Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Kamu keterlaluan, Mas Abian!" seru seorang wanita bermanik hitam. Pundaknya bergetar kala menyaksikan adegan yang sedang terpampang jelas di hadapannya. Suaminya sendiri, melingkarkan tangannya ke pinggang seorang wanita yang sedang terlelap di sampingnya. Seakan itu saja tak cukup, wanita yang terlelap itu adalah kakaknya sendiri.Melihat istrinya sendiri, pria yang masih tak mengenakan pakaian itu menghampiri sang istri tanpa ada ekspresi bersalah di wajahnya, "Jihan? Apa yang kamu lakukan di sini?"Tubuh Jihan baru saja didorong paksa oleh Abian, begitu berhasil keluar, pria yang Jihan sebut suami selama dua tahun terakhir menutup pintu kamar. Mata Abian menatap nyalang pada Jihan. Sempat-sempatnya Abian meraih pakaian yang berserak di lantai, lantas memakainya. Tak peduli sama sekali dengan perasaan Jihan yang lara ini. Kalau saja, Jihan tak menerima pesan misterius, maka sampai kapan pun ia tak akan tahu."Apa yang aku lakukan?! Seharusnya aku yang bertanya padamu, Mas! Kuburan
"Apa ini, Mas?" Tangan Jihan bergetar ketika melihat beberapa tautan yang dikirim oleh Yuna, kakaknya. Video itu berisi adegan-adegan yang mendetail pertempuran panas antara Yuna dengan suaminya. Bahkan, pakaian yang berserakan di sekitar ranjang pun menunjukkan bahwa video panas itu diambil malam itu. Abian yang menyaksikan manik sang istri yang membulat sempurna, serta desahan-desahan yang keluar dari mulut kakak iparnya sendiri akhirnya merampas ponsel milik Jihan. Dengan santai, Abian justru menghapus satu persatu pesan dari Yuna."Hilang kan?" tanya Abian."Kamu keterlaluan, Mas. Video itu memang bisa dihapus dari ponselku, tapi bukan berarti fakta bahwa kamu tidur bersama kakakku dan bahkan membuat video itu bisa hilang dari pikiranku!"Abian menyenderkan punggung pada sofa dan dengan entengnya bicara, "Kan tinggal dilupakan saja, apa susahnya? Lagi pula hanya tidur bersama saja, sama seperti yang sering kita lakukan. Bukan hal spesial kan?""Kamu benar-benar sudah gila, Mas Ab
"Cepat pakai bajumu, selesaikan urusan kita sekarang juga ke pengadilan," titah Abian tanpa melepaskan ikatan di tangan Jihan sama sekali dan mulai keluar meninggalkannya.Tak butuh waktu lama. Jihan menggenggam surat perceraiannya dengan Abian di depan pengadilan agama, tanpa debat juga banyak pertimbangan. Masih teringat jelas suara Abian memberi Jihan talak tiga sekaligus. Kata yang sangat haram itu, justru Jihan dapatkan dari suaminya. Sekarang Jihan berada di mobil bersama Abian, pasalnya Abian janji akan mengembalikan Jihan ke Bogor, rumah orang tuanya.Jihan sedikit tertegun oleh tangan Abian yang tiba-tiba saja menggenggamnya. Segera Jihan menarik tangannya. Hal itu membuat Abian tersenyum sinis. Jihan menggeser duduknya sedikit menjauh dari pria ini. Meski pagi tadi masih jadi suami, tapi siang ini sudah bukan lagi. Jihan sudah tidak halal untuk pria ini."Bagaimana kalau kau angkat rahimmu?" tanya Abian tiba-tiba membuat Jihan melirik terkejut."Angkat rahim, tega ya kamu Mas
"Siapa pengasuh yang bicara dengan Bella?" tanya Darren masih dengan tatapan serius ke arah Jihan yang sibuk bercengkrama bersama Bella.Bude Nisa yang ikut terkejut melirik ke arah Darren. "Namanya Jihan, dia bukan pengasuh tapi anak tiri dari kakakku, Pak."Netra Darren menatap Bude Nisa tajam. "Apa yang kau lakukan? Bukan pengasuh tapi membiarkannya mendekati Bella.""Tapi Pak Darren. Selama ini, tak ada pengasuh mana pun yang berhasil dekat dengan Bella, kan?"Darren membisu begitu mendengar pertanyaan dari pemilik Daycare ini. Bella juga tak pernah bicara karena trauma masa lalu, bahkan terhadap Darren pun tidak. Tapi ... di hadapan wanita bernama Jihan itu, sang anak begitu mudahnya bicara."Apakah Anda masih mencari orang untuk merawat Bella, Pak?" tanya Bude Nisa membuat Darren menyipitkan mata."Kenapa tiba-tiba kau menanyakannya?"Bude Nisa tersenyum. "Aku rasa hanya Jihan orangnya, yang bisa membuat Bella perlahan terbuka dan mau bicara kembali. Tidakkah Pak Darren ingin mem