“Sejak kapan itu beruba?”Aku merasa itu hanya akal-akalannya saja.“Salahkah jika seorang suami mencintai istrinya.”“Enggak salah Mas, hanya saja ini terlalu mendadak. Aku perlu waktu buat menerima semuanya.”“Kamu perlu waktu atau memang merasa jijik padaku?”“Kenapa kamu berpikir begitu?”“Alea, kamu bukan orang pertama yang merasakan hal itu ketika bersamaku. Ada banyak wanita yang menghindariku hanya karena mereka menganggap aku ini pria yang tidak normal, tapi dari semua wanita kamu berbeda. Aku tahu kamu merasa jijik, tetapi masih tetap menjaga sikap. Kamu bahkan masih mau memperlakukanku seperti biasanya.”“Aku hanya menjalankan kewajibanku.”“Semau itu bukan kewajiban Alea, sudah berapa kali kukatakan, kalau kamu tidak perlu memasak dan merapikan rumah.”“Kalau bukan aku, memangnya siapa lagi yang akan mengerjakannya.”“Dari dulu aku mengerjakannya sendiri dan kalau pun tidak sempat aku biasa menyewa jasa cleaning service mingguan. Kenapa juga kamu mau repot-repot melakukan
Keterlaluan sekali kalau memang benar pria ini sampai mengikuti kami.Begitu pandangan kami bertemu Reza langsung menyapa dengan gayanya yang so asyik. Entahlah Dari awal berjumpa dengannya, aku merasa pertemanan mereka sedikit tidak wajar.Ia terlalu berlebihan. Kurasa di kultur negara kita, sangat jarang ditemukan pertemanan laki-laki yang saling memperhatikan sampai segitunya.“Kok di sini juga?”“Kebetulan aja mau kontrol.”“Gila! Rajin banget semalam abis acara, paginya langsung on the way ke sini.”“Kamu bilang harus rajin. Bagaimana sih!”Sekarang ia bahkan bicara dengan logatnya yang manja.Kenapa dengannya, badan saja kekar tetapi logatnya seperti perempuan.“Kalian juga ngapain di sini.”“Biasalah, nyari suasana baru.”“Hm, iri banget deh sama pengantin baru.”Ya Tuhan, rasanya kesal sekali melihat tingkah pria kemayu ini.“Mas aku duluan ke mobil ya, ngantuk banget soalnya. Kalau, kalian masih mau ngobrol lanjutkan aja enggak apa kok.”Saat itu aku bisa melihat ekspresi ter
Sudah kuduga ia pasti menyukai suamiku.Ya Allah, ternyata hubungan seperti ini memang benar-benar ada. Sekarang, aku harus bagaimana, jika kemudian Mas Syahru juga memiliki perasaan yang sama?“Kamu bilang apa? Memangnya kamu menanggap aku sebagai apa? Bukankah kita saudara. Sudahlah, aku buru-buru. Setelah ini aku ingin pergi lagi.”“Memangnya kamu mau ke mana?”“Mau ajak Alea ke tempat makan yang lagi viral itu.”Mas Syahru bahkan tersenyum begitu lebar. Namun, berbeda dengan lawan bicaranya yang tampak memerah. Jelas sekali aura ketidaksukaan terpancar di wajahnya.Mungkinkah dia cemburu padaku.Mas Syahru dengan tegas melepaskan rangkulan Reza.“Jangan lakukan ini lagi!”“Kenapa? Apa kamu malu? Dulu kamu biasa saja.”“Ada perasaan yang harus aku jaga.”“Kamu mati-matian menjaga perasaannya, memangnya yakin kalau dia juga puny
Ia bahkan tak menghargai keberadaanku di sini. Berani sekali ia memeluk Mas Syahru di depanku.Aku refleks memalingkan wajah karenanya.“Jangan begini Za, kita mungkin memancing orang untuk berpikir macam-macam!”“Jangan pergi, Sayang!”Aku ingin berbalik, tetapi ragu. Ia memanggil aku atau bukan. Sebelumnya sekali pun ia tak pernah memanggil sapaan itu, kecuali jika kami sedang berada di luar. Namun, saat kurasakan seseorang menarik lenganku dari rah belakang, barulah aku sadar jika yang di maksud Mas Syahru memang aku.“Tunggu sebentar!” katanya lagi.“Kalau Mas masih ada urusan sama Reza, enggak apa selesaikan dulu. Kita bisa keluar kapan saja, lagi pula sekarang gerimis. Kayaknya terlalu maksain juga kalau kita nekat pergi sekarang.”“Dia bahkan enggak keberatan, Ru. Kenapa kamu yang justru seperti keberatan.”“Kamu ini yang kenapa Za, datang-datang sudah bertingkah aneh? Kali ini kami memang niatnya mau pergi. Bukannya kamu juga tahu itu.”Aku masih ingat tadi pagi Mas Syahru sem
Semakin aku melarangnya pria itu malah menjadi lebih tertantang. Sekarang aku hanya bisa pasrah. Membiarkan ia menyisir rambutku. Sampai kemudian sisiran itu berubah jadi pijatan lembut di kepala. “Enak enggak?” “Hm, tapi harusnya enggak usah!” “Diamlah, ini akan buat kamu lebih fresh.” Ah pria ini kenapa setiap hari ada saja perbuatannya yang membuatku salah tingkah sendiri. Apakah benar jika rasa sayangnya padaku tulus? Aku hanya takut kalau yang ia lakukan ini hanya untuk menutupi hal yang ia lakukan di belakangku. “Sudah selesai,” katanya. “Hm, makasih. Mas pintar mijat juga ya, hebat.” Aku berbalik menatapnya, sehingga kini mata kami jadi saling diam. Sampai ia kembali membelai legam rambutku dengan begitu lembut. Hampir saja aku kehilangan kendali karenanya. “Rambutmu bagus sekali.” “Biasa aja kok.” “Kamu jauh lebih cantik begini.” “Kalau kamu suka, aku bisa begini terus.” “Jangan sesekali memperlihatkan cantiknya dirimu pada orang lain lagi, ya.” “Insyaallah.” Sep
Ia pergi ke toilet dengan seringai di wajahnya.Entah apa yang akan dia lakukan. Jelas-jelas aku tidak sengaja dia malah tak terima. Memangnya apa yang rugi? Dia tak kehilangan apa pun.Seperti janjinya, ia mengimami salat subuh dengan alunan yang begitu merdu. Namun, usai salam yang terakhir, hatiku kembali merasa cemas.“Salim!”“Harus?”“Oh, ya sudah kalau enggak mau.”“Mau.”Ah aku bahkan tak pernah melakukan hal ini kecuali pada ayah. Itu pun sangat jarang karena memang kami tinggal terpisah. Bagaimana bisa aku akan melakukannya dengan pria ini.“Mas enggak akan maksa kalau memang belum mau.”Tanpa kata aku langsung menarik lengannya, lantas menghidunya dengan takzim.Payahnya baru menyentuh tangannya saja sudah tremor.“Hahaha.”Lihatlah sekarang, bahkan ia menertawakanku.“Kamu ini artis macam apa? Bukannya dulu kamu biasa melakukan sesi foto, kamu terlihat biasa saja. Kenapa denganku begitu gugup.”“Apa sih Mas, dulu ‘kan professionalitas semata. Sekarang bedalah.”“Apa bedany
“Mas sebenarnya mau melakukan apa?”“Mas tahu siapa biang dari masalah ini.”“Siapa?”“Kamu juga kenal orangnya. Sudah nanti saja kita bahas!”Ia sudah akan beranjak, tetapi kemudian malah kembali berbalik dan mendekat padaku. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya itu di wajahku.Aku harus apa? Bahkan, dalam suasana yang genting saja ia masih saja bersikap romantis.“Jaga diri baik-baik, ya!”“Hm.”Tiba-tiba saja ia menarik kepalaku mendekat, sampai kemudian kurasakan benda kenyal itu menempel di keningku. Ada bekas basah yang kian mengering seiring dengan hembusan angin yang menerpa wajah, begitu pintu rumah kami terbuka.Bodohnya kenapa aku hanya diam saja. Seharusnya berontak saja.“Aku harus pergi Al, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan jika mereka berhasil mengantongi bukti itu, Mas yang akan membuktikan sendiri kalau pernikahan kita memang sungguhan.”“Terima kasih, tapi bisakah berjanji satu hal saja padaku.”“Apa?”“Aku cuma punya Mas di sini, janji buat kembali
Tepat saat hantaman keras pada pintu itu semakin intens terdengar, petugas keamanan untungnya segera datang. Barulah aku berani menilik dari celah gorden yang terbuka. Itu pun dari balik kamar yang berada di lantai 2. Rupanya tak hanya ada petugas, orang-orang sekitar rumah pun ikut melihat kekacauan itu.Ya Tuhan aku pikir ia menghantam pintu dengan tangannya. Namun, setelah melihat halaman rumah yang berantakan barulah aku tahu jika ia bahkan tak sekedar datang, tetapi juga merusak.Melihat dari kejauhan saja, sepertinya postur tubuh itu sangat mirip dengan Reza.“Ya Allah jangan-jangan memang dia, yang menyebarkan berita itu. Lagi pula siapa lagi orang terdekat kami yang mengetahui rahasian ini, selain dia.”Aku bergegas turun, mengingat salah satu petugas keamanan mulai mengetuk pintu. Sepertinya mereka ingin aku memberikan keterangan.Luna yang tak lain salah satu tetangga rumahku, seketika menghambur dan memelukku erat.“Ka Alea baik-baik aja, ‘kan?” katanya dengan wajah yag kha