ZOLA
Memandang ke sekeliling, aku nggak menemukan apa pun selain kesunyian.Hanya ada satu-satu kendaraan yang melintas, dan itu pun melaju dengan kencang.Aku nyaris putus asa ketika menelepon Mas Javas dan Mbak Zoi, tapi keduanya seakan kompak untuk tidak menjawab.Tenang, Zola, kamu masih punya Ariq.Aku hampir saja menelepon Ariq. Namun ingatan seketika memberi peringatan. Ariq sedang berada di rumah orang tuanya yang sedang sakit. Dan aku nggak mau merepotkannya. Akhirnya aku mengurungkan niat itu.Bermenit-menit aku bengong sambil jongkok di dekat ban mobil yang kempes tanpa tahu harus melakukan apa-apa. Rasanya pengen nangis, tapi air mataku nggak mau keluar. Air mataku sudah kering di Canary.Dari jauh aku melihat sebuah taksi melintas. Lampu jauhnya menyorot mukaku, membuatku silau. Aku sontak menutup wajah. Sialan, benar-benar nggak punya etika.Umpatanku terhenti. Taksi tersebut menepi di dekatkuZOLAAriq terkaget-kaget atas keanehanku. Setelah tadi memanggilnya tidak biasa, sekarang datang-datang aku langsung menghambur ke pelukannya. Namun dia membalas pelukanku dengan sangat erat. Sialan, pasti dia memanfaatkan kesempatan. Kalau bukan karena terpaksa aku nggak rela memberikan pelukan eksklusifku padanya. Setelah kupastikan Zach menyaksikan adegan itu aku langsung menutup pintu. Lalu sesegera mungkin melepaskan diri dari Ariq. Sebut saja aku jahat, tapi semua yang kulakukan bukan tanpa maksud dan tujuan. Aku sengaja melakukannya agar Zach berhenti mengejarku. Agar dia menyadari bahwa di antara kami berdua tidak apa-apa lagi. All is over. Bukannya aku pendendam dan nggak punya kesalahan, tapi list dosa Zach sudah begitu penuh. Mulai dari Cassandra, lalu Venna. Zach nggak jujur soal Venna. Dan yang membuatku kian terluka adalah hubungan Zach dan Venna yang sangat jauh. Venna sampai menggugurkan anak mereka. Apa jadinya jika Zach tahu aku juga hamil akibat perbuatannya?
ZOLANggak tahu kenapa pagi ini Fai nggak seperti biasa.Sejak jam empat sebelum subuh tadi Fai bangun, terus nangis dan minta gendong.Fai nggak mau turun dari gendonganku walau aku sudah membujuk dengan segala cara. Mulai dengan memberi susu, biskuit bayi, sampai menyodorkan koleksi mainannya. Tapi semua itu sama sekali nggak mempan untuk membujuknya. Fai akan menangis sedikit saja kuturunkan dari gendongan.“Fai kenapa sih, Nak? Mama kan mau kerja.”Aku mulai bingung karena nggak biasanya Fai bertingkah aneh begini.Senin pagi ini seharusnya aku datang lebih awal. Aku akan menjadi host untuk acara Gen Z dan mewawancarai Zach. Aku nggak mau datang terlambat yang membuat Zach berasumsi macam-macam padaku. Dan tentunya juga akan membuat orang-orang kantor mengutukku.“Mbak Zoi, Fai tiba-tiba rewel, nggak tahu kenapa. Dari tadi minta gendong mulu nggal mau turun.” Aku mengadu pada kakakku setelah membawanya keluar dari kamar.Mbak Zoi memerhatikan Fai yang berada di dalam dekapanku.
ZOLAAku terpaksa menuruti perintah Mbak Nia, karena memang begitu semestinya. Setiap kali akan take kami diwajibkan gladi resik dulu.Langkahku terasa berat dan kaku, sedangan Zach berjalan di sebelahku dengan begitu santai.Masuk ke ruangan Mbak Nia, aku benar-benar hanya berdua dengan Zach. Entah mengapa ruangan ini terasa jauh lebih dingin dari biasanya.“Semua materi wawancara kita ada di sini.” Aku memberikan bundelan kertas pada Zach setelah kami sama-sama duduk berhadapan di posisi masing-masing. Zach menurunkan pandangan menekuri kertas tersebut selama hitungan menit. Aku menanti reaksinya.“Aku sudah baca semua dan ngerti banget,” katanya kemudian.“Bagus, kalau begitu kita bisa langsung ke studio. Kita bisa mulai secepatnya.” Aku pikir semakin cepat akan semakin bagus. Cepat dimulai maka akan segera selesai agar aku bisa bebas dari keadaan yang membuatku jadi nggak nyaman ini.Aku sudah bersiap-siap untuk berdiri ketika tiba-tiba Zach menahan lenganku.“Tunggu bentar, La,
ZOLA"Kamu cocoknya gabung di tim kreatif, bukan jadi PA."Setelah acara selesai dan Zach pergi Mbak Nia mengomeliku habis-habisan. Aku menerima karena merasa bersalah. Tadi semua memang nggak ada di dalam skenario, tapi aku begitu kreatif.To be honest, tadi tiba-tiba saja perasaan pribadiku menyeruak sehingga jadilah muncul pertanyaan seperti tadi. Semua terjadi di luar kendaliku. Padahal seharusnya aku harus lebih mampu menguasai diri. Aku nggak bisa mencegah rasa ingin tahu itu. “Jangan sampai keulang lagi, La. Untung Zach orangnya baik, kalau orang lain gue yakin bakalan tersinggung sama pertanyaan lo itu atau minimal dia nggak bakal mau jawab.“Maaf ya, Mbak,” ucapku kali kesekian.Mbak Nia hanya bisa menghela nafasnya lantaran aku nggak bisa memberi alasan panjang kali lebar atas tindakanku itu.“Kok bisa sih, La, lo kepikiran buat improvisasi? Gue aja sekali pun nggak berani, pasti gue bakal baca se
ZOLAZach muncul tiba-tiba yang membuatku buru-buru mengusap mata. Aku nggak mau dia tahu kalau sejak tadi aku hampir menangis mengingat kenangan kami.Hanya dengan mengenakan handuk putih yang menggantung rendah di pinggulnya Zach berdiri di depanku. Titik-titik air menetes turun dari rambutnya yang basah, persis seperti Ariq waktu itu. Hanya bedanya Zach terlihat jauh lebih seksi.“Apa?” tanyaku menanyakan kepentingannya berdiri di hadapanku.“Kamu nggak mau mandi sekalian?”Aku menggeleng menidakkan. Gimana mungkin aku mandi di sini. Aku juga nggak bawa baju ganti.“Kalau mau mandi, mandi aja, pake bajuku dulu.” Zach seakan tahu apa yang saat ini mengisi kepalaku.“Nggak usah, nanti mandi di rumah aja,” jawabku menolak.“Tapi aku udah siapin air mandi buat kamu. Aku masih ingat kamu suka berendam air hangat. Ayo, nggak usah malu.”Zach meraih tanganku kemudian menggandeng menuju kamarnya,
ZOLAMataku terpaku pada cincin di meja. Cincin itu berbentuk solitaire dengan butiran berlian tunggal di tengahnya. Aku nggak akan menampik betapa indahnya cincin itu, dan pastinya juga mahal.Aku membayangkan jika cincin tersebut tersemat di jari manisku. Jariku yang panjang dan ramping pasti akan semakin terlihat menawan. Sebelum khayalanku berlarut-larut aku segera menyadarkan diri sendiri. Aku nggak perlu menerima cincin dari Zach. Kalau mau aku bisa membelinya sendiri.“La ...”Suara Zach membuatku mengangkat kepala. Memindahkan atensi dari cincin tersebut pada laki-laki di hadapanku.Aku menemukan rautnya yang begitu penuh harap. Sejujurnya aku terkejut mendengar dia mengatakan melamarku. Dengan cara, tempat dan keadaan yang sama sekali nggak pernah ada dalam bayanganku. Aku mulai meragukan kewarasannya. Jangan-jangan dia sedang mabuk saat ini sehingga gagal mengendalikan tindakannya.“Aku butuh jawaban kamu malam ini, La, waktuku nggak banyak.” Zach semakin menuntut, meminta
ZOLA Zach hampir saja terjengkang akibat doronganku yang terlalu kuat. Untung dia bisa mempertahankan keseimbangan tubuhnya.Nafasku sesak dan memburu. Aku yakin jika saat ini mukaku juga pucat. Tindakan spontan Zach tadi membuatku terkejut bukan main. Dia langsung menyingkap bajuku untuk melihat perutku. Jadi satu-satunya yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan diri adalah aksi impulsif seperti tadi. Dan saat ini aku harus menghadapi tatapan penuh rasa curiga yang dilayangkan Zach. Tentu saja sikapku yang nggak wajar mengundang kecurigaannya datang.Astaga, aku harus gimana? Apa yang harus kukatakan? Zach nggak boleh tahu. Aku belum siap berbagi fakta itu dengannya. Bukan hanya belum, tapi aku nggak akan pernah siap berbagi kenyataan bahwa kami sudah memiliki anak.“Kenapa sih, La, aku nggak boleh ngeliat? Aku cuma pengen tahu perut kamu kenapa,” ujar Zach heran setelah berhasil meredakan rasa terkejut setelah aku dorong tadi.“Nggak ada apa-apa di sini, dan perut ini adalah sal
ZACHMemeluk Zola seperti sekarang adalah privilege yang sangat langka bagiku, yang mungkin nggak akan pernah lagi aku dapatkan setelah malam ini. Mungkin ini yang terakhir kali karena setelahnya aku nggak punya alasan lagi untuk membuatnya bersedia memenuhi segala bentuk permintaanku yang konyol.Zola sudah tertidur sejak bermenit-menit yang lalu, sedangkan aku hingga detik ini tidak sepicing pun sanggup memejamkan mata. Keindahan ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Aku nggak mau membuang waktu bersamanya. Aku lebih tertarik menikmati wajah cantiknya sambil membelai lembut kepalanya.Dan yang sama sekali tidak kusangka adalah karena Zola juga membalas pelukanku.Hmm ... Sikapnya membuatku bingung. Dia menolakku tapi bersedia melingkarkan tangan ke tubuhku. Tidakkah itu aneh?Atau dia hanya ingin menyenangkanku karena tidak tahan melihat mukaku yang menyedihkan?Ya, mungkin memang begitu.Dan sekarang aku harus memutar otak lebih kencang untuk mencari cara agar dia mau menerimak