"Nyonya Asma, apa yang sedang anda lakukan?" celetuk Bik Tum mengangetkan Asma. Seketika gerakan tangan yang hendak mengetuk pintu itupun terhenti. Begitu juga dengan tangisan yang berasal dari dalam kamar yang seketika itu juga terhenti."Bik Tum," celetuk Asma terkejut, ia mengalihkan tatapannya kepada Bik Tum yang berjalan ke arahnya."Apa yang sedang Nyonya Asma lakukan di sini?" tanya Bibik."Tadi aku mendengar suara orang menangis dari dalam kamar ini, Bik," jelas Asma."Menangis?" Bibik menaikkan kedua alis. "Bagaimana mungkin?" Bibik mengeryitkan dahi. "Itu kan gudang Nyonya, Jadi tidak mungkin ada orang menangis di dalam ruangan itu," jelas Bik Tum.Asma tercekat. Ia yakin sekali dengan Indra pendengarnya. Jika beberapa saat yang lalu ada seseorang yang menangis di dalam kamar itu dan suara tangisannya hampir mirip sekali dengan suara Nada."Tapi aku tidak bohong, Bik," tegas Asma dengan wajah penuh keyakinan. "Suaranya hampir mirip sekali dengan suara Mbak Nada," jelas Asma.
Dengan cepat Nada menepis tangan Wisnu yang berada di pipinya saat melihat kehadiran Asma di ambang pintu belakang rumah yang sedang melihat ke arahnya."Neng Asma," ucap Wisnu dengan wajah terkejut. Ia segera membenarkan posisinya."Maaf As, tadi Mas Wisnu hanya mengusap mataku saja. Tadi aku kelilipan," jelas Nada gugup. "Jadi kamu jangan salah paham, As." Nada berusaha untuk menyakinkan wanita yang berdiri di depannya. "Iya Mbak tidak apa-apa," jawab Asma dengan wajah bingung untuk sesaat. "Mbak Nada tidak perlu menjelaskan semuanya seperti itu padaku, aku percaya kok," imbuh Asma kemudian, seraya menyunggingkan senyuman hangat. Nada terdiam untuk sesaat, lalu menghela nafas lega dan menyungingkan senyuman paksa pada bibirnya."Neng, kenapa?" sela Wisnu berusaha untuk mencairkan suasana. Asma seketika mengalihkan tatapannya pada Wisnu yang berjalan ke arahnya."Tidak, aku hanya mencari Abang. Aku sudah menyiapkan semuanya, apakah kita jadi berangkat sekarang?" tanya Asma saat Wi
Wanita bertubuh subur itu berjalan masuk ke dalam rumah. Sedikitpun ia tidak menatap pada Rani yang masih berbincang dengan Ibu Fatimah. Ia terlihat kesal, karena Rani telah membohonginya. Jika ia tau Rani memiliki uang, maka ia tidak akan mungkin meminjam pada Ustaz Azhar."Terimakasih Ran, ibu minta maaf karena hampir saja marah-marah sama Umi kamu." Suara dari luar rumah terdengar hingga di ruang makan rumah Umi. Rupanya segelas air putih yang sudah Umi teguk hingga tandas tidak cukup untuk melegakan kerongkongannya yang terasa begitu sesak. Beberapa saat kemudian terdengar suara derap langkah kaki Rani yang berjalan masuk ke dapur. Setelah suara derit pintu rumah yang terdengar tertutup."Umi, rupanya Umi di sini?" ucap Rani menyunggingkan senyuman saat menemukan wanita bertubuh subur itu berada di ruangan makan.Dengan wajah senang Rani berjalan menghampiri Umi. Sedikitpun Umi tidak menatap pada gadis bertubuh kurus tinggi itu. Ia memilih untuk membuang tatapannya ke arah lain.
Senja telah menguning di ufuk barat. Beberapa saat lagi, cahaya jingga itu akan berganti dengan pekatnya malam yang mencekam. Rani semakin gusar, kantor tempatnya berkerja telah sepi karyawan sejak satu jam yang lalu. Tapi lelaki yang berjanji akan menjemputnya tidak kunjung juga datang menjemput.Perlahan gerimis jatuh membahasi bumi, butirannya begitu lembut membasahi lantai paving yang berada di depan kantor tempat Rani bekerja. Bahkan kini suara merdu pemanggil sholat pun telah berkumandang di seluruh penjuru saling bersahutan."Kenapa sih, Bang Azhar? Kalau tidak berniat menjemput harusnya dia tidak berjanji," gerutu Rani semakin kesal. Beberapa kali ia menghentakkan kakinya kesal pada lantai. Netranya menatap ke arah jalanan besar yang berada di depan kantor. Kendaraan berlalu lalang di jalanan besar itu."Jika tau begini, lebih baik aku naik angkutan umum saja," desah Rani dengan bibir mengerucut. Tidak hanya kesal pada Ustaz Azhar, ia juga kesal pada dirinya sendiri yang terla
Sekuat tenaga Rani menendang dada bidang lelaki yang berada di atas tubuhnya. Tubuh lelaki itupun menjauh setelah terdengar suara cukup keras. Tubuh Bagas terpental mengenai atap mobil miliknya."Aduh ... !" Bagas mengaduh. Rani mengambil kesempatan itu untuk membukakan pintu mobil, tapi usahanya sia-sia. Bagas sudah mengunci pintu mobil itu sebelum ia menjalankan aksinya.BRUAK! BRUAK!Seseorang memukuli jendala kaca belakang mobil dari luar. Sosok lelaki itu seketika membuat Rani lega."Bang, tolong aku Bang!" teriak Rani pada lelaki yang berusaha untuk membuka pintu mobil dari luar."Sialan!" hardik Bagas kesal saat melihat Ustaz Azhar di luar mobilnya.Lelaki itu bergegas turun dari dalam mobil dengan bertelanjang dada. Menghampirinya Ustaz Azhar yang sudah mengganggu rencananya."Dasar manusia tidak beradab! Apa yang akan kamu lakukan pada Rani!" sentak Ustaz Azhar pada Bagas yang berjalan ke arahnya. Wajah lelaki merah menyala, penuh amarah."Apa yang sedang kamu lakukan, manus
"Asma!" Umi segera berhambur menghampiri wanita yang keluar dari dalam mobil. Ia sangat senang sekali akhirnya Asma telah kembali ke kampung."Umi!" ucap Asma tidak kalah senangnya, akhirnya kerinduannya kepada Umi pun tersampaikan. Setelah beberapa hari tertahan."Sini, biar Umi saja yang membawa Akbar." Umi meraih Akbar dari dalam gendongan Asma. Asma mengalihkan tatapannya kepada Rani yang terdiam dan mematung di depan beranda rumah. Tidak ada ekspresi apapun yang wanita itu tunjukkan. Hanya tatapan datar kepada Asma yang baru tiba."Rani, bagaimana kabar kamu?" tanya Asma pada Rani saat wanita itu tiba di depan Rani. "Kamu sudah lebih baik, kan?" imbuhnya di sambut dengan anggukan lembut oleh Rani."Iya Mbak, aku sudah sembuh," ucap Rani datar."Syukurlah," balas Asma tersenyum penuh rasa syukur."Nak Wisnu ayo masuk!" Ajak Umi pada Wisnu yang masih asyik mengobrol dengan pengemudi yang mengantarkannya pulang."Iya Umi, sebentar lagi," jawab Wisnu sekilas menatap pada Umi. Lalu k
Asma menarik tubuhnya keluar dari pintu rumah. Setelah berberapa saat yang lalu ia memilih untuk bersembunyi dan mengintip dari balik pintu. Saat Ustaz Azhar datang ke rumahnya dan menjemput Rani yang akan pergi ke kantor. Entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal batin Asma. Seperti tidak rela, namun dirinya bukanlah siapa-siapa. Asma hanya tidak ingin Ustaz Azhar salah' memberikan hatinya pada Rani."As!" ucap Umi saat melihat Asma yang muncul di belakang punggungnya. Wanita bertubuh subur itu menatap pada kepergian motor Ustaz Azhar yang membawa Rani pergi."Semenjak kedekatannya dengan Azhar, Rani banyak sekali berubah. Dia jadi lebih baik." Umi menatap pada Asma yang berdiri mensejajarinya menatap pada motor Ustaz Azhar yang telah menghilang di ujung jalan."Itu bagus Umi, Rani memang butuh seorang pemimpin yang bisa membimbingnya," tutur Asma. "Tapi apakah mungkin Rani serius ingin berubah?" Asma mengeryitkan dahi, menatap pada Umi."Umi pikir Rani memang sudah berubah, As, semo
Lelaki bertubuh jangkung itu berjalan dengan santai menghampiri Nada. Menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di samping meja tempat Nada berada. Nada mengalihkan tatapannya pada lelaki yang kini berada di depannya."Berapa kali aku sudah bilang padamu, Nad, jika Wisnu pada akhirnya justru akan melupakan kamu," ucap lelaki yang duduk berambut ikal itu dengan nada sinis. Ia tidak peduli dengan netra sembab Nada. Wanita berbalut dress berwarna putih itu terdiam. Menjatuhkan tatapan datar pada lelaki yang terus mengulitinya."Mas Wisnu tidak akan pernah meninggalkan aku!" cetus Nada penuh penekanan. Ia menjatuhkan tatapan serius pada lelaki berjas hitam yang ada di depannya penuh keyakinan.Senyuman sinis tersungging dari kedua sudut bibir lelaki bertubuh jangkung yang duduk di sampingnya. "Dia tidak meninggalkan kamu, tapi dia juga akan meninggalkan dia," balas lelaki yang membersamai Nada dengan suara mengejek. Senyuman yang Nada benci pun tersungging dari bibir lelaki itu.