Alice menatap Arley dengan wajahnya yang polos. Yang bagi Prims, adik tirinya itu kentara sekali sedang berusaha untuk memengaruhi Arley agar mengabulkan keinginannya.Apalagi dengan bubuhan kalimat ‘Kak Prims tidak akan keberatan’, sejatinya dia sedang memerangkap pria yang bisa disebut sebagai ‘kakak iparnya’ tersebut menjawabnya dengan sebuah ‘Iya.’Namun, Arley tak begitu saja melakukan hal tersebut. Dia memandang Prims yang hanya diam di sebelah kanannya.Tiba-tiba, Arley merengkuh pinggangnya dan menautkan pandangan mereka. “Bagaimana, Sayang? Apakah kamu tidak keberatan jika Alice pulang bersama dengan kita?”‘S-sayang?!’ jerit Prims dalam hati.
Prims termangu mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Arley. ‘Menunggu di sini dia bilang?’ Prims tak salah dengar, ‘kan? Ia tak ingin melakukan itu, Prims tak ingin mengenakan benda-benda itu. Ia berniat kabur tetapi rasanya itu tak akan berhasil. “Akh!” jeritnya kecil saat Arley meraih pinggangnya dengan sebelah tangannya dan menempatkan Prims tersudut tak bisa bergerak dengan punggung yang membentur lemari pakaian di belakangnya. “Mau melarikan diri?” tanya Arley dengan meletakkan tangan kirinya di samping telinga Prims yang tubuhnya berdiri kaku. Napasnya tertahan di tenggorokan saat melihat Arley kembali menunduk mensejajarkan wajah mereka. Matanya yang sekelam langit malam memindai setiap sudut wajah Prims yang sedang sekuat tenaga mempertahankan diri dengan meremas kedua tangannya. Menjaga agar detak jantungnya yang tak karuan ini tidak ditangkap oleh indera pendengar Arley karena memang jarak mereka telah terlampau dekat. “Kamu akan melarikan diri?” ulangi Arley
Prims terkejut dengan kedatangan Katie yang tiba-tiba. Sama halnya dengan Arley yang tak menyangka bahwa ibunya ada di sini, seolah sengaja memberi ‘kejutan’ pada mereka dengan tak memberi kabar untuk berkunjung ke rumahnya. Terlepas dari rasa terkejut yang menghampiri mereka berdua, Prims mendengar apa yang baru saja beliau sampaikan. Seperti biasa, kalimatnya selalu bernada penghinaan, kemarin 'wanita rendahan' dan sekarang adalah 'wanita tak berpendidikan'. “Apa istrimu memengaruhimu untuk melakukan hal tidak berguna seperti ini, Arley?” tanyanya kembali, lebih menggebu ketimbang sebelumnya. Prims tidak ingin Arley direndahkan oleh ibunya sendiri, sehingga dia bermaksud menjawabnya. Tetapi saat hal itu hampir ia lakukan, kalimatnya kembali tertelan karena Arley lebih dulu memberinya tanggapan, “Tidak ada yang melakukan hal tidak berguna, Mama." Ia mendorong napasnya dan alisnya sedikit berkerut saat bertanya, "Apa yang Mama lakukan di rumahku?” “Mama ingin bicara denganmu,” ja
Wajah Katie masih terlihat merah padam, dia tahu tidak bisa banyak bersikap karena sekarang sia seperti sedang melakukan sebuah lelucon.Dengan sadar telah memuji anak menantunya yang kue buatannya sangat baik, sedangkan dia baru saja menyebutnya sebagai seorang wanita berpendidikan rendah yang tidak melakukan apapun di rumah selain berpangku tangan dan menikmati kekayaan anak lelakinya.Dia menggigit bibirnya, memandang ke arah lain dan menganggukkan kepala, “Mama hanya bilang kalau kuenya enak,” ucapnya membela diri. “Bukan berarti Mama mau menyebutnya sebagai menantu yang baik hanya karena dia bisa membuat kue,” lanjutnya dengan mengambil secangkir teh yang ada di atas meja.Prims melihatnya masih sempat mengunyah kue yang sudah terlanjut berada di tangannya, ‘Mungkin sayang jika harus melepasnya begitu saja?’ pikirnya dalam hati.“Primrose,” panggil Arley membuatnya mengalihkan pandang dari yang semula men
‘Cantik dia bilang?’ tanya Prims dalam hati.Ia merasakan tubuhnya bergeligi mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Arley.Pipinya menghangat dengan cepat, dia malu karena selama ini tidak ada seorang pun yang memujinya cantik, selain mendiang ibunya.Seolah belum cukup membuat Prims menggigil dengan jantung yang berdetak kencang, Arley kembali mendekat saat Prims menarik dirinya dari Arley.Pria itu kembali tersenyum tipis yang semakin membuat tubuhnya meremang, “Apakah kedua pipimu yang berubah merah itu juga karena terkena cat?” tanya Arley dengan dagu yang mengedik pada wajahnya.Prims yang salah tingkah tidak tahu harus berbuat apa karena lagi-lagi Arley membuatnya kehabisan kata.Selagi Prims mencoba menormalkan detak jantungnya kembali, Arley masih tidak mengalihkan tatapannya sama sekali.Dia tidak berpaling, melainkan menikmati kepanikan Prims yang menarik di matanya.
Mencegah dirinya untuk tidak salah tingkah, Prims menata napasnya yang terasa sesak saat mendengar apa yang dikatakan oleh Arley. “B-bukankah aku sudah bilang, Tuan Arley?” tanya Prims lirih, menatap mata pria yang berbaring berhadapan dengannya ini, saat temaramnya lampu mengambil alih setiap inci penjuru ruangan, alih-alih terlihat redup, kedua irisnya malah terlihat berbinar.“Apa?” tanya Arley balik, suaranya terdengar rendah.“K-kalau kamu harus memperhatikan apa yang kamu katakan karena itu agak ...” Prims menjedanya, memilih kata yang tepat. “Berbahaya,” lanjutnya berhati-hati. “Aku sudah mengatakannya tadi siang, ‘kan? Ucapanmu bisa membuat orang lain ....”Prims menghela napasnya, sengaja tidak melanjutkannya karena ia yakin seharusnya Arley tahu apa yang ingin dia katakan.Pria itu tak menjawabnya, dia hanya terus memandang Prims tanpa mengatakan apapun.Seolah menikm
“U-untuk apa menutup mataku?” ulangi Prims dengan suara yang serak. Mendengar kalimat tak biasa dari Arley membuatnya satu jarak mundur. Namun karena saking gugupnya, langkah kakinya tidak bertumpu dengan benar sehingga yang terjadi dia malah kehilangan keseimbangan dan nyaris saja limbung ke belakang. “Akh!” jeritnya kecil tepat saat Arley menahan pinggangnya sebelum dia terhempas ke lantai. Prims menahan napasnya saat tubuhnya tak lagi memiliki jarak karena mereka berdua melakukan kontak fisik. “Apakah memakaikan dasi untukku membuatmu seterbebani itu sampai kamu akan kabur, Primrose?” tanya Arley dengan suaranya yang dalam, sedang Prims masih mencoba menata napasnya yang memburu naik turun tak beraturan. “T-tidak, Tua
Prims sangat panik saat Arley menyebut warna bra yang sedang dia kenakan di balik dress broken white yang telah basah itu.Setelah menikmati sebentar kepanikan Prims, Arley akhirnya melepas jas yang dia kenakan dan meletakkannya di depan tubuh Prims untuk menutupi pakaian dalamnya yang tercetak jelas.“Pakai ini untuk menutupinya,” ujarnya yang diterima oleh Prims dengan malu. Karena rasanya Prims tidak pernah berhenti membuat Arley menyerahkan jas miliknya, entah ini untuk yang ke berapa kali.“T-terima kasih,” ucap Prims dengan gigi yang rasanya bergeligi.Arley mengangguk tak kentara, sebelum matanya yang gelap memandang Prims dan bertanya, “Apakah kamu sengaja melakukan ini?”