganggukkan kepala ketika Javas lebih dulu menjawab. “Jangan yang itu. Tolong kasih warna yang agak terang soalnya acaranya malam. Ada warna merah?” Zoia sontak melebarkan matanya menatap Javas. “Saya nggak mau pakai warna merah.” Ia menolak sebelum penjaga butik mengambilkannya. “Kenapa?” Javas meman
“Kenapa? Sedang mencari apa?” Suara Prilly menghentikan Zoia yang sejak tadi menatap ke sekitarnya seakan sedang mencari pertolongan. Zoia mengalihkan pandangannya pada Prilly. “Ada apa ya? Kok kayaknya kebetulan banget kita bisa ketemu di sini?” “Aku juga nggak tahu.” Prilly mengangkat bahunya. “Kamu udah ketemu Javas? Kamu nggak takut muncul kayak gini? Gimana kalau Javas melaporkan kamu karena membawa kabur uangnya?” Prilly tertawa lepas seakan baru saja mendengar sebuah lelucon yang membuatnya geli. “Harus berapa kali sih aku bilang? Javas itu pembohong. Aku sama sekali nggak melarikan uangnya. Jadi kenapa harus takut?” jawabnya ringan sambil mengembangkan kedua tangannya. Cara perempuan itu meyakinkan membuat Zoia kembali meragukan Javas dan memercayai Prilly. Kalau benar Prilly menipu dan membawa lari uang Javas tidak akan mungkin ia berani berkeliaran seperti saat ini. Logikanya begitu kan? “Aku ke sini karena kasihan sama kamu, Zoi. Aku takut Javas menyiksa kamu. Sebagai